Lintang Kemukus dan Covid-19

Komet ATLAS yang sudah terpecah menjadi empat. Sumber: Kompas.com

Bapak saya pernah bercerita. Dalam ingatannya yang serba samar, sebelum geger Gestapu tahun 1965, langit memerah. Ada lintang kemukus berwarna merah. Lintang itu disertai asap yang membuatnya makin angker. Masyarakat memaknai lintang itu sebagai pertanda akan datangnya pagebluk atau malapetaka yang akan mengalirkan banyak darah.

Boleh jadi itu kebetulan. Tapi bisa jadi, alam memang memberi tanda. Orang Jawa selalu percaya dengan tanda atau tetenger. Orang jawa juga biasa menggunakan ilmu titen. Ketika alam begini, maka akan begini. Ketika alam begitu, maka akan begitu.

Kini, ilmu berkembang makin canggih. Dengan data, orang bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Hasil pemilihan umum bisa diprediksi dengan keakuratan mendekati 100%. Wabah pandemi corona bisa diprediksi kapan puncak pandemi, dan kapan akhir pandemi. Data dan analisa adalah kuncinya.

Ilmu modern boleh melesat naik. Tapi, bukan berarti menghilangkan ‘ilmu jawa’ yang sudah turun temurun dipegang oleh masyarakat. Orang jawa sangat menghargai pertanda alam. Tak mengherankan jika alam ini mempunyai makna tak sekedar tempat tinggal manusia. Tapi alam juga punya ruh yang sering diistilahkan dengan ‘penunggu’. Pohon ada penunggunya, sendang ada penunggunya, dan seterusnya.

Dalam kajian sosiologi pengetahuan, kepercayaan masyarakat jawa tersebut bisa dimaknai sebagai sebuah penghormatan mereka pada alam. Apa-apa yang ada di sekitar manusia bukanlah benda mati, melainkan benda hidup yang bisa berduka dan bersuka. Pohon jika dirawat dengan baik, maka dia akan bersuka ria. Begitu juga sendang atau mata air jika dirawat dengan baik, maka akan memberikan kebaikan kepada masyarakat. Jadi, soal ‘penunggu’ bisa dimaknai sebagai upaya masyarakat dulu menjaga kelestarian alam. Karena pengetahuan masyarakat yang hidup di masa lalu, tidak memerlukan penjelasan sebagaimana teori modern kini.

Baca Juga:  Ini Protokol Kegiatan Keagamaan dan Hajatan Sesuai Keputusan Menteri Desa

Masyarakat jawa juga sangat menghargai gerak alam sebagai tanda. Salah satunya lintang kemukus, yakni sebuah komet yang diliputi asap. Sebelum pageblug covid-19, konon muncul lintang kemukus.

M. Zaid Wahyudi reporter Harian Kompas menulis di edisi Sabtu (25/4/2020) bahwa lintang kemukus itu muncul pada 28 Desember 2019 dan terekam tim survey astronomi robotic Asteroid Terrestrial-Impact Last Alert System (ATLAS) di Hawaii, Amerika Serikat. Komet ini makin cemerlang karena makin mendekati matahari. Namun, pada 12 April 2020, komet ini pecah menjadi empat bagian.

Kemunculan komet ini, bagi sebagian orang menjadi pembenar adanya pageblug pandemi corona covid-19. Apalagi, virus corona memang mulai menyebar di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 dan terus menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia hingga April 2020 kini. Tapi, mengaitkan komet ini dengan pageblug, menurut Zaid Wahyudi tidak bisa dibenarkan.

Baca Juga:  Kearifan Lokal Vs Covid-19

“Mengaitkan ATLAS dengan pandemi Covid-19 dianggap tidak rasional. Terlebih Almanak Astronomi Indonesia menyebut sejak Desember 2019, saat Covid-19 mulai muncul di China, hingga April 2020, ada 17 komet reguler mencapai titik terdekat dengan matahari. ATLAS tak masuk almanac karena komet baru,” tulisnya. (hal:8)

Tapi, terlepas rasional atau tidak, ternyata keberadaan bintang berekor ini memang punya makna khusus bagi masyarakat, tak cuma masyarakat jawa. Masyarakat Arab menggambarkannya sebagai pedang api. Di Amerika Serikat, kemunculan komet yang dinamai Hallley tahun 1910 menggegerkan dunia. Philliph D Stern, dalam buku Our Space Invironment menuturkan, kemunculan komet itu dianggap tanda kiamat. Masyarakat dunia pun begitu ketakutan. When “Hally’s comet eppeared in 1910, many people were convinced that the world wouldend and that every body would perish.” (hal:48)

Khusus bagi masyarakat jawa, kemunculan komet atau lintang kemukus ini dikaitkan atau sebagai pertanda akan munculnya kerusuhan, kekacauan, perang, kelaparan, kematian, bencana, atau wabah. Situs planetarium.jakarta.go.id mencatat, di Indonesia komet (lintang kemukus, pen) yang teramati selama abad 20 antara lain:

–       1910         1P/Halley (76 tahun),

–       1927         7P/Pons-Winnecke dan Skjellerup–Maristany (36.530 tahun),

–       1945         79P/du Toit–Hartley atau du Toit 2 (5,6 tahun),

–       1965         Ikeya-Seki (1.060 tahun),

–       1973/4      Kohoutek (35.600 tahun),

–       1996         Hyakutake (70.000 tahun),

–       1997/8      Hale-Bopp (2520 – 2533 tahun),

–       2004         P/2004 R3 (LINEAR-NEAT),

–       2013         C/2011 L4 (Panstarss) dan C/2012 S1 (ISON).

Ada mitos asal muasal lintang kemukus yang tercatat di “Serat Babad Segaluh dumugi Mataram” (Babad Galuh-Mataram). Alkisah keris kyai condong campur keluar dari tempat penyimpanannya. Akibatnya menimbulkan pageblug penyakit, termasuk permaisuri Prabu Brawijaya, Dramawati ikut terjangkit penyakit. Lalu terjadilah pertempuran antara keris kyai condong campur dengan keris kyai sengkelat. Kyai condong campur kalah, pageblug berakhir.

Baca Juga:  Fastabiqul Khoirot Online, Cara Dakwah di Masa Pandemi Covid-19

Prabu Brawijaya memerintahkan keris kyai condong campur dihancurkan. Saat keris dibakar, warnanya menjadi merah membara dan melesat ke angkasa menjelma menjadi lintang kemukus yang disaksikan banyak orang. Sehingga tak heran jika lintang kemukus selalu diidentikkan dengan pageblug atau wabah penyakit, huru hara, dan mala petaka.

Al-akhir, apapun makna dan mitos tentang lintang kemukus, keberadaannya tetap menarik diteliti, terutama oleh astronom. Dan bagi masyarakat jawa, lintang kemukus tetap punya makna khusus. Dan meski tidak terkait dengan lintang itu, wabah penyakit telah datang mengancam banyak orang. Sebagai orang jawa, tentu nasehat Ronggowarsito perlu direnungkan, yakni: eleng lan waspada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *