Mendekati tahun 2019, kegaduhan makin menggila. Apa saja ditarik ke simpul yang sama: politik. Sampai-sampai tak jarang orang berteriak atas nama Tuhan untuk membenarkan sikap politiknya. Sebagian besar orang rela menanggalkan kewarasan dan menempuh segala cara dengan fitnah dan caci maki demi mengunggulkan kelompok dan orang-orang yang satu barisan dengannya.
Media sosial yang ketika awal dikembangkan dianggap sebagai “malaikat” penyambung rasa solidaritas manusia di dunia, kini tak ubahnya menjadi arena pertarungan yang seringkali malah menafikan persaudaraan. Media sosial, ketika dilempar ke publik memunculkan harap akan terwujudkan demokrasi deliberatif, tapi ternyata melahirkan sosok-sosok pemakan sesama.
Bulan Ramadhan menjadi bulan tanpa makna apapun karena tak mampu membendung sahwat untuk berperang. Tapi benarkah perang yang kamu lakukan adalah perang suci membela kebenaran atas nama Tuhan? Seberapa yakin kamu akan hal itu? Jangan-jangan kamu mengatasnamakan Tuhan hanya untuk kepentinganmu sendiri?
Di media sosial, seseorang yang dulu bukan siapa-siapa dan tak pernah bersuara apapun di ranah publik, memang punya kesempatan yang luar biasa besar untuk menunjukkan suaranya. Itulah demokrasi. Tapi suara-suara itu pun kini menjejali ruang publik virtual, yang terkadang tanpa berpegang pada fakta, apalagi etika. Duh, betapa nestapanya Ramadhan tahun ini yang dijejali intrik politik.
Lalu apa yang perlu kita perbuat kini? Dunia ini sudah mendekati rapuh, begitu pesan bapak saya. Dan menjelang hari raya Idul Fitri tahun ini, bolehlah kita bermuhasabah, bertafakur dan mencerna kebajikan-kebajikan yang datang dari Tuhan. Kita dan dunia ini hanya sebiji kacang ijo, begitu kata Gus Mus. Sehingga apa yang patut kita sombongkan?
Berikut nasehat yang semoga bisa menumbuhkan semangat diri kita di dunia yang dipenuhi fitnah ini.
- “Fal yaqul khairon au liyasmut”.
Hendaklah berkata yang baik atau diam. Kalimat ini merupakan penggalan dari hadits Nabi Muhammad yang lengkapnya adalah: Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yaqul khairan au liyasmut. Hadits Nabi ini kemudian ditegaskan kembali oleh Imam asy Syafi’i (wafat 204 H) : Jika salah seorang diantara kalian akan berbicara maka hendaklah ia berfikir tentang pembicaraannnya itu. Jika tampak mashlahatnya maka berbicaralah. Namun jika ragu akan kemashlahatannya maka hendaklah kalian tidak berbicara.
- Jangan takut berlebihan pada “yang lain”
Kita mungkin sering merasa keberadaan orang lain menjadi ancaman atas keberadaan kita. Sehingga muncullah rasa takut akan kehilangan apa yang ada pada diri kita. Kelompok A, misalnya, takut jika kelompok B akan mendominasi. Demikian juga sebaliknya. Dan rasa ketakutan yang berlebihan pada orang lain, akan memunculkan upaya melenyapkannya. Lalu bagaimana jika banyak orang menginginkan melenyapkan “yang lain”? Semoga kita tidak termasuk golongan orang macam itu.
- Forgivness Communication
Anggap saja istilah ini bermakna komunikasi pengampunan/pemaafan. Sikap memaafkan pada orang lain yang melakukan kesalahan adalah kunci untuk melapangkan dada. Dan bukan malah menyebarkan provokasi, ujaran kebencian, yang tanpa ditimbang baik-buruknya. Jalan pemaafan kini jadi barang langka di dunia yang mengagung-agungkan pemenuhan hak.
- Selalu memohon ampun pada Tuhan
Ketika Tuhan menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya, itu bermakna bahwa manusia dan jin adalah sama-sama makhluk yang kecil di mata Tuhan. Tuhan tidak rugi apapun jika kita memilih jadi orang baik atau jahat, pendendam atau pemaaf, karena Tuhan tetaplah Maha Kuasa, dan kita makhluk yang lemah. Jadi, sebagai makhluk yang lemah, alangkah lebih bijak kalau kita selalu memohon ampun kepada-Nya.