Mari kita bertanya sejenak pada diri sendiri, apakah sejatinya kita ini orang baik, atau orang yang merasa baik, atau pura-pura baik, atau bahkan tidak tahu (dan tidak mau tahu) bahwa kita ini (perlu jadi) orang baik atau tidak.
Untuk menjawab ini tentu harus dijawab dulu apa itu “baik”. Baik adalah kata sifat yang melekat (atau dilekatkan) pada sesuatu. Baik ini menyifati sesuatu dengan sifat yang positif. Sifat ini menjadi salah satu tolok ukur kualitas dari sesuatu.
Menurut Kamus Besar bahas Indonesia (KBBI), “baik” ini diartikan (dipadankan) dengan: elok, tak ada celanya, teratur, dan sebagainya. Tentu ini belum bisa menjelaskan pengertian baik itu sendiri. Memang sih, susah mendefinisikan hal-hal yang sederhana seperti ini, karena kita cenderung menganggapnya tidak penting. Padahal itu mempengaruhi pola perilaku dan kecenderungan kita sepanjang hidup.
Dan memang, mendefinisikan atau membuat pengertian tentang “baik” ini tidak mudah. Dan mestinya setiap orang bisa punya pengertian yang berbeda. Namun, menurut saya, “baik” ini memiliki makna yang lebih universal dibanding dengan kata “benar”. Karena “benar” belum tentu baik, sedangkan “baik” sudah pasti benar (dan baik pula).
Saya secara pribadi lebih suka memahami kualifikasi “baik” ini dengan tolok ukur tertentu, yakni: menyenangkan, menenteramkan, dan (atau) mendamaikan. Jadi segala sesuatu dikatakan baik jika memiliki aspek: menyenangkan (tidak risau, gundah, atau takut), menenteramkan (nyaman, tenang, asyik), dan mendamaikan (orang lain juga senang, nyaman, asik).
Jadi tolok ukurnya ada di dua arah: kedalam (diri sendiri) dan keluar (orang lain). Jika kedalamnya bagus dan keluarnya bagus, itu artinya baik. Namun jika kedalamnya bagus tapi keluarnya tidak bagus, itu jelas tidak baik. Apalagi jika kedalamnya tidak bagus dan keluarnya pun tidak bagus, itu jelas-jelas tidak baik.
(Bagaimana? Membingungkan nggak? Kalau membingungkan…. ditelan saja. Hahaha….)
Sederhananya begini: jika kita melakukan sesuatu dan dengan melakukan sesuatu itu hati kita menjadi senang, tenteram, dan damai, berarti sesuatu yang kita lakukan itu baik (karena sesuatu yang tidak baik pasti akan membuat hati kita tidak tenteram). Itu di tahap pertama. Nah, jika yang kita lakukan itu berakibat baik juga bagi orang lain (menyenangkan, menenteramkan, dan mendamaikan mereka), maka yang telah kita lakukan itu betul-betul baik. Di tahap ini kita telah melakukan “kebaikan” yang dampaknya bisa kita rasakan sendiri dan juga dirasakan oleh orang lain.
Namun sebaliknya, jika yang kita lakukan itu tidak membawa kesenangan (kegembiraan), ketenteraman, dan kedamaian dalam diri kita sendiri dan (lebih-lebih) orang lain, maka nyata-nyata kita telah melakukan “keburukan”. Dan dengan tindakan itu kita sedang menjadi tidak baik.
Dengan tolok ukur ini mestinya kita sudah bisa menilai diri kita sendri: apakah kita ini orang baik, jika dirunut dari kecenderungan dan perilaku kita. Dari tutur kata, misalkan, apakah tutur kata kita menyenangkan atau malah menyakitkan orang lain. Kemudian perilaku kita, apakah kita membuat orang lain nyaman berkomunikasi atau berinteraksi dengan kita, atau justru membuat orang lain tidak betah, tidak nyaman, risih, dan lain-lain.
Dalam membuat status-status di media sosial (medsos), misalnya, apakah kita cenderung intimidatif (menekan), men-judgement (menghakimi), agresif (menyerang), kasar, nyindir, nyinyir, mendemonstrasikan kebencian dan sinisme, atau sebaliknya: lembut, bersahabat, elegan, membangkitkan semangat, supportif, kocak, jenaka, menyenangkan, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu hanya contoh.
Jadi sekali lagi, mari kita berefleksi diri, mengaca kembali untuk melihat dan menilai diri kita sendiri apakah kita ini (layak disebut/mengaku) orang baik jika ditilik dari kecenderungan kita sehari-hari. Tapi ini hanya ajakan lho…. tidak memaksa atau bermaksud menggurui. Karena saya sendiri masih terus belajar MENJADI ORANG BAIK DAN BELAJAR PADA GURU YANG TERSERAK DI MANA-MANA.
Demikian …. salam damai dan cinta dariku, kawan. Ai lop yu pull.
Bangun Mulya, 01 Juni 2017