Saya percaya jika anak-anak muda kesepian di seluruh dunia terselamatkan oleh kehadiran Alan Walker. Pada tiap lagu yang ia ciptakan, ada ingar-bingar sepi yang coba untuk terus dilawan, dihangatkan dan dibinasakan. Dan hampir semua lagunya bertema seperti itu. Perlawanan terhadap sepi secara kolektivitas yang elegan.
Saya mendengar Faded, Sing Me to Sleep dan Alone baru beberapa hari terakhir. Terlepas dari suara vokal Iselin Solheim dan Tove Styrke yang teramat memukau, di dalam lagu-lagu itu, saya masih menemukan mutiara harapan dalam lumpur kemuraman.
Oleh Walker, harapan tidak diletakkan di atas permukaan meja makan. Tapi ditaruh di bawah piring. Walker menampakkan harapan dengan malu-malu. Inilah keistimewaannya. Optimisme yang tidak vulgar. Optimisme yang elegan.
Walker tidak pernah menyanyikan lagu-lagu ciptaannya. Tetapi memerankan orang lain sebagai vokalis. Walker hanya berperan sebagai pengatur ritme melodi. Dan uniknya, saat perform, dia selalu mengenakan jaket hoodie dan bertopeng. Khas orang-orang belakang layar.
Kecerdikan Walker meracik lagu berpadu dengan suara vokal yang ikonik. Vokal-vokal yang dipilih Walker memiliki suara khas. Iselin Solheim dan Tove Styrke misalnya, dalam lagu Faded dan Alone, warna suara dan cara membawakan mereka sangat memukau. Saat mendengarnya, mampu menghadirkan senja atau mentari pagi secara tiba-tiba. Ada damai yang terbungkus kemuraman. Bagi saya yang sudah jarang menikmati musik, bahkan berani menempatkan Iselin Solheim dan Tove Styrke sebagai dua penyanyi perempuan terbaik selama 3 tahun terakhir ini, menurut saya.
Walker masih sangatlah muda. Usianya baru menginjak 20 tahun. Usia-usia pemuda untuk menampakkan diri. Namun, ironisnya, di usia itu, dia sudah memposisikan diri sebagai sosok yang tidak egois dan tak terlalu ingin tampak. Walker mengemas diri sebagai sosok invisible hand. Bagi saya, di sinilah letak keistimewaan Walker.
Alan Olav Walker adalah sosok pembaharu. Dia tidak lahir dari latar belakang pemusik. Lelaki Norwegia itu sebenarnya tidak ahli dalam hal bermusik. Dia hanya desainer grafis dan programmer. Tapi dia menciptakan musik sendiri menggunakan komputer. Sekaligus merepresentasikan diri sebagai musisi digital.
Yang paling istimewa dari itu semua adalah, Walker mampu menghadirkan kesan muda, digital dan universal. Semangat kolektivitas dalam melakukan perlawanan. Sebuah semangat yang terlihat berlawanan dari kultur Skandinavia yang dingin dan individualistis.
Beberapa hari ini saya mendengar lagu-lagu Alan Walker. Dibanding popularitas Walker, saya sangat telat memang. Dan itu bukan sebuah masalah bagi saya. Sebab, masalah utamanya adalah saya bersyukur masih menemukan musik berkualitas di era banjir bebunyian yang kerap menimbulkan rasa bosan ini.
Sebagai lelaki yang sudah tidak remaja lagi (dan sudah jarang mengamati musik kontemporer secara saksama), awalnya saya mengira tema yang diusung Walker adalah fenomena khas anak-anak muda Skandinavia. Namun, saya keliru. Era digital adalah era kesepian global. Dan itu sudah merambah hingga pelosok desa di Indonesia. Bedanya, cuaca Indonesia mungkin belum sedingin Skandinavia. Sehingga improvisasi kesepiannya pun agak berbeda.
Saya mungkin hanya mendengar dan mendalami 3 judul lagunya saja: Faded, Sing Me to Sleep dan Alone. Namun, dari 3 lagu itu ada benang merah keterkaitan yang membuat saya ingin memahaminya lebih dalam. Terutama jika saat mendengar dipadu dengan menonton video klipnya.
Ketiga lagu itu bertemakan depresi, dingin sepi dan jiwa yang teralienasi oleh kenyataan hidup khas anak-anak muda urban. Terkesan pesimis dan negatif memang. Tapi ada mood-uplifting yang hadir secara samar di akhir lagu. Itu bisa dirasakan pada lagu Alone.
Sebenarnya, saya tergolong orang yang sulit menikmati musik EDM berbasis synthesizer. Namun, Walker tidak hanya menyajikan musik EDM seperti pada umumnya. Dia menawarkan puisi. Hampir semua lirik lagunya adalah puisi. Medianya saja yang EDM.
Saat mendengarkan lagu-lagunya, sama seperti saat mendengar puisi. Ada optimisme di dalam kemuraman. Saya memaknainya sebagai kemuraman yang optimistis. Sebuah lagu yang mampu membikin crying without feeling sad.
Lagu-lagu Walker tidak hanya menampilkan perlawanan terhadap sepi. Namun sebuah upaya pencarian. Sebuah konsep persuasi yang mampu mengajak tubuh melangkahkan kaki. Untuk mencari. Entah apa yang dicari. Mungkin keluarga. Rumah. Kehangatan. Kebahagiaan. Atau secara tasawuf: Tuhan.
Oh my God, akhirnya aku menemukam artikel yg berpikir sama 😇, thankyou…
Aku akan menceritakan karya Alan Walker pada orang2 melalui karyaku
saya juga merasakan apa yang admin katakan.. alan walker berhasil menggiring penikmatnya untuk merasakan apa yang dia rasakan.
Mantap
Alan Walker – iselin – Tove, kolaborasi yang urban Milenial sekali…kesedihan dibalut arus kuat digitalisasi