Masyarakat samin atau biasa disebut wong sikep, punya cara hidup yang unik. Keberadaannya sejak awal abad 20 hingga saat ini masih banyak mengundang tanda tanya. Wong Sikep banyak tinggal di Kabupaten Blora, tempat asalnya, hingga Bojonegoro, Pati dan bahkan Kudus.
Wong Sikep atau wong samin adalah pengikut Samin Surosentiko. Sosok Samin memang masih gelap. Informasi tentang dia masih simpang siur. Ada yang mengatakan ia buta huruf. Tapi anehnya, koran-koran Belanda menyebut dia sebagai filosof Jawa atau pemikir bebas dari Jawa.
Dalam buku berjudul Samin: Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan yang ditulis oleh Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin (2014), diceritakan bahwa ada versi lain tentang biografi Samin Surosentiko.
Selain disebutkan buta huruf, ada versi tradisi lisan yang menyebut Suro Sentiko dikisahkan merupakan anak Raden Surowijoyo atau juga dikenal dengan nama Raden Aryo. Di kemudian hari, Raden Aryo ini juga dikenal dengan nama Samin Sepuh yang merupakan keturunan dari Bupati Ponorogo Sumoroto.
Samin Sepuh muda lebih dekat dengan rakyat kecil. Ia melihat ketidakadilan di tengah masyarakat akibat dihisap oleh kolonialisme. Ia kemudian sempat menjadi bromocorah yang merampok harta orang kaya untuk dibagikan ke masyarakat miskin. Samin Sepuh dikait-kaitkan dengan kelompok Tiyang Sami Amin yang kemudian mengilhami nama Samin itu sendiri.
Cara hidup wong sikep yang berbeda dari masyarakat kebanyakan membuat pusing Belanda. Karena mereka menolak membayar pajak. Tak heran jika muncul pertanyaan, Samin itu ajaran hidup atau sebuah perlawanan terhadap kolonialisme?
Nah, sebagai gambaran kecil tentang Wong Samin, mari kita membaca laporan di koran Belanda Het Nieuws van Den Dag pada 5 Maret 1907. Koran itu menurunkan laporan introgasi petugas residen Rembang dengan Samin Surosentiko (1859-1914)- (hal:30)
T: Siapa nama anda?
J: Nama saya adalah lanang. Orang-orang memanggil saya dengan nama Surosentiko atau Samin
T: Di mana anda tinggal?
J: Badan saya inilah rumah saya, pondok saya ada di Dusun Plosowetan
T: Percayakah anda akan Allah atau Tuhan yang lain?
J: Tidak, saya tidak pernah melihat Allah atau Tuhan yang lain, jadi saya tidak percaya
Percakapan di atas sedikit memberi gambaran bagaimana Surosentika menggunakan kalimat-kalimat ‘aneh’. Anis Sholeh Ba’asyin mencoba menganalisa secara kritis, bahwa ketika Surosentiko mengatakan tak percaya Tuhan, belum tentu dia atheis. Karena bisa jadi, itu cara pengungkapannya tentang Tuhan, atau karena faktor penanya adalah orang Belanda.
Cek selengkapnya di video ini:
https://www.youtube.com/watch?v=OklqXpZMkX0&t=916s