Ini adalah tulisan terakhirku tentang pengalaman ngekosku. Tulisan sebelumnya adalah Meditation of Room.
SETELAH berpikir panjang dan penuh pertimbangan, kali ini kriteria kosku sangat berbeda dari sebelumnya. Kalau yang sebelumnya aku selalu memilih kos dengan syarat harus di pusat kota yang dekat dengan tempat makan, hiburan dan lain-lain, kali ini aku harus mengalah. Aku harus berkorban untuk jauh dari kota besar dan mal-malnya dikarenakan situasi yang harus mau nggak mau aku atur sendiri finansialku. Aku harus mencari yang bisa separuh harga dari kos-kos sebelumnya.
Kalau kemarin kos di Surabaya enam ratus ribu perbulan, berarti aku harus memangkas setengahnya untuk aku alokasikan ke cicilan bulanan, makan, pulsa, transportasi dan lain-lain. Sangat tidak mungkin mencari kos seharga 300 ribu di Surabaya, Gresik dan sekitarnya dengan fasilitas lengkap. Aku pernah menemukan harga 400 ribu di Surabaya dengan kondisi yang sangat seadanya; di wilayah perkampungan yang kotor, bangunan rumah yang aku merasa tidak aman apabila aku di sana. Dari depan saja sudah kumuh apalagi kamar mandinya, kusempat pikir begitu. Aku juga pernah berpikir akan balik pindah di Gresik saja. Tapi harga 300 ribu di Gresik cuma hanya dapat kamar kosongan, tanpa kasur dan lemari. Daripada aku harus mengeluarkan uang lagi untuk hal yang seharusnya uang itu aku gunakan yang lain, mending aku cari rate harga 250-300an tapi dapat fasilitas lengkap. Iseng kembali ku instal aplikasi MamiKos dan kucari kos di kota Bojonegoro.
Jeng jeng (suara stik drum). Dan di sinilah petualanganku dimulai.
Aku nggak akan cerita kenapa aku memilih Bojonegoro, yang jelas setelah kuubek-ubek semua kos di aplikasi MamiKos, betapa kagetnya aku ada kos dengan harga mulai dari 200-500 ribu dan itu sudah dapat fasilitas yang menurutku lengkap, meliputi kasur, lemari, meja, kursi, wifi dan televisi. Kujuga pernah mendengar di Bojonegoro banyak sekali makanan murah yang berarti pengeluaranku yang lain bisa lebih rendah.
Dengan jarak dua jam dari Surabaya menurutku oke saja untuk meninggalkan kota kelahiranku itu dan memulai menjajal kota Bojonegoro. Aku juga sadar setelah mencari-cari informasi di Bojonegoro tidak ada yang menarik kecuali (uhuk… sebagian teks hilang)… Kecuali makanan-makanan yang murah maksudku he he.. Sebelumnya aku tidak pernah menginjakan kaki di Bojonegoro. Sanak keluarga pun nggak ada yang tinggal di Bojonegoro. Lamongan saja aku nggak pernah sampai. Apalagi Bojonegoro.
Singkatnya aku menemukan rumah kos yang lengkap dan bersih dengan harga 300 ribu perbulan. Tempatnya ini lumayan strategis. Di pusat kota. Jarak ke alun-alun, gedung pemda, dan pasar kota juga hanya sekitar 500 meter. Gereja yang katanya paling besar di Bojonegoro juga tak jauh jaraknya, hanya dibatasi sama tembok. Tiap kali lonceng gereja berbunyi itu terasa menggema-gema suaranya.
Rumah kos ini tiga lantai dan memiliki sekitar 20 kamar. Yang difungsikan sebagai kamar kos adalah kamar bawah dan kamar lantai dua. Aku sendiri mendapat kamar atas pojokan. Di samping kiri kamarku sebelah bawah itu jalan setapak kecil semacam jalur tikus atau jalur alternatif. Sementara di seberang jalannya adalah kuburan desa atau terkenal sebutannya Makam Sedeng.
Rumah kos ini dikelola oleh pasangan suami istri yang kesan pertama saat kulihat mereka berdua suka kebersihan. Pertama kali datang aku sempat kaget karena ada semacam wawancara menegangkan antara aku dan pak kos. Ternyata bukan wawancara, tapi lebih ke briefing; pak kos menyampaikan peraturan-peraturan yang boleh dan nggak boleh selama berada di kos. Banyak sekali peraturan yang harus dan itu terkesan wajib untuk dijalankan. Aku masih mencoba wajar dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pak kos, tapi ada satu yang menurutku ini lucu. Yaitu penghuni kos dilarang menerima kunjungan sama sekali. Jangankan mempersilakan pasangan lawan jenis sekadar mampir mengantar teh poci sampai pintu kamar, mengajak teman perempuan saja dilarang. Bahkan kerabat atau keluarga termasuk orang tua sekalipun nggak ada toleransi. Hah? Iya memang begitu. Pokoknya sampai sekarang kalau kuingat kembali pemilik kosku ini aku jadi ingat tokoh kartun Paman Gober di Donald Duck atau Tuan Crab di kartun Spongebob, he…he. Tapi bagiku nggak masalah. Karena dengan banyak aturan paling tidak melatihku untuk disiplin. Kelebihan dari rumah kos ini yang aku suka dan yang selama ini engga kutemukan di kos lain adalah disediakan tempat sampah untuk masing-masing kamar. Dan setiap pagi selalu disapu, pel, plus dibuangkan sampah oleh pak kos sendiri bersama istrinya. Jadi bangun-bangun depan kamar sudah cling. Jangan tanya kamar mandi, lantai di lorong-lorong kamar saja bersih, apalagi kamar mandi.
Minggu-minggu awal kuhabiskan waktuku untuk keliling-keliling, mengenal kota kecil ini lebih dekat. Waktu pertama kali jalan ke jalan protokol kota aku langsung kaget dengan sistem lampu lalu lintasnya, kalau di Surabaya, Gresik, atau Tuban ketika lampu hijau kendaraan benar-benar harus gantian lewat. Dan kalau mau belok kiri langsung aja tanpa mengikuti lampu. Tapi di Bojonegoro tidak. Ketika lampu hijau menyala, arah dari seberang yang harusnya menurutku berhenti dulu untuk gantian melaju ke depan, ini malah maju semua bersamaan (seakan-akan mau adu bemper atau tubrukan). Itu perbedaan pertama. Perbedaan kedua dengan Surabaya adalah sering sekali aku menemukan pemotor yang tidak pakai helm dan tidak berplat motornya tapi bisa bebas berkendara di jalan kota. Polisi-polisi juga kelihatannya lebih sedikit dari Surabaya.
Sekarang makanannya. Dengan uang 6ribu saja, bisa makan imbuh sendiri meski hanya nasi dengan sayur asem lauk dua tempe goreng atau dadar jagung (pelas) plus sambal dan segelas es teh. Atau dengan uang segitu bisa makan rawon yang lumayan enak. Ada warung rawon yang berjualan dengan harga 6ribu di dalam pasar kota. Dan isinya beneran daging asli sapi, bukan tikus. Bukan daging sih, melainkan tetelan, dagingnya ada tapi cuma dua atau tiga iris kecil. Nasinya hangat dan lumayan banyak menurutku dan juga dikasih kerupuk. Saat pertama kali tahu aku melongo dan nggak percaya. Dengan harga segitu di Surabaya cuma dapat lauk saja, atau mentok nasi kucing dua bungkus. Bagiku ini prospek bagus untuk pertahanan hidupku ke depan karena memang pandemi meremas-remas sampai lungset keuanganku.
Setelah puas mengamati kebiasaan orang sini, aku penasaran dengan kualitas bioskopnya. Sebelum nonton aku masih positif thinking. Kalau harganya 11-12 dengan harga Surabaya (kisaran 30ribu) berarti paling nggak ya 11-12 juga kualitas bioskopnya. Paling minus toiletnya kotor atau rasa popcornnya yang kurang enak. Tapi ekspektasiku hancur ketika aku masuk dan nonton film. Aku ingat saat itu aku menonton Eternal, salah satu film phase empatnya MCU. Efek CGI di film itu yang seharusnya kaya warna mendadak tidak terlihat alias buram. Sepanjang film aku hanya mengumpat khas umpatan asli arek Suroboyo. Hikks…! Sejak saat itu aku putuskan setiap ada film baru tayang, aku mending pulang nonton di Surabaya.
Fasilitas lain selain bioskop yang aku penasaran adalah toko buku. Di Bojonegoro setahuku hanya ada satu toko buku besar di daerah Pangsud. Itupun kebanyakan buku dari penulis Indonesia, novel terjemahan sangat jarang kujumpai. Untungnya seperti kusebutkan di awal tadi, dengan jarak dua jam dari Surabaya, kendala-kendala seperti tidak adanya mal, toko buku besar dan bioskop, masih bisa kuatasi dengan pulang ke Surabaya. Toh aku masih bisa baca buku dari seseorang yang kerap meminjamiku buku bagus untukku yang juga mengenalkanku ke rental buku. Aku nggak tau ada berapa persewaan buku di Bojonegoro. Yang pernah aku pinjam di rental ini lumayan banyak. Buku-bukunya bagus dan aku cukup sering menamatkannya dengan baik. Ada Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang Luis Sepulveda, Gadis Kretek-nya Ratih dan masih banyak lagi.
Genap satu tahun pas aku ngekos di Bojonegoro. Dihitung sejak pertama kali ngekos dari tahun 2018 dan berpindah – pindah kos dari satu tempat ke tempat lain ada banyak pelajaran tentang arti merantau bagiku. Kalau ditarik kebelakang, sebelum ngekos aku adalah anak yang manja, yang makan saja harus enak dan harus ada lauk minimal ikan. Aku tidak pernah merasakan lapar. Tapi selama jadi anak kos, aku sering puasa untuk harus berhemat agar bisa survive di keesokan harinya. Pelajaran-pelajaran semacam itu sangat berharga sekali buatku, menurutku arti kos sendiri adalah belajar. Belajar empati, belajar mandiri, belajar peduli.
Pokoknya intinya itu ngekos buatku berarti. Aku malah merasa kalau bisa aku ngekos sejak usia dini. Karena memang ngekos ini sudah biasa dilakukan oleh remaja-remaja tingkat SMA atau kuliahan. Tapi di usia-usia segitu aku masih anak mama, anak rumahan yang sedikit badung yang merasa di atas angin yang nggak paham rasanya kesulitan hidup. Aku jadi merasa terlambat untuk belajar dewasa meski sekarang juga belum bisa merasa dewasa. Ngekos ini membantu mengukur kemampuanku untuk melakukan sesuatu. Misal ada uang sejumlah sekian terus aku ingin belanja barang-barang nggak urgent di shopee, tapi aku juga berpikir kebutuhan lain yang lebih urgent dan harus kupenuhi. Akhirnya aku nggak jadi belanja.
Demikian cerita tidak pentingku tentang kos. Ini melengkapi tiga tulisanku sebelumnya. Sepertinya aku tidak bisa menuliskan ceritaku dengan baik. Barangkali kamu para pembaca merasa kecewa karena cuma gini saja tulisanku. Tapi ya memang begini adanya. Mungkin lain kali aku akan cerita tentang hal-hal lainnya. Semoga pembaca tidak bosan ya. Rencananya aku ingin cerita tentang film-film bagus yang aku tonton, kuliner atau makanan, atau tentang kocing, atau hal-hal nggak penting lainnya.
Tamat