Akhir tahun 1827 Perang Jawa masih berkecamuk. Pasukan Diponegoro melakukan perlawanan sengit kepada Belanda. Namun bibit-bibit perpecahan antara Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo sudah terlihat dan dicium Belanda. Perpecahan itu dimanfaatkan Belanda untuk melemahkan perlawanan, hingga akhirnya Kiai Mojo tertangkap pada 12 November 1828.
Tapi, jauh sebelum masa melemahnya perlawanan, yakni menjelang tahun 1828, perang sengit berkobar di Jipang-Rajegwesi, Rembang hingga daerah Lasem. Perang dikobarkan oleh seorang Tumenggung bekas pasukan Sultan Yogyakarta. Ia memiliki pengalaman militer cukup mumpuni, hingga sangat merepotkan pasukan Belanda. Tumenggung itu bernama Aria Sasradilaga.
Siapa sebenarnya Sasradilaga? Bapaknya adalah Bupati yang pernah menjabat di Rajegwesi, sehingga saat melakukan pemberontakan, ia sangat hafal titik-titik lokasi di sekitar Rajegwesi. Sasradilaga adalah bekas pasukan pengawal istana dan menjabat wakil kepala pasukan Yogyakarta.
Ketika komandannya terbunuh, Sasradilaga mengincar posisi komandan menggantikan atasannya. Tapi sayang, Patih Danuraja IV memilih orang lain untuk menjabat sebagai komandan. Merasa kecewa, Sasradilaga keluar keraton bersama pasukan setianya dan bergabung dengan Pangeran Diponegoro untuk melakukan pemberontakan.
Perlawanan sengit Sasradilaga cukup memukul Belanda. Apalagi, rakyat Jipang-Rajegwesi yang ingin kembali ke pangkuan Yogyakarta, kecewa terhadap Belanda menjadikan semangat perang terus berkobar-kobar. Sehingga, rakyat bersama Sasradilaga melakukan perlawanan yang sulit ditundukkan.
Akan tetapi, akhir dari kisah Perang Jawa sudah banyak dicatat sejarah. Perang tersebut berlangsung hingga 1830. Kekuatan Pasukan Diponegoro sedikit demi sedikit menyusut. Pada 13 Oktober 1828, perlawanan Sasradilaga meredup. Pada 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman. Kyai Mojo diasingkan di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Sedang Diponegoro pada 28 Maret 1830 dan diasingkan di Manado. Ke mana Sasradilaga? Tak banyak catatan tentangnya.
Perang Jawa memang berakhir 1830. Namun hingga kini, nama Sasradilaga tetap dikenal di Bojonegoro. Karena ia tercatat menjadi Bupati Bojonegoro tahun 1827-1828, yakni masa ketika ia bergabung pasukan Diponegoro melakukan pemberontakan melawan Belanda. Meski pemberontakannya tak cuma di wilayah Rajegwesi saja, melainkan hingga Lasem dan Rembang.
Aria Sasradilaga adalah kisah heroik menentang penjajah Belanda. Akan tetapi, manusia adalah manusia yang tak mungkin sepenuhnya utuh dalam satu wajah. Karena wajah lain tentang Aria Sasradilaga, disebut sendiri oleh Pangeran Diponegoro dalam Babad Diponegoro. Dalam babad yang ditulis Diponegoro saat dalam pengasingan, ulah Sasradilaga memaksa bersetubuh dengan perempuan China di Lasem menjadi salah satu penyebab kekalahan perang Jawa. Harusnya hal itu dihindari karena pantangan. Diponegoro sangat kenal dengan Sasradilaga, karena ia adalah adik iparnya.
Apapun rupa sejarah kehidupan sosok Sasradilaga, tak dapat dipungkiri bahwa keberaniannya mengobarkan perang melawan Belanda di wilayah Rajegwesi, Rembang dan Lasem membuat Belanda mengalami kerugian cukup besar. Sasradilaga dengan kemampuan militernya yang mumpuni mampu mengajak rakyat Rajegwesi bersama-sama melawan penjajah Belanda.
Kini, setelah dua abad lebih, nama Sasradilaga makin dikenal masyarakat Bojonegoro. Satu jembatan yang membelah sungai Bengawan Solo dinamakan Jembatan Sasradilaga. Di malam hari, jembatan itu menyuguhkan pemandangan yang cukup indah. Nama Sasradilaga pun besar di jembatan tersebut.
Saya tidak tahu, berapa banyak orang yang berfoto di depan papan nama Sasradilaga di jembatan megah itu yang mengetahui siapa sosok Sasradilaga. Atau setidaknya bertanya darimana nama itu tiba-tiba muncul menjadi nama sebuah jembatan?
Karena situasi kala itu, Eyang Sasradilaga sebenarnya tidak ingin diketahui keberadaannya. Tetapi karena saat ini makam beliau yang seharusnya menjadi cagar warisan sejarah dan budaya, diusik dijual untuk paket pesugihan dan dirusak tangan tangan tidak bertanggung jawab, maka twrpaksa saya mengungkap keberadaan beliau.
Setelah pangeran Diponegoro ditangkap, sebenarnya eyang Nggung menjadi tahanan kota di Yogyakarta, wafat karena usia dan ingin tetap dimakamkan di Yogya. Selebihnya monggo rekan rekan sejarawan meneliti makam sederhana beliau di kota gede yang sebenarnya adalah makam keluarga beliau dan para pengikut setia yaitu 9 orang kepala pasukan, eyang senopati, eyang Pergolo & eyang Lowo ijo.
Makam sederhana beliau yaitu makam Sambirejo terletak di pedukuhan Sambirejo, Jl. Nyi Wiji Adhisoro, kecamatan Kotagede, kodya Yogyakarta, DIY.(makam Sambirejo, di Waze dan google map sudah ada).
Terima kasih