Bahagia dan kebahagiaan menjadi tujuan bagi setiap kepentingan. Ia berperan sebagai muara dan harapan dari setiap rencana yang dicanangkan manusia. Tapi, my lurs, tahukah kamu jika bahagia itu makhluk hidup?
Bahagia memang nisbi. Tidak pakem dan tidak terstandardisasi. Bahagia bagi kita bisa jadi bukan bahagia bagi orang lain. Pun sebaliknya, bahagia orang lain belum tentu menjadi bahagia kita. Sebab, setiap orang memiliki kriteria dan ukuran bahagia berbeda-beda. Bahagia adalah kesunyian masing-masing.
Kamu suka dengan si dia. Tapi si dia sudah punya kekasih. Kebahagiaan si dia (jika memang si dia ini bahagia), tentu tidak bisa ditransformasikan sebagai kebahagiaan kamu juga, kan? Bahkan sebaliknya, mungkin bakal menjadi penyebab kesedihan hatimu, umumumu. Ini contoh dari betapa nisbinya kebahagiaan itu.
Karena itu, kalimat “bahagiaku adalah bahagiamu” tentu bukan kalimat sembarangan. Ia sakral dan untuk mengucapkannya, harus melalui berbagai prasyarat administratif yang sangat jelas dan mampu dipertanggung jawabkan secara imajinatif maupun realitas. Hemm~
Di sisi lain, bahagia juga universal. Meski tidak bisa dipakem dan distandardisasi, pada konteks tertentu, bahagia kita bisa jadi bahagia orang lain. Pun sebaliknya, bahagia orang lain berkemungkinan menjadi bahagia kita juga. Meski memiliki kriteria dan penafsiran bahagia berbeda, ada bahagia yang bersifat memeluk semua. Menyemesta.
Kawanmu yang sudah lama jomblo dan tiap hari hanya ngopa-ngopi tanpa konsep hidup apapun, tiba-tiba suatu hari mengubah penampilan. Dia kian necis nan visioner. Punya tujuan hidup. Sering bangun pagi dan tidur lebih tepat waktu. Tidak hanya itu, dia juga kerap mengutip kalimat-kalimat motivasyi di status WA-nya. Usut punya usut, saat ini dia sudah punya gebetan dan siap menikah. Tentu kamu bakal ikut merasa bahagia.
Pada contoh kasus tersebut, kalimat “bahagiaku adalah bahagiamu” tentu teraplikasi dan terinternalisasi dan terimprovisasi dengan baik dan benar. Contoh yang lebih mudah: bahagia akan suksesnya penyelenggaraan Asian Games 2018 menggambarkan betapa bahagia itu bersifat universal: kebahagiaan kolektif.
Bahagia yang nisbi dan bahagia yang universal tentu menunjukkan pada kita bahwa bahagia itu dinamis. Tidak hanya dinamis, bahagia bahkan bisa ditularkan. Bagi mereka yang terinfeksi perasaan bahagia, tentu bisa menularkannya pada orang lain.
Emosi dan kebahagiaan seseorang dapat menginfeksi orang lain yang berada dalam satu jaringan sosialnya. Itu alasan kenapa media sosial banyak disukai. Sebab, situs jejaring sosial tersebut bisa menginfeksi perasaan bahagia hanya dengan melihat status bahagia orang lain.
Peneliti dari Harvard Medical School and the University of California, San Diego menyatakan jika di kalangan jaringan sosial, kebahagiaan itu menular. Seperti dikutip dari Science Daily, Profesor dari Harvard Medical School, Nicholas Christakis menuturkan jika emosi seseorang dipengaruhi oleh orang lain, bahkan mungkin orang yang tidak dikenal sekalipun.
Studi yang melibatkan 5.000 orang selama 2 tahun itu dilakukan untuk mengetahui efek bahagia seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Selama 2 tahun, peneliti melakukan survei dan menganalisis data yang mengaitkan antara kebahagiaan dan kesehatan seseorang dengan keadaan di lingkup jaringan sosialnya: keluarga, sahabat, tetangga, hingga rekan kerja.
“Meskipun terpisah dari beberapa orang yang tidak dikenal, tapi masih dalam satu jaringan dengan teman-teman atau kerabat, efek bahagia ternyata masih ada. Ini menandakan adanya dampak yang kuat dalam suatu jaringan meskipun mereka tidak saling kenal akrab,” ujar Christakis.
Jika indikasi kehidupan dan kemakhlukan sebuah benda ditentukan dari proses tumbuh-kembangnya, tentu, bahagia masuk kriteria sebagai makhluk hidup. Sebab, dia tidak statis. Bisa bergerak. Bisa menular. Dan mampu tumbuh berkembang. Ibaratnya, ada dan berganda.
Jadi, maukah qm memiara dan beternak kebahagiaan bersamaq? Iya, qm ~