“Tuhan, aku takut mati muda. Terlalu takut sebelum sempurnakan jalan Manifesto Menulis itu; terus membaca, terus menulis, terus bekerja dan bersiap hidup miskin”. (hlm. 382)
Muhidin M. Dahlan atau lebih karib disapa Gus Muh, menjadi salah satu penulis tanah air yang begitu dikagumi karena keproduktifannya dalam membuahkan karya. Ia pun juga dielu-elukan sebagai salah satu penulis tersohor di tanah air. Salah satu karya Gus Muh yang menurut saya cukup penting ialah “Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta: Jalan Sunyi Seorang Penulis”.
Dalam buku ini, betapa kita bisa melihat lika-liku dan laku-lampah yang dijalani oleh Gus Muh dalam dunia tulis menulis. Lelaki asli Donggala ini terlahir dari keluarga yang sederhana.
Dalam novel yang lumayan tebal ini, mengisahkan seorang tokoh bernama “aku” (seorang lak-laki), yang besar kemungkinan — tak lain dan tak bukan adalah Muhidin M. Dahlan sendiri, ya Gus Muh. Meski dalam kisahnya, tokoh “aku” tak memperkenalkan diri sebagai Gus Muh, namun alur cerita yang disampaikan sangat mirip dengan apa yang ia sampaikan di beberapa kesempatan, saat dia diwawancarai oleh seorang teman. Termasuk kampung halaman ia berasal, tentang kampus dan jurusan yang pernah ia ‘incip’ dan juga buku pertama kali yang ia beli saat menginjakkan kaki di tanah rantau.
Oke, kembali ke buku. Bermula di masa kecilnya, ia ditanyai seorang lelaki misterius berjaket gelap yang bertamu di rumah tanah kelahirannya. Lelaki itu bertanya tentang buku bacaan. Ya, “bacaan”, betapa asingnya kata itu di telinga Gus Muh kecil. Karena selama ini buku yang dikenalinya adalah buku tulis dengan garis-garis bawah yang biasa ia tulisi dengan pensil ketika SD itu.
Rupanya, pertanyaan pendek dari pria misterius itu amat penting dan begitu membekas. Sampai ia duduk di bangkus SMP dan STM ia semakin tertarik dengan berbagai bacaan.
Saat di STM ia mulai mengasah kemampuan menulisnya dan bergabung dalam sebuah organisasi. STM Gus Muh bertempat di perkotaan. Maka saat STM ini ia semakin sering mengunjungi perpustakaan dan membaca banyak literasi tentang islam yang ia sengaja cari untuk bahan diskusi di PPI (Pelajar Islam Indonesia). Akhirnya setelah lulus STM, Gus Muh memutuskan untuk pergi dari kampungnya, merantau ke Pulau Jawa.
Menjejalkan kaki di Yogyakarta
Ya, Gus Muh memilih Yogyakarta sebagai tanah rantauannya. Bermodalkan uang 750 ribu rupiah hasil pinjaman dari tetangga serta seuntai kalimat dari sang ayah, ia pun tiba di Yogyakarta. Ia menginap di sebuah asrma yang para penghuninya adalah orang-orang seprovinsi dengannya. Letaknya tak jauh dari Pasar Sentul.
Yogyakarta adalah surganya para pecinta buku. Ia menghabiskan banyak waktunya hanya dengan buku, menulis dan semua rasa dahaga akan kepustakaan yang tak bisa ia rengkuh saat di kampung halaman.
Berbekal pengalaman menulis dan banyak diskusi di PPI saat STM, ia pun memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke majalah kampus.
Tenggelam dalam Buku
Saat tergabung dalam Majalah Kampus, Gus Muh merasa menemukan rumah keduanya. Atau bahkan surga. Ia semakin tergila-gila dengan bacaan dan sudah otomatis kemampuan menulisnya kiat melejit. Saat menyandang status mahasiswa di salah satu kampus bergengsi di Yogyakarta, ia membeli buku pertamanya. Buku itu berjudul Psikologi Komunikasi karangan Jalaluddin Rakhmat.
Di awal-awal masa kehidupan di kota pelajar ini, bacaan dan juga tulisan Gus Muh rata-rata bertemakan agama. Buku Ali Syari’ati juga menjadi referensi wajibnya dalam menulis dan juga laku hidup. Selain agama, tema tulisan Gus Muh juga tentang pendidikan dan pergerakan mahasiswa.
Tak membutuhkan waktu lama, berkat totalitas dan kegigihannya belajar ‘baca dan tulis’ Gus Muh akhirnya didapuk menjadi seorang editor di Majalah Kampus. Ia terkenal sebagai pribadi yang lugas dan tak mau basa-basi. Dengan sifat kerasnya, ia pernah sampai menggertak kawannya yang ogah-ogahan. Kalimat seperti ini pernah keluar dari mulutnya,
“Siapa suruh masuk ke sini, di sini bukan tempat untuk ngerumpi. Di sini tempat orang untuk menulis dan membaca. Titik. Kalau mau santai, ya masuk ke tempat lain. Masuk Kopma sana. Siapa yang tidak bisa menulis minggir.”
Betapa gahar pemuda yang pernah aktif di HMI dan juga PMII ini.
Menulis untuk Hidup
Setelah beberapa purnama berlalu, Gus Muh semakin asyik dengan dunia buku dan tulis menulis sampai-sampai kuliahnya pun tak terurus. Hingga suatu ketika dimana ia mencapai titik keputusan final; memutuskan keluar dari kampus. Ia juga mulai terlilit dengan geliat dan amukan perut yang selalu meminta jatah makan. Sedangkan keuangan juga mengenaskan. Mengandalkan uang kiriman dari kampung yang sedikit dan tak menentu.
Ia aktif menulis tulisan untuk dikirim ke koran-koran dan berharap dimuat dan mendapatkan honor, untuk mengisi perut dan membeli beberapa buah buku. Ia banyak menulis resensi buku-buku baru, ini diklaim sebagai cara ampuh agar tulisan dimuat. Karena tanpa tak langsung, resensi buku juga ikut mempromosikan baik nama penulis maupun penerbit buku yang diresensi. Tentu saja awal-awal mengirimkan tulisan, selalu saja ditolak. Namun dengan kegigihan dan tekadnya, ia terus menulis dan tak bosan-bosan mengirimkannya ke koran-koran.
Sepotong Sajak Cinta dalam Buletin
Di lain waktu, kemampuannya menulis (dan bahkan layout) ia gunakan dengan cerdik untuk mengurusi persoalan cintanya. Bayangkan saja, ia menyatakan cintanya dengan membuat sendiri buletin yang semuanya diisi oleh tulisannya untuk si perempuan.
Namun sayang, si perempuan tak ada respon lebih dan lebih memilih dengan yang lain. Dari situ si Aku yang patah hati memutuskannya dengan sepotong sajak—padahal ia belum sampai berpacaran. Sayang sekali.
Bekerja di Penerbitan
Karena harus memutar otak dan menaklukkan tuntutan ganasnya kehidupan, ia juga menjadi freelance di beberapa penerbitan. Dari upah menulis itulah ia bisa bertahan hidup. Walaupun harus berbagi antara uang untuk makan dan membeli buku. Koneksinya dengan banyak orang membuatnya mendapat pekerjaan sebagai editor di sebuah penerbitan. Tapi itu tak berjalan lama karena tiap ia bekerja di penerbit selalu saja ada masalah yang menimpanya.
Dengan pekerjaannya yang tak pasti seperti itu, ia terus bertahan hidup. Ia mengandalkan uang kiriman orang tua yang jarang, upah menulis di koran, atau upah bekerja di penerbitan yang tak begitu banyak.
Melihat hidupnya yang seperti itu juga seperti melihat kehidupan tokoh Aku dalam novel Lapar karya Knut Hamsun. Mereka berdua sama-sama mengandalkan upah menulis di koran untuk menghidupi dirinya. Kebutuhan akan makanan dan bacaan terus mendesaknya.
Bacaan Gus Muh pun kini semakin banyak dan bermacam-macam. Ia yang mulanya begitu condong ke bacaan Agama, pergerakan dan politik, akhirnya juga mengenal sastra dari Gadis Pantai besutan Bung Pram. Gus Muh semakin akrab dengan Pram sampai akhirnya ia mengagumi sosok sastrawan kelahiran Blora itu.
Dari Pram inilah Gus Muh semakin mencintai karya sastra dan semakin gigih serta yakin terus memilih jalan sunyi sebagai seorang penulis. “Menulislah, jika tidak menulis kau akan hilang dilupakan sejarah”.
Manifesto Menulis
Dinamika tulis menulis yang dilalui oleh Gus Muh sangat berliku, sampai suatu ketika saat ia terbaring dengan lemas dan perut kosong serta keuangan yang sama mengenaskannya–di atas kasur pondokan milik seorang petani dengan istrinya yang montok itu–ia membayangkan sedang bertemu dengan Karl Marx menggantung—mengintip di luar jendela.
Ia sempat kaget dengan kedatangan Marx dan mengajaknya berbincang. Marx dengan Manifesto Komunisnya yang terkenal itu membuatnya tergerak untuk membuat hal serupa untuk ia patuhi. Dan inilah Manifesto Menulis yang harus dipahami oleh mereka yang berkeinginan untuk menjadi penulis.
“Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”
Identitas buku
Judul: Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta; Jalan Sunyi Seorang Penulis
Pengarang: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriptaManent Cetakan Baru 2016
Tebal: 382 halaman
Ah, buku ini mengingatkan saya, di saat-saat tenggelam dalam tumpukan buku di sebuah kontrakan kecil di Malang, di sebuah toko buku kecil di pojokan.