Resolusi adalah kesunyian masing-masing
Akhir tahun identik dengan resolusi: semacam target menentukan jalur hidup setahun ke depan. Tapi, se-penting itukah resolusi? Atau jangan-jangan resolusi akhir tahun hanyalah momentum mengkerdilkan makna resolusi itu sendiri?
Bisa jadi resolusi itu tidak penting-penting amat. Tapi, karena orang-orang yang kita kenal membikin resolusi, akhirnya kita pun ikut membikinnya. Bukan karena apa-apa, tapi agar kita (seolah) tetap menjadi manusia seperti yang lainnya.
Jika merujuk KBBI, resolusi berarti putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat; pernyataan tertulis; biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.
Sesuai KBBI pula, resolusi adalah tuntutan. Menuntut diri sendiri untuk menapaki sebuah capaian dalam rentang setahun. Ada yang sesuai target. Ada yang gagal target. Bahkan, ada yang lupa pernah punya resolusi dan ingat kembali ketika tahun mau berganti.
Apakah mereka yang memiliki resolusi berarti punya mimpi? Sebaliknya, yang tidak punya resolusi berarti tidak punya mimpi? Saya kira tidak seperti itu juga. Resolusi terlampau kecil jika disandingkan dengan mimpi.
Sebab mimpi adalah kemewahan mungil yang harus dipegang setiap mereka yang bernyawa, dan tidak perlu menunggu pergantian tahun untuk menciptakannya.
Resolusi — yang artinya sesuai KBBI tadi— memang penting dimiliki. Sebab ia target. Titik tuju pada sebuah perjalanan yang bakal dijalani. Dan sebagai makhluk hidup yang secara psikologis terus memiliki keinginan-keinginan, keberadaan resolusi teramat penting sekali.
Tapi, resolusi juga bakal menjadi umpatan sesaat jika ia lahir hanya untuk pantes-pantesan formalistis saja.
Kalau saya pribadi memiliki makna lain pada istilah resolusi. Dan mungkin, tidak sesuai arahan KBBI. Resolusi bagi saya adalah konstruksi “Re” dan “Solusi”. Solusi yang diulang-ulang: proses mencari jalan keluar dalam menjalani hidup.
Tanpa menunggu momentum pergantian tahun, dan hampir setiap hari —entah sadar maupun tidak— sebenarnya kita selalu mencari solusi dalam menjalani hidup. Selalu mencari jalan keluar di tiap masalah yang dihadapi. Dan proses itu saya maknai sebagai resolusi: proses pencarian solusi yang diulang-ulang.
Hampir setiap hari, saya — atau mungkin para pembaca juga— pasti melakukan resolusi. Tentang bagaimana mencukupi kebutuhan target, mencukupi kebutuhan hidup, atau mencukupi kebutuhan ingin. Bagi saya, itu semua adalah proses resolusi.
Giat hidup yang kita alami setiap hari, adalah proses resolusi. Setiap hari, tubuh dan pikiran kita sudah bertempur mati-matian demi melawan kebutuhan hidup, dan itu adalah proses resolusi. Jadi, jangan pernah mengkerdilkan makna resolusi dengan menempatkannya di akhir tahun saja.
Sebab, sebenarnya, setiap hari pun kita sudah mengajak tubuh dan pikiran kita untuk beresolusi: mencari jalan, mencukupi utopia kebutuhan-kebutuhan.
Resolusi adalah proses hidup kita sehari-hari. Bagaimana kita masih kuat melawan kejinya tuntutan hidup. Resolusi kita panjatkan hampir setiap hari; bagaimana kita mengucap syukur di tengah berkali-kalinya kita tersungkur.
Resolusi tidak harus diucap-sakralkan di akhir tahun jelang tahun baru. Sebab sejatinya kita sudah melakukannya setiap hari. Dan betapa kita telah mengerdilkan makna resolusi jika hanya diikrarkan saat pergantian tahun saja?
Karena terkadang, tujuan tahunan yang kerap kita resolusikan sebenarnya bukan tujuan itu sendiri. Sebab tujuan ada pada proses kita menujunya. Ada pada perjalanannya. Ada pada langkah-langkah kecilnya.
Dan pada akhirnya, resolusi adalah kesunyian masing-masing. Karena saban hari pun kita sudah beresolusi. Meski, kadang kita lupa bahwa kita sudah melakukan resolusi.