Timur Budi Raja: Cerita Tentang Sebuah Taman

Ilustrasi bangku taman/Sumber: Pixabay

HANYA sebuah taman. Tepatnya di tengah-tengah kota tak jauh dari alun-alun yang berhadap-hadapan dengan kabupaten. Dan di kabupaten itu, kau tahu, beberapa truk tentara parkir dan berjaga setiap harinya sejak sebulan lalu sehabis terjadi kerusuhan.

Entah mengapa, aku benar-benar tak paham. Aku cuma mengenang tanggalnya. Dua puluh Agustus dua ribu dua, orang-orang itu datang dengan beragam persoalan. Mereka sampai di depan pintu Pendopo Agung dengan membawa bendera nasibnya masing-masing. Mereka ngamuk, marah-marah dan melemparkan batu-batu. Melemparkan dendam yang seperti telah dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.

Hanya itu…, hanya itu yang kuingat. Selebihnya aku tak tahu lagi tentang apa, mengapa dan bagaimana nasib sebagian dari mereka yang ditangkapi petugas keamanan.

Baca Juga:  Ngaostik 3, Mengembalikan Rindu pada Pemiliknya

Sebuah taman dengan beberapa jenis bunga, kau sungguh harus melihatnya. Ada bunga leli, mawar, rumput tikar dan kembang sepatu tumbuh dan mekar membawa hidupnya di situ.

Ada empat bangku panjang pula. Penuh coretan, tapi cukup ramah. Bangku-bangku panjang itu saling menyudut agak berjauhan letaknya. Mereka tidak bermusuhan. Bahkan bersitatap sepanjang hari, seperti layaknya pasangan mempelai yang gemetar saling mengenal.

Bila sore tiba di taman ini, bangku-bangku panjang itu jadi ramai sekali suaranya. Orang-orang datang dengan pakaian warna-warni, seperti perihalnya percakapan mereka yang beragam demikian indahnya. Ada yang cuma sekedar datang. Mungkin pelancong yang kebetulan lewat, lalu sejenak singgah untuk istirahat.

Baca Juga:  E-book di Tengah Hiruk Pikuk Hari Buku 

Diam-diam mereka menyimpan wajah bunga-bunga itu ke dalamnya hati. Untuk kenangan. Sedangkan yang lain? Mereka senantiasa dengan sengaja dipertemukan lantaran sore dan senja. Apakah yang kau bayangkan tentang mereka? Di taman ini mereka merasa, bahwa usia tak pernah beranjak pergi tua dan renta. Entah pula mengapa.

Ah, sebuah taman. Hanya sebuah taman sederhana.

Tanpa kolam dan ikan-ikan, tanpa pohon-pohon palem dan cemara. Cuma pucuk-pucuk akasia yang menjulang tinggi dan suka menjatuhkan daun-daunnya bila dirasa telah kuning warnanya, serta pohon-pohon asam yang coklat berdiri membentuk lingkaran mengelilinginya.

Taman itu, liontin dari kegelisahan. Liontin dari pertemuan kekerasan dan bunga. Tempat Lukito dan Zainab dulu bertemu sebelum kawin.

Baca Juga:  Kehidupan Penulis dan Ulah Pembacanya; Esai R.K. Narayan

Taman itu hanyalah sebuah taman. Tempat tiga lelaki tua dan seorang perempuan yang suka tersenyum. Dan sungguh pun, aku suka mengenangnya.

____

(.) Timur Budi Raja, menulis puisi, naskah pertunjukan, esai sastra dan bergiat mengaransir puisi-puisinya ke dalam bentuk musik puisi. Banyak menerbitkan buku, diantaranya Tentang Yang (Fiction Writers & Font, Makassar International Eight Festival & Forum, 2017).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *