BUKU  

Bagaimana Cara Kamu (Aku) Membaca Api di Bukit Menoreh?

Cerita panjang berjudul Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja terdiri dari 396 jilid. Salah satu penjual buku online, memasang banderol sepaket Rp 6,5 juta. Di situ diberi keterangan, untuk semua jilid punya berat 32 kg. Bisa dibayangkan kan?

Judul Api di Bukit Menoreh adalah jilid paling panjang yang dikarang oleh SH Mintardja. Jadi, saya sering bertanya-tanya, bagaimana cara orang membacanya? Berapa lama waktu untuk menyelesaikannya? Sebulan? Dua bulan? Dan sepertinya, pengalaman membacanya tentu menyenangkan untuk dibagi ceritanya. Meski apa yang dikisahkan jauh lebih dahsyat dari cerita bagaimana orang membacanya.

Ada kawan bilang, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma lebih dahsyat. Sayang, saya belum membacanya. Beberapa buku ‘sejenis’ yang pernah saya baca adalah Senopati Pamungkas dan Musashi. (Moga2 sebentar lagi bisa membaca Nagabumi).

Saya mulai membaca Api di Bukit Menoreh pada Desember 2022. Lewat gawai, saya mencari-cari bacaan karya SH Mintardja. Dan akhirnya bertemulah dengan satu situs yang menyediakan hampir semua karangan SH Mintardja. Beberapa jilid pendek telah saya baca di situs ini. Dan kini, sejak Desember 2022 hingga Maret 2023, kisah itu belum sempat saya rampungkan.

Baca Juga:  Bulan Ramadhan Bulan Membaca

Membaca, bagi saya adalah hedonisme dalam wajah lain. JIka hedonisme secara umum dimaknai sebagai jalan hidup yang hanya mencari kebahagiaan semata, maka membaca akan juga berada pada titik tersebut. Yakni ketika aktivitas membaca kemudian meninggalkan kehidupan sosial, menjadikan orang selalu menyendiri, dan seringkali mampu meninggalkan pekerjaan lain, yang mungkin saja lebih penting dari membaca. Karena bagaimanapun, membaca adalah pekerjaan individual yang sangat pribadi. Kebahagiaan membaca yang terus ingin diulang dan diulang, tidak bisa serta merta dibagikan kepada orang lain.

Tapi, baiklah, kita tak sepatutnya ngobrolin hal demikian. Meski terbersit dalam keinginan besar saya, untuk mengetahui bagaimana Anda membaca Api di Bukit Menoreh. Biarlah saya bercerita tentang cara saya membacanya. Tentu saja, cerita ini enggak penting banget.

Sudah 3 Bulan belum selesai juga?

Ya, padahal, cara membaca saya (menurut saya sih) cukup ‘gila’. Dalam sehari, saya bisa membacanya sampai 4-5 kali. Sekedar ilustrasi, pagi saya menyempatkan membaca sekitar 1 jam, lalu sekitar pukul 10.00 WIB, saya membaca lagi. Di sela-sela menyelesaikan pekerjaan harian, saya membacanya pula. Dan malam hari, menjelang tidur saya membaca bisa sampai 2 jam. Terkadang, saya harus memaksakan diri berhenti karena jarum jam sudah menunjukkan angka 00.00. Saya harus tidur. Harus.

Baca Juga:  Obrolan Buku Desa Bernama Po-on: Tentang Perjuangan Memerdekakan Manusia

Nyatanya, sampai Maret 2023, buku itu belum juga rampung. Saya baru sampai jilid 297. Ada beberapa pekerjaan lebih penting malah tertunda. Tapi jika saya menunda membacanya, rasa-rasanya kurang nyaman. Kisah-kisahnya mengejar dan melingkar-lingkar dalam imajinasi saya. Saya membayangkan pertarungan-pertarungan silat. Ketika melihat perbukitan, saya membayangkan keberadaan padepokan-padepokan yang ikut dalam bagian konflik antara Mataram dengan Pajang, Mataram dengan Madiun, Mataram dengan Pati.

Ketika saya melihat kuda, imajinasi saya langsung melompat pada kuda Glagah Putih yang dihadiahi oleh Raden Rangga anak dari Panembahan Senopati. Kuda Glagah Putih sangat besar dan kuat, karena itulah, kuda itu selalu memancing orang untuk berbuat jahat. Ketika saya melihat pasar, saya membayangkan ketika kelompok Gajah Liwung beroperasi untuk memberantas ‘preman-preman’ dari kelompok Kelabang Ireng, Sidat Macan dan Macan Putih.

Ya, imajinasi itulah yang terus bergerak liar.  Dan saya pun sedikit bisa membayangkan bagaimana Don Quixote menjalani hidupnya sebagai seorang Kesatria Berwajah Nestapa. Saat melihat sekawanan domba, ia malah melihat sekawanan orang yang hendak berbuat jahat. Ia pun menyerang lawan-lawannya itu, yang ternyata adalah sekumpulan domba. Ia melihat kincir angin seolah-olah raksasa yang jahat dan harus diperanginya dengan sekuat tenaga.

Baca Juga:  BMI: Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe

Tapi…

Sudahlah, saya memang terlanjur ‘terjebak’ dalam kisah Api di Bukit Menoreh. Seakan perjalanan sudah ada di tengah, maka pilihannya apa saya akan berhenti di tengah jalan, atau saya harus melanjutkan perjalanan sampai titik terakhir? Masih ada puluhan jilid lagi, jika saya akan menyelesaikannya.

Bagaimana dengan kamu?

 

Jogja, 17 Maret 2023

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *