PRESS RELEASE – Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, dua jurnalis dan pemeriksa fakta Tempo.co, yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengalami doxing saat menjalankan pekerjaannya. Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
Kasus doxing ini bermula ketika CekFakta Tempo menerbitkan 4 artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan M. Indro Cahyono terkait Covid-19 sejak April-Juli 2020. Verifikasi dilakukan karena unggahan Indro di media sosial menjadi viral. Hasil cek fakta menunjukkan bahwa klaim mengenai Covid-19 oleh Indro tidak benar 100 persen sehingga dapat menyesatkan pemahaman publik. Keempat artikel ini ditulis bergantian oleh jurnalis atau pemeriksa fakta Ika dan Zainal.
Salah satu hasilnya adalah artikel CekFakta 29 Juli 2020 berjudul “Benarkah Tes PCR Tak Bisa Bedakan Terpapar dan Terinfeksi serta Virus Hidup dan Virus Mati?”. Artikel ini mendapat tanggapan dari akun Nurul Indra dengan menulis narasi di dindingnya bahwa isi artikel Zainal “ngawur” dan “keliru”. Pada bagian akhir narasi, akun tersebut menulis agar Indro melaporkan Zainal dan menuntut Tempo.
Pada hari yang sama (31 Juli 2020), akun Indro melakukan doxing dengan membagikan foto Zainal yang diambil dari foto profil Facebooknya, serta tangkapan layar artikel-artikel Cekfakta Tempo yang mendebunk klaimnya tentang Covid-19. Di unggahan itu, akun Indro juga menulis narasi berjudul “Lawan Teroris Wabah”. Isinya mengkaitkan tulisan-tulisan Zainal sebagai bagian dari teroris wabah.
Keesokan harinya, Sabtu (1 Agustus 2020), akun Indro kembali melakukan doxing dengan membagikan foto Zainal dan Ika yang diambil dari foto profil Facebook dengan narasi sebagai jurnalis penyebar ketakutan. Akun Indro Cahyono kembali melakukan doxing dengan menulis “Zainal Dewa Pandemi Virus Dunia” pada Minggu (2 Agustus 2020) dengan menyertakan foto Zainal.
Atas peristiwa yang dialami dua jurnalis ini, AJI menyampaikan sikap:
1. Apa yang dilakukan Zainal dan Ika, dengan melakukan pengecekan fakta atas apa yang disampaikan sdr. Indro, merupakan bagian dari tugas jurnalis dan pengecek fakta. Keduanya berusaha memeriksa kesahihan sebuah informasi yang sedang menjadi perbincangan publik. Zainal mewawancarai dua ahli yaitu Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi dan Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation (PNF), Chairul Anwar Nidom. Ia juga mengutip Andrew Preston, ahli biologi dan biokimia dari Universitas Bath di The Guardian. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa klaim Indro dinilai menyesatkan. Tes PCR sebenarnya bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi virus sepanjang sampel yang diambil adalah sampel virus aktif yang berada dalam sel. Tes PCR memang tidak bisa membedakan sehat dengan sakit karena hanya alat bantu proses diagnosis. Jika ada hasil verifikasi yang dilakukan dua jurnalis itu ada yang dinilai tidak akurat, Indro seharusnya menyampaikan bukti atau argumemntasi yang sifatnya membantah, tidak hanya sekadar mengungkapan kekesalan.
2. Mengecam tindakan M. Indro Cahyono yang menyebarkan foto Zainal dan Ika di media sosial, dan mengasosiasikannya dengan teroris wabah. Apa yang dilakukan Indro bisa dikategorikan sebagai bentuk intimidasi dan upaya menghalang-halangi jurnalis menjalankan pekerjaannya. Tindakan menghalang-halangi jurnalis dalam menjalankan profesinya bisa dijerat dengan pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang memuat ketentuan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana dengan ancaman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
3. Mengingatkan publik untuk menggunakan mekanisme yang disediakan Undang Undang Pers jika “bersengketa” dengan pers. Jika ada masyarakat yang tidak puas atau ingin mengoreksi berita yang dibuat jurnalis dan dipublikasikan media, bisa menggunakan mekanisme hak jawab ke medianya, atau mengajukan komplain ke Dewan Pers. Dewan Pers akan menangani komplain itu dan menguji apakah berita yang diadukan tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik atau tidak. Rekomendasi sanksi dari Dewan Pers akan mendasarkan pada hasil penilaian terhadap karya jurnalistik yang diadukan.
AJI adalah organisasi jurnalis yang misinya memperjuangkan kebebasan pers, meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis. AJI memiliki 1.846 anggota yang tersebar di 38 kota. AJI merupakan satu dari empat asosiasi wartawan konstituen Dewan Pers dan menjadi anggota sejumlah organisasi internasional: International Federation of Journalists (IFJ), berkantor pusat di Brussels, Belgia: International Freedom of Expression Exchange (IFEX), berkantor pusat di Toronto, Kanada: Global Investigative Journalism Network (GIJN), berkantor pusat di Maryland, AS: Forum Asia, jaringan hak asasi manusia berkantor pusat di Bangkok, Thailand; South East Asian Press Alliance (SEAPA), yang bermarkas di Bangkok.
Jakarta, 3 Agustus 2020
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim