Generasi yang Beragama di Internet

Apa yang membuat Islam wahabi cepat berkembang hingga memunculkan gerakan alumni nomor cantik 212 dan 411? Jawabannya hanya satu: karena saat ini banyak orang yang belajar agama Islam melalui internet.

Redaktur islami.co, Dedik Priyanto dalam acara Tadarus Media yang digelar Komunitas Gusdurian Bojonegoro di bilangan Panglima Polim Bojonegoro kemarin (13-6-2018) menjelaskan, kondisi beragama Islam di Jakarta tidak sama dengan kondisi di daerah-daerah.

Jika masyarakat di daerah masih punya kesempatan ngaji secara bertahap di musala atau masjid atau surau, di Jakarta tidak. Bukan karena sulit mencari musala atau masjid atau surau, tapi karena sulit mencari waktu.

Masyarakat Jakarta, kata Dedik, adalah kaum urban yang sibuk. Mereka keluar rumah sejak usai subuh, lalu kembali pulang tepat pukul 9 malam. Dengan komposisi waktu yang sangat sempit itu, semangat belajar agama Islam pun terdampar ke internet. Selain lebih praktis, instan dan bisa dilakukan kapan saja, berbagai macam kurikulum beragama Islam tercecer bebas di media daring.

“Mereka belajar agama Islam dari internet karena praktis dan lebih mudah,” tutur alumni Ponpes Attanwir Bojonegoro tersebut.

Baca Juga:  Menunggu Pemimpin Peduli Bengawan Solo

Internet menjadi surau dan mimbar ilmu. Ia lebih referensial dibanding belajar langsung kepada guru. Si pembelajar lebih memiliki kebebasan dibanding belajar melalui guru. Internet menjadi guru. Bahkan, internet lebih “guru” dibanding guru itu sendiri. Namun sayang, konten kajian beragama Islam di internet, hingga kini masih didominasi Islam berorientasi fundamentalis atau konservatif atau wahabi. Dan ini adalah pemicu. Sekaligus alasan kenapa Islam wahabi cepat memengaruhi massa di Ibukota.

Sebagian besar referensi Islam di internet masih didominasi tulisan-tulisan berbasis Islam konservatif. Meski, tentu saja, rupa, wajah dan namanya beragam. Itu bisa dibuktikan dengan mudah. Dedik sempat memberikan contoh, ketika mencari keyword “jihad” dan meng-klik gambarnya, yang muncul adalah propaganda perang berlatar Timur Tengah. Padahal, istilah jihad sangat dekat dengan orang Islam dan itu tidak melulu masalah perang.

Dedik mengakui jika stamina orang-orang islam konservatif dalam merilis referensi terkait agama Islam di internet jauh lebih masif dibanding masyarakat Islam alusan (NU-Muhammadiyah). Itu disebabkan mereka telah memulai jalur propaganda media daring cukup lama. Sehingga, meski NU dan Muhammadiyah menjadi golongan mayoritas di ranah offline, mereka kalah dari golongan konservatif di ranah online. Itu bukan tanpa bukti, orang-orang Islam konservatif didominasi kelas menengah dan mereka yang tidak belajar agama sedari kecil.

Baca Juga:  Menonton Film Pendek KTP, Memaknai Agama dan Lapis-lapis Simbol

Apakah kondisi ini perlu dikhawatirkan? Untuk di daerah, saat ini mungkin belum. Tapi, kata Dedik, sepuluh atau duapuluh tahun lagi, ketika proses belajar berorientasi pada kepraktisan, tentu bakal berdampak. Sebab, internet akan menjadi kiblat pencarian ilmu bagi anak-cucu dan generasi mendatang. Nah, jika yang tersaji di internet adalah referensi agama Islam berbasis konservatif-fundamental-wahabi, generasi mendatang dalam kondisi berbahaya.

Apakah pengaruh Islam alusan (NU-Muhammadiyah) benar-benar lemah di media daring? sebenarnya tidak juga. Di Indonesia, kata Dedik, ada ribuan pondok pesantren yang masih aktif dan memberikan metode belajar agama Islam Rahmatan Lil Alamin hingga saat ini. Hanya, pergerakan mereka masih sebatas ranah offline. Jika mau membombardir internet dengan ajaran agama Islam damai, tentu bisa dengan mudah melemahkan kekuatan propaganda Islam konservatif yang akarnya tidak terlampau kuat itu.

Baca Juga:  Selamat Hari Natal

Karena itu, himbau Dedik, sudah saatnya para santri Islam alusan bersatu padu membiak-ganda sekaligus menggencarkan gerakan menulis referensi keislaman di internet. Tujuannya, agar orang-orang sibuk yang tidak sempat ngaji secara langsung, bisa belajar agama dari sumber jelas dan bisa dipertanggungjawabkan sekaligus tidak ngajak pada peperangan—meski tetap dari internet.

Di tradisi Nahdliyyin sendiri, banyak kitab-kitab yang bisa dinukil untuk ditulis kembali di internet. Sejumlah kitab seperti Ta’limul Muta’alim, Aqidatul Awam, At-Taqrib, hingga Al- Jurumiyah, kini harus mulai ditulis –dengan gaya narasi internet– agar banyak masyarakat tahu bahwa jihad tidak melulu berperang. Sehingga, mereka yang belajar agama Islam di internet tidak terjerumus dalam euforia perjuangan surgawi yang utopis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *