Air Wudlu dan Kerudung Putih

Sumber: Pixabay

Ada yang diam-diam menyelinap dalam hati. Ia memicu kegelisahan, mencipta kegalauan. Tetapi bukan cinta.

***

FIKSI – Dingin udara pagi masih merasuk dalam tubuhku. Embun yang masih menempel di daun, awan yang belum cerah menenamiku yang terduduk sendirian. Menunggu angkot di perempatan dekat rumah.

Kubiarkan kesunyian terjaga di halte yang sedikit basah karena embun yang singgah. Baju putih abu-abu yang kukenakan menjadi pertanda hari Senin tiba. Aku memang menggunakan kerudung. Sayangnya, hanya saat sekolah. Setelahnya kulepas, maklum di desaku hanya anak pondok yang memakainya. Meski begitu, di lubuk hatiku ada sebuah niat supaya memakai kerudung sepenuhnya bukan setengah-setengah. Aku memang tidak mengerti alasan, mengapa ingin memakainya? Suka saja saat melihat ada yang mengenakannya. Ada rasa tenang dan damai. Entahlah, aku begitu menyukainya.

“Tar, sudah dari tadi nunggu?”

“Baru aja dateng.”

“Oalah….”

Tentu aku tidak berangkat sendirian. Ada beberapa teman yang menemaniku. Jarak rumah dan sekolahku memang cukup jauh. Kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit agar sampai ke sekolah. Oh ya, aku biasa dipanggil Tari. Seorang gadis desa yang minim agamanya.

***

Lagi-lagi, ada kegelisahan dalam hatiku. Putih abu-abu yang kukenakan, rasanya kian membuatku malu. Entahlah, semenjak usia kian bertambah, aku bertambah malu saat keluar rumah. Seperti ada hal yang kurang dariku. Tapi apa itu? Aku tidak tahu. Sering sekali aku menundukkan wajah dan merasa risih dengan pakaian yang kukenakan. Kepercayaan diriku semakin menurun. Terasa ada yang salah, ada yang tak nyaman.

Baca Juga:  Kajian SAMAWA: Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan

Satu ketika, di Masjid SMA aku berbincang dengan temanku. Salah satu tempat yang sering kukunjungi, selain perpustakaan dan kantin sekolah. Masjid memang menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Kami membahas hal-hal kecil sampai ke pembahasan itu.

“Kalian tahu, aku seneng banget pas ngeliat ada yang pakai kerudung dan gamis. Busana muslim gitu, bagus sih.”

“Aku setiap hari pakai. Keluar rumah juga pakai, kenapa Tar?”

“Nggak papa.”

Mulutku terdiam. Rasanya, ada hal yang cukup tak mengenakkan untuk kudengar. Jujur merasa sedih. Napasku sedikit berat, tetapi aku berusaha menampakkan senyuman. Kami mulai membicarakan hal lainnya. Ada yang mengganjal dalam hatiku, namun kupendam rapat-rapat.

***

Tahun telah berganti, aku kini naik kelas dua SMA. Namun di tahun inilah banyak berita yang menggemparkan bermunculan. Berita itu seperti mengguncang dunia atau mungkin hanya sekadar mengguncang seisi kelasku saja. Tepatnya, berita itu seperti jadi trending di media sosial dan mengalahkan berita artis-artis yang lagi panas-panasnya. Semua orang membicaraknnya. Tidak di kelas, di pelajaran bahkan saat ekstrakulikuler berita itu terus menggema. Berita itu tentang hari kiamat yang semakin dekat.

Baca Juga:  Membuka Sebuah Catatan Misterius

Memang sih kiamat kian dekat, tapi tanda-tanda terus dibahas di dunia maya, itulah yang membuat kehebohan. Berbagai isu bermunculan, termasuk ramalan-ramalan yang tak seharusnya dipercaya. Berita tentang Danau Tiberia yang mengering, pohon-pohon kurma yang sudah lama tidak berbuah, dan lainnya terus bergema di telingaku. Diriku semakin gelisah, takut niat itu tak dapat kulakukan.

“Jangan takut, lakukan hal-hal seperti biasanya. Kita manusia harus terus melakukan yang terbaik. Hanya Allah yang tahu kapan hari kiamat akan datang menjemput kita semua. Berdoalah, perbanyak amal baik, dan tetaplah berusaha menjadi lebih baik lagi.”

Seorang guru berusaha menasehati kami semua dan hanya aku satu-satunya siswa yang meneteskan air mata. Aku tak dapat menahannya.

Seusai pelajaran dan ekstrakulikuler selesai, aku pulang ke rumah. Hatiku menjadi tidak tenang. Aku terus bertanya-tanya.

“Apa cuma beberapa tahun aja aku hidup di dunia? Bagaimana kalau tak sampai lulus SMA?”

Aku kian gelisah mengenai hal itu. Kiamat memang semakin dekat. Kapan waktunya, tiada satu pun manusia yang tahu dan berhak meramalkannya. Hanya Allah saja yang mengetahuinya sedangkan manusia hanya diingatkan lewat tanda-tanda yang sudah Allah katakan dalam Al-Quran. Tanggal tepatnya, tentu tak ada manusia yang mengetahui.

Malam kian larut, suara jangkrik dan hawa dingin mulai merasuk. Aku menatap keluar jendela, seakan menitip salam kepada Sang Pencipta. Lalu, kuputuskan untuk menutup jendela dan menuju ranjang. Tubuh mulai kurebahkan. Aku percaya Allah memberiku banyak waktu dalam memperbaiki diri, akhlak, dan ibadahku. Mata kian terpejam dan tubuh tidur begitu pulas.

Baca Juga:  Pujian Sebelum Shalat Jamaah, Tradisi Islam-Jawa yang Mulai Hilang

Tepat pukul 03.00 WIB, tiba-tiba aku terbangun begitu saja. Hal ini cukup janggal, sebab aku tidak pernah bangun jam segitu. Aku merasa gelisah dan memutuskan mengambil air wudhu dan melaksanakan salat Tahajud. Kemudian, kukenakan kerudung dan membaca beberapa surat-surat pendek.

Tiba-tiba air mataku menetes, semakin deras hingga aku tak mampu membendungnya. Hari itu, kumulai sebuah keputusan. Aku mengenakan kerudung putih dan berikrar tak akan lagi melepasnya. Mungkin akhlakku masih buruk, ibadahku belum sempurna. Tetapi, tidak ada salahnya untuk memulai dan terus berbenah.

“Bismillah, ya Allah tuntun aku dijalan-Mu. Ridlai aku menuju rahmat-Mu. Surga-Mu. Amiiin.”

Malam itu membuatku tersadar bahwa tak sepatutnya ada halangan bagiku dalam menunda-nundanya. Hijrah memang bukan sekadar mengubah penampilan, tetapi ini tentang bagaimana memperbaiki diri agar kian dekat menuju Ilahi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *