Story  

Becak dan Cerita-Cerita Masa Lalu Kaum Pinggiran

Ada dua buku yang saya ingat jika berbicara tentang becak. Pertama buku Balada Becak karya YB Mangunwijaya, sebuah novela yang berusaha “menertawakan” kehidupan masyarakat bawah. Yusuf, pemuda yang SMA saja tidak lulus itu harus harus mancal becak setiap harinya. Ia menyukai Riri, gadis anak Bu Dul pedagang gori yang tiap hari diantarnya dengan becak ke pasar. Sebagai tukang becak adalah kerjaan kedua, karena pekerjaan utamanya adalah tukang las di bengkel las kepunyaan kakaknya.

Yusuf memang tukang las. Tapi sebagai wobg cilik ia juga punya impian selangit. Impian-impian itu hadir lewat imajinasinya. Saat ngelas, ia membayangkan diri sebagai seorang komponis yang mendesain orkresta nan indah. Ia membayangkan diri sebagai kompinis yang diminta seorang Menteri untuk bikin pertunjukan yang mewakili negara. Tugas berat yang harus diemban Yusuf. Ia asyik membayangkan dunia itu. Meski yang sebenarnya, dia memegang alat las. Suara orkresta yang dimaksud tak lain adalah suara api yang menderu-deru, dan sesekali suara martil menghantam besi.

Soal cintanya dengan Riri jangan ditanyakan. Ia kerap membayangkan diri sebagai artis yang berdansa bersama Riri. Di lain waktu, ia menjadi rebutan dua perempuan sekaligus yakni Riri dan Lilian. Imajinasi-imajinasi itu begitu indah di kepala Yusuf. Tak peduli dalam dunia nyata ia harus ngelas dan mancal pedal becak. Seakan Yusuf mewakili orang-orang kecil yang selalu membayangkan diri menjadi milyader. Dengan imajinasi siapa yang akan melarang?

Buku kedua adalah buku foto dan esai jurnalistik karya Sindhunata. Judulbya Watonurip. Buku ini cukup bagus memotret kehidupan tukang becak Jogja. Bagaimana para tukang becak, dengan keterbatasan ekonomi, memiliki kebijakan hidup yang luar biasa. Mereka mampu memaknai setiap gerak dunia dengan kejembaran dada yang tiada tara. Nafsu mencuri, iri dengki, memprotes perubahan zaman, bagi mereka hanya akan mengurangi rejeki yang seharusnya mereka peroleh.

Baca Juga:  Belajar Menerima Perubahan dari Tukang Delman

Filosofi hidup mereka adalah watonurip dan banyumili. Dua filosofi jawa meresap dalam sanubari para tukang becak. Watonurip bermakna bahwa asal masih hidup, maka keberkahan rejeki akan terus bisa dicari. Watonurip bukan berarti asal bisa hidup, tapi lebih bermakna bahwa apa yang tidak bisa dilakukan dalam hidup ini tidak perlu dipaksakan dilakukan. Sedang banyumili lebih dimaknai sebagai pandangan hidup bahwa rejeki sedikit tidak apa apa yang penting terus mengalir dan jangan sampai kering.

Beberapa tukang becak mengungkapkan betapa ia bersyukur dengan kondisi yang diberikan Tuhan kepadanya. Raga sehat adalah sebuah nikmat yang tidak bisa dikatakan. Dengan kesehatan tubuh, mereka mampu mengayuh becak. Mereka mampu menertawakan diri sendiri dan mengelolanya menjadi energi besar untuk menjalani hidup yang makin berat. Tukang becak melihat banyak orang kaya tapi kena stroke dan giginya ompong. Lha para tukang becak, meski sudah tua tapi masih kuat dan sehat. Itulah nikmat hidup yang bagi mereka tak bisa ditukar dengan apapun.

Baca Juga:  Sunan Kalijaga Sang Negosiator dan Penggerak Kultural

Nah, sekarang urusan becak menjadi perbincangan hangat setelah Pemerintah DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan mengaktifkan kembali becak. Pro dan kotra mengiringi wacana itu. Becak di Jakarta sudah dilarang sejak tahun 1980 an, yang pada waktu itu mobil belum begitu banyak. Bagaimana dengan sekarang ketika kemacetan tiap hari jadi pemandangan tiap hari? Apakah becak akan beradu dengan alat transportasi yang lebih canggih? Mungkinkah akan ada aplikasi becak online nantinya?

Lalu apa hubungannya antara becak di Jakarta itu dengan dua buku di atas? Mohon maaf sidang pembaca yang terhormat, saya sendiri bingung apa hubungannya ya? Saat mengawali tulisan ini, yang saya pikir cuma satu: warung kopi yang enak dimana ya?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *