Sosok  

Suwandi Adisuroso: Saya Lebih Suka Disebut Penikmat Sastra

Tutur katanya santun dan setiap kata diucapkan dengan cukup hati-hati dan penuh makna. Itulah gambaran sosok Suwandi Adisuroso yang saya peroleh setelah tak lama berkenalan. Penulis sastra asal Kabupaten Bojonegoro ini cukup produktif. Tak hanya menulis sastra dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam bahasa jawa.

Mei 2020 lalu, Suwandi menerbitkan antologi geguritan Jagad-Jagad Pakeliran yang diterbitkan oleh Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB). Sebelumnya, Mei 2018 ia menerbitykan kumpulan puisi berjudul Burung-burung Penjual Angin yang diterbitkan Rumah Akar.

Suwandi adalah sosok yang begitu memahami lingkungannya. Ia selalu mengamati dengan cermat, detail dan seksama tentang apa-apa yang bergerak, tumbuh dan berkelindan di sekitarnya.

“Sebuah kenaifan, ketika piranti bernegara dengan bermacam bendera justru disemayamkan di atas segala-galanya. Memandang aku sebagai ambisi yang harus terealisasi dan liyan sebagai korban.” Begitu ditulisnya dalam pengantar buku puisinya.

Beberapa waktu lalu, saya mewawancarai Suwandi Adisuroso tentang dunia puisi dan proses kreatifnya. Berikut wawancara lengkapnya:

T: Sejak kapan mulai menggeluti dunia sastra, terutama sastra jawa

J: Saya mulai tertarik dengan dunia sastra sejak bangku SMP. Di sini saya mulai menulis puisi dan geguritan. Di SMP saya dulu, ada majalah dinding yang setiap minggunya siswa diharapkan mempublikasikan karya-karyanya. Dari sinilah saya mulai belajar menulis, terutama puisi dan geguritan. Khususnya tentang geguritan, saya dibesarkan di lingkungan yang bersinggungan langsung dengan aktivitas budaya Jawa sehingga hal ini menjadi wahana yang sangat kuat bagi saya untuk belajar tentang sastra Jawa, terutama geguritan.

T: Siapa penulis yang menginspirasi anda menulis puisi dan gurit?

J: Saya suka pada WS Rendra dan Sapardi Djoko Damono dengan puisi-puisi lirisnya. Beliau WS Rendra sangat lugas dalam diksi yang beliau gunakan sehingga roh dan pesan pada puisi beliau kuat sekali. Seperti pada puisinya yang berjudul Sajak Sebatang Lisong. Sedangkan pada beliau Sapardi Djoko Damono saya menyukai gaya bahasanya yang sederhana tapi penuh makna. Untuk geguritan, banyak yang mengispirasi saya. Seperti Bapa JFX Hoeri, Bapa Yusuf Susilo Hartono, Bapa Nono Warnono dan Bapa Gampang Prawoto.

Baca Juga:  Jacob Oetama dan Semangat Jurnalisme Makna

T: Karya terbaru berjudul Jagad-Jagad Pakeliran, bisa diceritakan sekilas tentang isi dan pesan dari buku tersebut?

J: Jagad-jagad Pakeliran adalah antologi geguritan saya yang baru saya terbitkan di bulan Mei kemarin. Isi dan pesan di dalamnya, saya maksudkan sebagai fragmen tertulis atas pangung-panggung sosial yang ada di tengah masyarakat kita dengan nilainya yang dapat kita petik. Di sana ada tentang keluarga, religiusitas, nasionalisme, sosial budaya dan hiruk pikuk dunia politik yang ada di sekitar kita.

Dalam antologi tersebut, ada geguritan yang khusus saya persembahkan untuk kabupaten Bojonegoro tercinta ini. Ada di halaman 40 dengan judul Kuthaku ing Tahun 2045.

Kita telah dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, yakni kekayaan migas dengan segala kontribusinya dalam APBD kabupaten kita. Namun kondisi ini jangan menjadikan kita terbuai dan terlena yang kemudian bersikap pragmatis seolah-olah hidup hanya untuk hari ini saja. Harus ada pemikiran ke depan, yakni ketika cadangan migas tersebut sudah habis dan sudah tidak ada lagi yang dapat digali agar keadaan sebagaimana yang saya gambarkan dalam geguritan saya tersebut tidak terjadi.

T: Bagaimana Anda memaknai dunia sastra, dan apa makna bagi kehidupan anda?

J: Puisi dan geguritan ataupun karya sastra lainnya merupakan sebuah pesan, sebagai kepakan-kepakan sayap dengan membawa beribu makna dalam khasanah kehidupan. Karya sastra seyogyanya selalu bersuara, menyuarakan segala apa yang dirasakan, dilihat, dialami dan diyakini oleh si empunya, yakni penulisnya. Penulis bukanlah sosok bisu yang selalu diam atas riuh rendahnya dunia, hidup dan kehidupan ataupun kehidupan setelah mati dengan segala maknanya.

Seorang penulis menjadikan sekitar dirinya sebagai jalan kontemplasinya yang tiada berujung. Seorang penulis dalam senyum dan kasih sayangnya memeluk orang-orang yang dicintainya. Namun seorang penulis juga harus bersuara lantang tentang kehidupan di sekelilingnya. Sekaligus bagi seorang penulis, apa yang ada merupakan medan pengabdian hidupnya. Sebuah oase yang bermuara pada jalan pengabdiannya untuk netepi margi kautaman.

Lebih jauh ketika berbicara dalam skala negara dan bangsa, kalau boleh mengungkapkan, apakah kita akan kalah oleh Kerajaan Majapahit yang hidup pada abad ke-13 yang begitu khusus menempatkan para pujangga dan sastrawannya dalam kehidupan bernegaranya ? Pada masa itu ada Mpu Prapanca dengan Negarakertagamanya dan ada juga Mpu Tantular dengan Sutasomanya. Bukan karena para pujangga atau para sastrawan gila hormat, namun Kerajaan Majapahit menyadari bahwa para pujangga dan sastrawannya adalah penjaga obor sejarah dan peradaban. Bukan malah sebaliknya, ketika para pujangga dan sastrawan berbeda pendapat dengan penguasa maka pujangga dan sastrawan tersebut harus menikmati jeruji besi. Semoga hal yang demikian tidak terjadi lagi dalam masa reformasi ini

Baca Juga:  Cartenius van der Meijden, Nyonya Belanda Jago Masak Sambal Era Kolonial
Grafis oleh: Mohamad Tohir

T: Boleh diceritakan, sejak kapan bergabung ke PSJB?

J: Saya bergabung dengan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) tepatnya akhir 2015 setelah saya mulai ikut dalam kegiatan Purnama Sastra Bojonegoro (PSB), yakni event sastra dan budaya bulanan pada malam purnama yang dibidani para aktivis sastra dan budaya Bojonegoro.

T: Anda lebih suka dilabeli penyair atau penggurit?

J: Hmmm…. Saya lebih suka disebut sebagai penikmat sastra saja. Menikmati karya sastra dari para senior dan orang lain serta juga menikmati karya sastra saya sendiri. Saya ini masih belajar Mas…. Masih banyak yang belum saya ketahui dan ini harus menjadikan saya untuk mau belajar dan belajar lagi.

T: Darimana ide-ide menulis puisi/gurit? Dan bagaimana proses kreatif yang anda lakukan?

J: Ide-ide menulis puisi atau geguritan, saya dapatkan dari lingkungan sekitar saya ataupun kejadian yang saya alami serta juga dari peristiwa yang sedang terjadi di belahan bumi ini. Ketika suatu ide muncul, saya endapkan terlebih dahulu untuk mencari sudut mana yang paling tepat untuk diangkat sebagai tema dasar dengan pesan yang ada sambil mencari rangkaian kata-kata dan kalimat yang sesuai.

Baca Juga:  Agung Ridwan Asmaka; Pinjam Buku Pakai Botol, Les Bayar Sampah

T: Apa harapan Anda dengan dunia sastra jawa di Bojonegoro? Bagaimana mengajak generasi muda menyukai sastra jawa?

J: Harapan saya dengan dunia sastra Jawa di Bojonegoro adalah lahirnya generasi-generasi muda Bojonegoro yang tidak kepaten obor atas budaya leluhurnya sendiri. Ada regenerasi di sini yang mana generasi muda itu nantinya sanggup untuk meneruskan torehan emas sastra Jawa dari para seniornya, dari Bapa JFX Hoeri, Bapa Djajus Pete, Bapa Nono Warnono, Bapa Gampang Prawoto dan para senior lainnya.

Agar generasi muda menyukai sastra Jawa, tentunya harus ada upaya aktif ke arah sana, yakni mengajak generasi muda tersebut menyukai sastra Jawa. Bisa melalui bangku sekolah maupun luar sekolah, seperti sanggar-sanggar sastra yang ada di Bojonegoro. Ada Sanggar Pakeliran di Sraturejo (Baureno) di bawah bimbingan Bapa Herry Abdi Gusti, ada PSJB di bawah bimbingan Bapa JFX Hoeri dan ada juga Sanggar Sastrowijoyo di Pejambon (Sumberrejo) di bawah bimbingan Bapa Gampang Prawoto.

T: Dalam waktu dekat ini, apa ada rencana menerbitkan buku lagi? Boleh dong minta bocorannya.

J: Insya Alloh tahun depan saya menerbitkan antologi puisi saya yang kedua. Sekarang masih dalam proses penyusunan materinya. Ya mungkin minimal ada 75 puisi dalam antologi itu nantinya. Mohon do’anya ya Mas.

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *