Diurna  

4 Tantangan Jurnalis Indonesia Sepanjang Masa

foto: toth-illustration

Kapan jurnalistik ada di muka bumi ini. Merunut sejarah, tercatat pada zaman pemerintahan Cayus Julius Caesar (100-44 SM) di Romawi, dipampang beberapa papan tulis putih (Forum Romanum) di lapangan terbuka tempat rakyat berkumpul.

Isinya salah satunya berupa Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan dari rapat rakyat dan berita-berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintahan Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui rakyat.

Diurna sendiri kemudian berkembang menjadi istilah journal dan journalist. Dan di Indonesia dikenal dengan istilah jurnal dan jurnalis.

Lalu kapan jurnalistik ada di nusantara? Sejarah mencatat pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”. Waktu itu masih ditulis dengan tangan. Memories der Nouvelles disebut-sebut sebagai surat kabar pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.

Baca Juga:  Dulu Ada Pertukaran Wartawan, Kini Masih Diperlukan Enggak Ya?

Jurnalistik berkembang hingga sekarang. Pada tahun ini tercatat ada 1.197 media audio visual, 168 media online (yang lolos dari 43.300 media online yang beredar), dan 1.081 media cetak.

Meski berumur panjang, dunia jurnalistik Indonesia selalu menemui tantangan besar. Terlebih bagi jurnalis. Ada banyak tantangan jurnalis di Indonesia, yang sebenarnya tantangan itu tidak berubah dari masa ke masa. Tantangannya ya itu-itu saja mulai zaman kolonial sampai zaman media sosial.

1. Kekerasan

Data yang dihimpun AJI Indonesia sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 menyebut ada 72 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sebanyak 38 kasus di antaranya berupa kekerasan fisik dan 14 kasus berupa pengusiran atau pelarangan liputan.

Kekerasan jurnalis sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Salah satu korbannya adalah Tirto Adhie Soerjo, Bapak Pers Nasional yang diasingkan kemudian “dibunuh” karena aktivitas jurnalistiknya.

Baca Juga:  Komunitas Pers Minta Kapolri Cabut Pasal 2d dalam Maklumatnya

2. Kesejahteraan

Sampai saat ini, masih banyak perusahaan yang belum memberikan kesejahteraan yang layak kepada jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan idealnya upah layak jurnalis di Jakarta untuk jurnalis pemula tahun 2016 sebesar Rp 7,54 juta. Tapi masih banyak perusahaan yang belum memberikan sebesar itu.

3. Profesionalisme

Agus Sudibyo menyebut saat ini ada tren munculnya wartawan “kagetan”. Mereka ada karena memang dibutuhkan, sehingga sungguh tak realistis untuk menggugat kualifikasi mereka. Sehingga yang perlu digalakkan adalah pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diproyeksikan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang seluk-beluk kerja jurnalistik, serta aneka-rupa permasalahan dalam kehidupan pers di Indonesia.

Dewan Pers merumuskan profesionalisme wartawan melalui standar kompetensi yang meliputi dua hal, soft competence dan hard competence (kompetensi lunak dan keras). Lunak meliputi ilmu-ilmu umum dan khusus, etika, budaya, lobi. Keras meliputi ketrampilan, dari teknis hingga sisi manajemen dan teknologi.

4. Teknologi

Teknologi informasi berkembang pesat. Dan hal itu tentu saja menjadi tantangan jurnalis. Apalagi kebutuhan informasi begitu cepat seiiring perkembangan media sosial. Nah, selain diharuskan profesional dalam bekerja, jurnalis juga diwajibkan melek teknologi. Salah satunya adalah akrab dengan gadget dan semacamnya.

Baca Juga:  Siapa Bilang Indonesia Tak Layak Huni?

Apalagi di negara-negara maju sudah banyak yang memanfaatkan robot jurnalis untuk menulis berita. Sebuah perusahaan asal Israel bernama Articoolo misalnya, mampu membuat berita melalui algoritma komputer yang mereka kembangkan. Lebih hebatnya, ketika kita meminta berita dengan tema yang sama 100 kali, algoritma buatan Articoolo mampu memberikan 100 artikel yang berbeda, tidak sama.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *