Kartomo adalah sahabat Kropak sejak kecil. Pergulatan hidup, membuat mereka berdua berpisah. Tepatnya saat lulus SMA, Kartomo memutuskan merantau ke kota besar. Sedangkan Kropak—karena harus menemani ayah nya sudah tua—tetap tinggal di desa untuk mengurus sawah. Nah, Ramadhan tahun ini, Kartomo pulang kampung. Kabar ini disambut gembira Kropak, kawan baik yang selama dua tahun tidak bertemu.
Semacam ingin mengulangi masa lalu, melalui pesan pendek, Kartomo berniat mengajak ketemu Kropak di teras langgar. Tentu, diajak ketemu Kartomo, menjadi sebuah kebahagiaan bagi Kropak. Maklum, pemuda desa itu, sejak lulus SMA, hanya menghabiskan waktu menggarap sawah. Tak memilki teman yang bisa bercerita tentang suasana kota. Bagi Kropak, kota adalah sesuatu yang hanya bisa diangankan saja.
“Bertemu Kartomo, pasti banyak wawasan baru yang kudapat,” batin Kropak
Banyak cerita sudah dipersiapkan Kropak untuk menemui Kartomo. Beberapa diantaranya kenangan masa kecil mereka. Saat belajar membaca huruf pegon di langgar dan saat pertama kali ketahuan merokok oleh Pak Kiai.
Tarawih usai. Kropak pun menunggu Kartomo di teras musala. Maklum, shaf Kropak berada di belakang, sehingga lebih mudah dan cepat keluar saat salat witir usai. Sedangkan Kartomo, yang sedari tadi di shaf depan, agak lama keluar. Barangkali wiridnya lebih panjang dan lama daripada orang-orang lainnya. Sebab, hampir semua jamaah sudah mudun, tapi yang ditunggu belum juga menampakkan daun telinga. Begitu batin Kropak.
“Assalamualaikum, Akhi,” ucap sesosok pria berjanggut dengan dandanan serba putih sambil memegang pundak Kropak dari belakang.
Sambil membalikkan badan, Kropak tampak kaget. Beberapa saat dia berpikir, apa benar ini Kartomo sahabat kecilnya dulu. Maklum, sejak lulus SMA, mereka tidak pernah bertemu. Saat janjian ketemu pun, mereka hanya menggunakan layanan pesan pendek. Dan saat salat tarawih tadi, Kartomo berangkat lebih awal dan berada di shaf terdepan. Berbeda dengan Kropak yang berangkat belakangan. Praktis, Kropak belum sempat tahu prejengan terbaru kawan baiknya itu.
“Jenggotmu sekarang kog tambah panjang, Kar?” Tanya Kropak lugu.
“Iya, ini kesunahan. Saya berusaha melakoni apa yang dilakukan nabi Muhammad,” jawab Kartomo.
Tanpa diminta, Kartomo langsung nyrocos bercerita tentang perjalanan spiritualnya selama hampir dua tahun ini. Meninggalkan desa, Kartomo bertemu seorang ustadz yang mengenalkannya pada pemahaman beragama dengan sebenar-benarnya. Begitu katanya. Singkat cerita, selama dua tahun, selain bekerja sebagai tukang potokopi di kota besar, kegiatannya tidak jauh dari hal-hal berbau agama dan laku suci berdakwah.
“Namaku sekarang juga sudah ganti. Tidak Kartomo lagi,” tutur Kartomo mempertebal penjelasannya pada Kropak.
“Diganti gimana, Kar?”
“Iya diganti. Namaku sekarang Kartomo Al Kanory,” jawabnya tegas sambil menggerak-gerakkan kupluk agar poninya terdorong ke atas.
Kropak terdiam lama. Angan-angannya tentang kisah belajar ngaji huruf pegon dan momen pertamakali merokok dia simpan rapat-rapat dalam hati. Dia tidak beran menyela. Selain hanya lulusan SMA dan tiap hari kerjaannya di sawah, pengetahuan agama Kropak hanya sebatas ngaji Al Ibriz bersama Kyai Soleh. Ucapan Kartomo tadi sempat membuatnya merasa rendah diri.
“Kamu harus berani berhijrah, Pak,” tegas Kartomo.
“Hidup hanya sekali. Kamu harus belajar agama secara sebenar-benarnya, Pak. Bukannya aku menyalahkan apa yang kamu yakini, atau sesuatu yang dulu, dulu sekali, kita bersama pernah yakini. Tapi, memang sudah seharusnya kamu berani mengambil jalan yang benar. Jika sebelumnya kamu sudah meyakini itu sebuah kebenaran, sekarang kamu harus berani memilih sesuatu yang lebih benar. Lebih murni dan tidak mengandung bid’ah,” lanjutnya
Kata-kata Kartomo benar-benar menggema dalam hati Kropak. Selain terkesan penuh referensi, ucapan-ucapan Kartomo nyaring penuh wibawa dan tak bisa dihentikan, langsam nyrocos karena merasa didengarkan. Meski tak sempat bertanya apa-apa, bagi Kropak, menemui Kartomo saja sudah sangat membahagiakan. Meski, kenyataan yang dia dapat tak seperti yang dia angan-angankan. Tak ada cerita nostalgia maupun pengalaman asik tinggal di kota. Kropak hanya diam menikmati untaian kalimat yang diucapkan Kartomo.
“Kog diam, Pak?” tanya Kartomo sambil membelai jenggot hitamnya yang konon mampu menghadirkan empat bidadari di setiap helainya itu.
“Saya sedang berpikir, Kar,” jawab Kropak lirih.
“Iya, sudah seharusnya kamu mulai berpikir untuk hijrah, Pak. Kamu mulai sadar kan, jika beragama dan mendekatkan diri kepada Allah itu harus kaffah seperti yang aku lakukan. Jangan setengah-setengah. Apalagi terkontaminasi dengan unsur-unsur berpotensi bid’ah. Kesadaranmu itu benar, Pak. Aku sangat mendukungmu. Aku tidak keberatan kog membimbing proses hijrahmu. Niat itu kan yang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, dengan waktu dua tahun, jidatmu kog bisa sehitam itu, ya? Kiai Soleh sudah menjadi Kiai sejak kita belum lahir, jidatnya kog gak hitam-hitam amat. Jangan-jangan kamu pakai aplikasi penghitam jidat, ya?” Kropak bertanya, ingat istilah aplikasi yang tadi siang diajarkan oleh keponakannya.
Kartomo tercekat. Ia tak menduga mendapat pertanyaan semacam itu.
__________
*) Penulis beralamat di w.rizkiawan1@gmail.com.
Saya dulu juga sering berpikir seperti itu, kalau emang jidat itu tanda kealiman, kok kiai-kiai dulu yg dikenal sangat alim wajahnya bersih berseri 🙂
Trus jawabane kartomo piye ?