Badan Kekar, Jiwa Besar

Sumber: Pixabay

Jika pemenuhan raga sangat banyak bisa didapatkan di mana-mana, namun dalam ruang publik yang konon kebanjiran informasi ini, perawatan khusus tentang jiwa nyatanya tak banyak tersentuh

***

Manusia, secara umum mempunyai 2 anasir penyusun yaitu jasmani atau yang nampak dan bermateri, dan berdimensi — dan rohani yang tak nampak, dan kadang tidak bermateri tak jua berdimensi.

Jika membahas tentang kebutuhan jasmani tubuh, raga wadak ini, tentu perlu asupan makanan dan gizi, setidaknya guna menumbuh-kembangkan jasmani agar proses metabolisme tubuh berjalan, berkembang dan berposes dengan baik.

Singkat kata biar tetap hidup. Salah satu caranya ialah dengan mengonsumsi makanan seperti; roti, telur, madu, nasi, gorengan, donat dan sebagainya (Tak jarang kita hanya nuruti mulut kita ini hanya karena kebutuhan kuliner semata, bukan kebutuhan kesehatan).

Asupan yang kita makan pun musti sesuai dengan apa yang diharapkan, lebih-lebih yang dibutuhkan oleh tubuh kita, (yang bergizi) kemudian dengan ‘sendirinya,’ maka mekanisme tubuh yang telah didesain dari ‘sana,’ yang luar biasa dengan faalnya masing-masing itu, secara otomatis, makanan yang kita masukkan ke dalam mulut akan diproses dengan ‘applicable’ oleh alat pencernaan atau biasa disebut ‘jeroan’ itu. Disortir: yang bagian lemak, masuk ke lemak. Yang bagian gizi, masuk ke bagian gizi. Yang bagian karbohidrat, masuk kebagian karbohidrat dan seterusnya, dst.

Dan jika, di dalam makanan kita tadi kok misalkan ada taburan racun, atau secuil plastik, atau rambut koki yang tercecer, atau benda asing lainnya, tubuh ini pun secara otomatis bisa memilah dan memilih untuk terus bermetabolisme, memproses guna pemenuhan kebutuhan jasmani kita. Ia punya semacam sorting system. Ia akan menyaring dan memisahkan racun itu ke bagian racun. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Lantas dengan demikian, maka tak jarang akhirnya kita dapati tubuh yang sehat, tubuh yang trengginas, tubuh yang besar dan kekar. Lalu dilengkapi dengan olahraga secukupnya dan healing seperlunya. Kira-kira itu lah sedikit gambaran tentang mekanisme pemenuhan raga kita.

Lalu bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan rohani? Apa harus jadi rohaniwan? Yang ikut mendengar sekaligus melantunkan lagu-lagu rohani? Mungkin bisa dengan ibadah, jika kebetulan seorang muslim, ya, salah satu caranya ialah dengan ibadah: sholat, zakat, puasa dll.dll. Lhoh salah ding, maksudnya, bagaimana dengan kebutuhan jiwa? Jiwa sendiri, tentu beda dengan rohani bukan?

Saat kau temui seorang pemburu kata-kata motivasi, maka ia akan begitu getol dan kemudian makin massif untuk mengumpulkan, lebih-lebih mengaplikasikan hasil buruan kata-kata motivasinya untuk keperluan pemenuhan kebutuhan jiwa. Tak jarang, salah satu outputnya ialah jadi bijak dengan jiwa yang besar dan kekar.

Ke-jiwa-an sendiri mempunyai perhatian khusus bagi orang-orang yang berhubungan erat dengan masalah ini. Terutama dunia medis. Dalam dunia kesehatan sendiri, jika orang yang sedang mempunyai gangguan terhadap jiwanya, merasa jiwanya tidak sehat atau biasa diakronimkan ODGJ, maka RSJ (Rumah Sakit Jiwa) adalah tempatnya. Dengan dokter yang spesialis di bidang tersebut. Jika sekilas kita kulik tentang sejarah berdirinya RSJ di Indonesia, ada perhatian khusus, bahkan sejak zaman Hindia-Belanda.

Baca Juga:  Ekonomi Warga Bergerak Bersama Pasar Keroncong Ngroworejo

Mengutip dari penelitian Prof. Dr. dr. Dadang Hawari, seorang dokter cum psikiater, menjelaskan jika gangguan jiwa sudah dikenal sejak dahulu kala, dan RSJ didirikan pertama kali oleh bangsa Arab pada abad VII di Damaskus. Setelah itu makin banyak negara-negara lain yang ikut mendirikan RSJ, misalnya di India sekitar tahun 1000, yang didirikan di Mandu (Bihar), dan di Indonesia sendiri didirikan pertama kali oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1882 di Kota Bogor.

Dijelaskan lebih lanjut, jika di zaman penjajahan tersebut, sudah banyak orang yang mengalami gangguan jiwa. Orang yang sakit jiwa itu dititipkan, dirawat di Rumah Sakit Umum, namun tentu saja itu tak bisa banyak membantu kesembuhan pasien. Memang butuh penanganan khusus.

—–

Jika pemenuhan raga sangat banyak bisa didapatkan di mana-mana, namun dalam ruang publik yang konon kebanjiran informasi ini, perawatan khusus tentang jiwa nyatanya tak banyak tersentuh.

Salah satu di antara beribu-ribu cara merawat jiwa agar tetap sehat, agar kita bisa memenuhi kebutuahan jiwa, ialah membaca. Membaca buku. Buku apa saja.

Bukankah yang selain buku itu tidak bagus? Bukan. Tentu saja bukan. Hanya saja, buku, dalam konteks cendekiawan, yang biasanya selalu dikaitkan dengan kerja intelektual itu, mempunyai keunggulan atau gizi tinggi yang terkandung. Buku, bagi para penggilanya, selalu mempunyai kelebihan tersendiri dibanding cara lain, semisal diskusi, seminar, webinar, pelatihan, atau lainnya.

Saat membaca teks pada buku, otak kita sudah laiknya alat pencernaan ragawi, seperti jeroan yang luar biasa tadi. Dengan otomatis bekerja memenuhi kebutuhan rohani kita lalu menyuplainya ke semua saraf otak bahkan bisa memunculkan saraf, atau sambungan baru di otak kita. Membuat kita seperti tergertak untuk segera bergerak. Dan jika di dalam teks terselip “racun”, maka otak pun secara selektif akan memisahkan racun itu. Tentu proses membaca yang tekun dan panjang akan membuat jiwa semakin besar dan mempunyai powernya sendiri.

Itulah mungkin salah satu keistimewaan buku dibanding radio, tv, email ataupun sosmed, tak terlepas e-book. Kalau e-book itu, memang juga buku dengan sajian yang mengikuti perkembangan zaman. Kalau dalam buku elektronik, ada ‘aroma surga’ yang absen. Aroma surga yang biasanya bisa dilihat saat seseorang yang begitu gemar mengendus-ngendus aroma tiap buku, lembar demi lembar. Hingga ada seseorang yang begitu bibliomaniak terhadap buku fisik, ia bisa memperkirakan tahun berapa buku tersebut dicetak hanya dengan mengendus ‘aroma surga’ itu.

Bahkan aromanya saja sudah ia anggap seperti mengendus makanan. Seperti salah satu judul buku mendiang Hernowo, ‘Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza.’ Buku besutan epik yang diterbitkan oleh Kaifa ini, secara pribadi bagi penulis, selain mempunyai rasa yang begitu enak nan lezat ternyata juga mengandung gizi yang amat banyak. Menjadikan para pembacanya memasuki milenium baru dengan pengetahuan baru yang khas, praktis, dan memandu sehingga pembaca menjadi manusia prigel dalam olah fisik dan non fisik.

Baca Juga:  Hikmah Jumat: Selamat Berbuat Baik

Buku sangat beragam jenisnya, semua buku adalah baik tapi mungkin buku yang baik adalah buku yang bisa benar-benar membawa perubahan terutama perubahan pada pembacanya. Teks dan buku mengajak pembacanya merenung dan memikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat , paragraf demi paragraf dan buku demi buku, demikian kiranya.

Mereka para pembaca akan memikirkan secara kritis-analitis dan mencoba menghimpun makna dari apa yang dibacanya, dari sini otak mulai dirangsang untuk bekerja dan analysis tools, mulai terinstall ketika pembaca akhirnya bisa menyimpulkan dari buku yang dibacanya. Bahkan tak sedikit juga malah me-negasi-kan buku tersebut dengan dibarengi lahirnya buku baru tandingannya. Yang setidaknya, ada satu kata yang pantas ia sebut hikmah, pencerahan atau kalau bisa mengantarkannya pada sebuah ucapan tenar dari Descrates, ’cogito ergo sum.’

Dalam dunia medis, ada yang namanya AKG atau Angka Kecukupan Gizi, ini digunakan untuk istilah jasmani, pemenuhan kebutuhan tubuh kita. Atau mungkin jika masuk dalam oposisi biner, maka seharusnya juga ada AKG (jiwa?), dan tidak prematur kiranya, jika meyakini bahwa buku pun mempunyai bobot atau gizi masing-masing yang terkandung di dalamnya.

Tentunya buku yang bergizi itu bukanlah buku yang berdasarkan temanya, ataupun tebal tipisnya. Seperti yang diuraikan di awal, buku yang bergizi adalah buku yang bisa menggertak kita untuk segera bergerak atau berubah. Dalam tataran paling sederhana, setidaknya merubah dari tidak tahu menjadi tahu. Berubah menjadi baik, dari baik ke paling baik, dan dari paling baik menjadi yang terbaik. Dst., dst.

Namun, terkadang kebanyakan dari khalayak lebih sering memanjakan isi perutnya, lebih sering menyibukkan diri mencari asupan raga semata, dari pada jiwanya. Mungkin jika kita bisa sedikit saja untuk merendah diri dan me-ngerem segala rasa kemauan, kita akan mendengarkan betapa dahsyatnya rintihan jiwa, nyawa dan roh kita ini?

Jika boleh digambarkan dengan lukisan, maka jiwa kita kurang lebih sama dengan lukisan atau potret anak Ethiopia yang berhasil direkam oleh Virgiawan Listanto alias Iwan Fals dalam lagunya berjudul Ethiopia. Dan jika kita ambil kalkulator, kita kalkulasikan asupan raga dan jiwa kita, maka akan terlihat jelas 2 hasil yang sangat berbeda. Terlihat ketimpangan yang begitu besar. Atau kita mecoba konsultasi ke dokter ahli gizi ‘jiwa’ dan ‘raga’, pasti hasilnya tak jauh berbeda dengan kalkulator tadi. Kita terlalu berlebihan memanjakan raga kita. Ada disekuilibrium antara raga dan jiwa.

Di beberapa kampus, ada fakultas yang bernamakan Fakultas Keolahragaan, nah ini pun sudah menjadi tabung penampung disparitas asupan jiwa dan raga. Bagaimana tidak? Jika ada fakultas Ke-Olah-Raga-an, iya seharusnya, idealnya, juga harus berdiri fakultas Ke-Olah-Jiwa-an dong. Iya, kalau ada bapak kan ada ibuk, ada siang karena juga ada malam.

Karena di samping itu, juga ada kata-kata yang sudah menulang-sum-sum ditubuh kita. Dan tentu, kita semua sudah tidak asing lagi dengan kata-kata yang menyebutkan bahwa: “Di dalam Tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Sepintas kata-kata itu benar adanya, atau memang benar adanya untuk selamanya?

Baca Juga:  Ini Alasan Kenapa Kita Perlu Mengonsumsi Makanan dan Minuman Alami, Berikut Contohnya

Tapi jika kita mau pinjam dekonstruksinya Derrida, kata-kata barusan kaykanya kok menipu kita. Seperti anjuran 4 sehat 5 sempurna yang tak lagi relevan itu. Kalimat di atas terkesan ‘njlontrongno’ kita ke dalam lembah kerakusan untuk menjadi manusia-manusia dengan senyum kapitalis menapaki bumi ini dengan sepatu liberal Hedonis. Seolah-olah jiwa adalah akibat dari apa yang disebabkan oleh raga. Kausalitas yang menclek!

Jadi logika sederhananya, jiwa kita akan sakit kalau raga kita sakit. Tapi apakah tidak ada di luar sana, orang yang jika dilihat dari raga, ia sakit dan sudah renta, namun secara jiwa ia kuat. Atau sebaliknya, orang yang secara raga sehat dan prima, namun secara jiwa sakit. Orang yang mula-mula raganya sakit tadi, dengan pikiran, dengan jiwa yang bersyukur dan sabar (kuat) maka dengan seiring berjalannya waktu akan mempengaruhi tubuhnya untuk berproses, untuk bermetabolisme secara optimal, sehingga lama-kelamaan tubuh atau raganya akan menajdi sehat. Tentu juga dengan banyak asupan jiwa yang terus tersuplai ketubuhnya.

Karena tadi: yang di ‘dalam’ (jiwa) sehat, maka raga pun sehat. Dan orang yang tipe ke dua tadi, dengan jiwa yang was-was dan ketar-ketir, setiap harinya, maka itu pun akan mempengaruhi tingkat kerja organ tubuhnya, tentu dengan pikiran dan jiwa yang tidak tenang, ia akan memengaruhi faal tubuh, dan dalam jangka waktu yang relatif lama, bisa saja menurunkan fungsi organ tubuh, dan bukan tidak mungkin kemudian sakit lantas mati.

Jadi kalimat : “Di dalam Raga yang sehat terdapat jiwa yang kuat”, banyak yang sepakat, namun idealnya musti lebih banyak yang sepakat jika dibalik. Menjadi (. . .) Anda pasti sudah lihai untuk sekedar membaliknya, lebih mudah daripada membalik telapak tangan.

‘Tidak hanya Raga: Roh, Jiwa dan Nyawapun Butuh Nutrisi yang Cukup’. Ada kata ‘Roh, Jiwa, dan Nyawa’: itu semua berbeda, kebetulan terkait tulisan amat ringkas ini, adalah lebih menitikberatkan tentang asupan Jiwa dan Raga. Semoga anda sekalian tak hanya mempunyai tubuh yang kekar, namun juga mempunyai jiwa yang besar dan kekar pula.

Lain kali, jika Tuhan mengizinkan (lagi), mari kita dedah lebih lanjut, apa itu; Jiwa, roh, dan nyawa dan sukma? Kita bisa bertiwikrama hingga titik kulminasi malam.

Owiya, atau jangan-jangan itu semua hanya sinonim semata, satu arti? Satu makna? Satu rumpun? Ah, Yasudah lah. Yang jelas, yang ada itu malaikat pencabut nyawa, bukan malaikat pencabut Roh/ Jiwa, apalagi sukma.
Salam!

Pagi, 30/1/2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *