“Mari kita ngobrol yang serius,” kata Kang Tolib sambil membawa beberapa sobekan koran bekas. Jarang-jarang ia ke warkop Mbok Nah bawa koran. Paling-paling biasanya cuma bawa satu ler rokok. Jika habis ia akan minta kawan ngopinya.
Kang Somad yang sudah lebih dulu duduk di bangku panjang warkop itu tak begitu peduli. Ia asyik bermain hape. Sedang Mas Guru yang duduk di samping Kang Somad sedikit memberi sambutan atas kedatangan Kang Tolib dengan menawarinya tempat duduk di sampingnya.
“Ngobrol serius apa Kang?” tanya Mas Guru.
“Ya serius Mas Guru. Urusan politik Pilgub,” kata Kang Tolib yang lalu menyalakan rokoknya. Kang Somad tetap nggak merespon.
Kang Tolib bergeser sedikit lalu berteriak memesan kopi. Dia membuka lembaran-lembaran koran yang entah kapan. “Ini yang saya maksud,” katanya sambil driji-nya menunjuk ke tulisan yang dimaksud.
“Elektabibitas Gus Ipul dan Bu Khofifah saling menyalip. Lihat saja (ambil satu sobekan) survei Charta Politika: Elektabilitas Gus Ipul-Puti 44,8 Persen, Khofifah-Emil 38,1 Persen. Dan ini (ambil sobekan lain) Survei Poltracking: Elektabilitas Khofifah-Emil 42,4 persen, Gus Ipul-Puti 35,8 Persen,” kata Kang Tolib bersemangat.
“Paling artinya elektabilitas nggak ngerti,” kata Kang Somad mengejek.
“Kang, aku lagi serius membahas politik. Paling-paling sampean malah nggak pernah pegang koran,” sambar Kang Tolib.
“Lha apa berita cuma dari koran. Sampean nggak lihat saya sedang pegang apa? Di hape ini semua ada,” bantah Kang Somad nggak mau kalah.
“Sudah. Sudah. Malah eyel-eyelan sendiri. Terus bagaimana Kang?” tanya Mas Guru ke Kang Tolib sekaligus melerai mereka.
“Sulit memprediksi siapa pemenangnya nanti Mas Guru, karena keduanya mempunya basis massa yang cukup kuat. Keduanya dicintai pemilihnya masing-masing. Tinggal bagaimana cara kampanye yang mereka lakukan di masyarakat, apakah membuat orang simpati atau malah membenci,” kata Kang Tolib sebagaimana pengamat di tivi-tivi itu.
“Saya setuju dengan pandanganmu Kang. Memang survei-survei yang dilakukan terus berubah dari waktu ke waktu,” sahut Mas Guru.
“Halah kayak pengamat politik saja,” sahut Kang Somad.
“Kang, dari tadi sampean ngece terus. Coba sekarang analisa sampean bagaimana?” tantang Kang Tolib.
“Pilgub Jatim ini kalau boleh aku ibaratkan seperti balap bus Mira dan Sugeng Rahayu. Ini berdasar pengalamanku yang sering kulakan kain ke Klewer. Jadi sering naik 2 bus itu. Coba kalau ditanya menang mana Mira atau Sugeng Rahayu? Sulit menjawabnya. Karena keduanya sama-sama melaju kencang di jalanan. Sama-sama menerapkan KL atau kartu langganan. Sama-sama punya rute Surabaya-Jogja. Sama-sama dicintai penumpang yang rela menunggu lama. Jadi bagiku untuk saat ini sulit sekali memprediksi,” kata Kang Somad panjang lebar.
“Dan lagi. Di jalanan, baik Mira ataupun Sugeng selalu saling menyalip. Ya persis seperti survei yang kamu bacakan tadi kan? Terkadang antar awak bus ada gesekan dan adu fisik. Tapi di waktu lain antar awak bus tertawa bareng di terminal. Pokoknya bagiku Pilgub Jatim ini mirip balap Mira dan Sugeng,” lanjut Kang Somad.
“Aku setuju dengan perumpamaanmu Kang,” kata Mas Guru sambil menepuk pundak Kang Somad keras sekali.
“Mas Guru, sampean tadi bilang setuju denganku, sekarang setuju dengan Kang Somad. Sebenarnya sampean memihak aku apa Kang Somad? Sampean harus konsisten,” protes Kang Tolib.
“Lho ya to. Kenapa mesti aku dipaksa memilih di antara kau berdua?” kata Mas Guru.
“Harus Kang. Biar Kang Tolib tahu bahwa bukan dia saja yang pandai politik,” sergah Kang Somad.
“Daripada sampean. Mengibaratkan kok dengan bus,” bantah Kang Tolib.
“Sudah-sudah. Saya memihak kopiku ini saja. Mbok Nah tolong dihitung habis berapa semua. Aku yang bayar semua,” kata Mas Guru seraya bangkit.
“Sudah, ayo bubar. Kembali ke sawah. Waktunya tandur pari”.