Kemuculan WhatsApp memang sangat membantu pelaksanaan komunikasi kita. Komunikasi makin mudah dan makin lebih ‘nyata.’ Sampai sekarang, aplikasi yang mulanya diciptakan oleh dua orang jebolan yahoo ini, sudah diunduh oleh ratusan juta jari di seluruh dunia, dan ini, tampaknya menimbulkan fenomena baru pula. Fitur yang memang tiap tahunnya selalu di-upgrade dari perusahaan pembuat aplikasi ini, membikin penggunanya juga mempunyai tipikal masing-masing saat mengoperasikannya.
Salah satu fitur yang disediakan oleh aplikasi WhatsApp adalah fitur privasi yang bergambarkan gembok terkunci itu. Jika masih ragu, silakan buka aplikasi WA anda. Saat kita klik gambar gembok itu, maka juga akan muncul Last Seen, Photo Profil, Online, Status. Kita bisa menyetelnya sesuai dengan kemauan dan kepentingan kita.
Mulanya memang hanya untuk kepentingan privasi. Namun, saat ada sebuah unggahan di twitter dengan akun @collegemenfess pada 2 juli 2021 silam, penulis jadi ikut-ikutan insecure.
Masalahnya, dalam unggahan di akun tersebut, ada sebuah screenshoot dialog dosen dan mahasiswanya, si dosen akhirnya juga merasa jengah saat melihat mahasiswanya yang bimbingan itu mematikan fitur centang biru. “Ini instruksi dan revisi dari gue udah dibaca belum ya sama dia, ihh masak dia matiin notif baca pesan WA sama gue. Dia siapa sih? Masak iya, gue dosen dibuat gulana sama mahasiswa?”
Dan tak lama setelah ramai kasus unggahan akun tersebut, di mojok.co ada yang menulis tentang centang biru dengan judul ‘Mendebat Secara Profesional Kaum yang Mematikan Centang Biru Whatsapp” yang ditulis oleh Ajeng. Dia mengkritik secara sungguh-sungguh kaum yang mematikan fitur centang biru WA. Dia menganggap jika matinya centang biru, bisa merusak hubungan kerja dan juga rekan bisnis. Tulisannya memang seperti ditulis dengan jengkel pula. Sebuah reaksi yang ia berikan kepada kaum pembunuh centang biru. Ajeng mencoba mengklasifikasi fitur centang biru WA yang mustinya dipakai untuk privat, dan fitur centang biru yang digunakan untuk publik. Pas empan papane.
Tulisan Ajeng rupanya mendapat sebuah sanggahan dari Ahmad Natsir dengan judul ‘Membela Secara Historis Orang-Orang yang Mematikan Fitur Centang Biru WhatsApp’ yang ditulis secara pendek dan terkesan ala kadarnya.
Memang dalam kalangan pengguna aplikasi yang dirilis sejak 2009 ini, banyak sekali rupa-rupa laku dan sikap yang ditimbulkannya. fitur centang biru pun juga baru ada setelah beberapa tahun setelah aplikasi ini dirilis.
Penulis kali ini tidak menyoalkan tulisan Ajeng atau Natsir. Penulis hanya ingin bercerita sedikit tentang kemungkinan lain; kenapa orang mematikan fitur centang biru dan fitur status WhatsApp.
Oke, mari kita mulai.
Sebelumnya, semenjak menginstall WhatsApp, penulis sendiri hanya sekali saja mematikan fitur status dan centang biru WhatsApp, tak lebih dari 15 hari. Itu pun awalnya di-sungut leter oleh rasa pakewuh saat chat sama orang-orang yang mematikan fitur centang birunya. Karena selain ada niatan hendak membalas-dendam-nya, penulis juga mencoba ingin mencari tahu dan melihat reaksi beberapa teman yang juga mematikan fitur status dan centang biru WA-nya itu.
Ternyata, ada 3 dari 7 teman yang semuanya mematikan fitur status WA dan fitur centang biru, ketiga anak ini cukup risih dengan penulis, kenapa penulis mematikan fitur status dan centang biru WA?
Dari 100 kurang kontak WA yang penulis simpan, hampir 100 orang juga yang menyimpan balik akun WA penulis. Artinya, sama-sama bisa melihat status masing-masing.
Salah satu dari 3 orang yang gundah itu ialah rekan kerja saat penulis masih di tanah rantau sana. Karena sama-sama kuliah dan kerja paruh waktu, kami berdua kerap berkabar tentang kedatangan si Bos yang senengane misuh-misuh di tempat kerja. Karena kami musti ‘mengepas-ngepaskan’ waktu kerja dan jadwal kuliah. Kami kerja paruh waktu menjaga sebuah toko alat-alat pertanian.
Nah rekan ini mematikan fitur status dan centang birunya. Cukup sering penulis nge-chat dia, namun bukan malah dapat info atau chip, melainkan dibikin gundah karena centang biru yang mati.
Reaksi rekan dan reaksi penulis tampaknya tak jauh beda.
“Duh, kok ga dibalas sih. Sudah dibaca belum ya. Aduh mau minta kabar kok malah dibikin galau gini sih. Idih-idih. Dia itu siapa sih, sama-sama buruh kok gak bisa berserikat”.
Sialnya, setiap generasi, rata-rata memang cukup terganggu dengan kasus yang debatable ini.
Selanjutnya, ada kepribadian baru kenapa orang memilih mematikan fitur status dan centang biru WhatsApp. Dia adalah kaum mata-mata. Kaum paparazi. Kaum yang suka mengintai. Mereka hanya memantau dan melihat status kita. Makanya, komentarnya yang ujug-ujug itu juga bikin plas-plas dan juga njumbulno wong.
Anda mungkin pernah mengalami; kontak teman yang anda simpan dan teman anda pun menyimpannya, namun statusnya tak pernah muncul. Dan nama kontaknya juga tak pernah muncul dalam history status anda, sampai anda menganggap; ia mungkin sudah ganti nomor,atau nomornya diblokir, atau pindah planet — namun mak bedundug, mengomentari status anda. Nah, horor kan?
Untung yang dikomen dia bukan status anda yang sedang menyindir atau ngrasani dia — bukan potret anda saat diam-diam nggebet pacarnya. Kan bisa perang?
Orang-orang yang jenis kedua ini juga makin misterius keberadaannya saat mereka mematikan last seen dan photo profil. Siapa yang nggak insecure coba?
Wah, auranya tuh — sama dengan warna centang biru yang dimatikannya: kusam dan suram serta remang-remang.
Mungkin orang-orang ini ingin belajar menjadi intel secara otodidak. Atau mungkin dia memang intel?
Sebenarnya kasus centang biru adalah kasus yang cukup serius meski tak cukup mengasyikkan.
Jika kita mau membawa kasus mematikan fitur centang biru WhatsApp ke kamar bedah psikologi, ini tentu akan sangat menarik, bisa kita operasi, dikulik dan dikorek-korek lebih dalam dan dikuliti habis-habisan. Atau jika perlu, bisa pinjam psikoanalisis dari Freud.
Seorang teman lama cum seorang sarjana psikologi, pernah berseloroh; “yang matiin fitur centang biru dan status WA itu kalau ngga pecundang ya megalomania.” Entah dengan premis apa ia mengatakan itu.
Namun jika dari ranah atau ruang-nya, tentu ini masalah yang beda lagi. Ruang publik dan ruang privat tampaknya mungkin bisa dijadikan paradigma dalam kasus mematikan fitur status WhatsApp dan centang biru.
Kita tak perlu repot-repot memakai pisau analisis Jurgen Habermas atau musti bertanya pada Habermasian tekun, Prof. F. Budi Hardiman. Tak perlu. Terlalu ruwet. Njelimet.
Kita sudah bisa menganalisanya sejak dalam pikiran, dengan cukup melihatnya dan melakukan angen-angen sak maknane; ini chat dengan orang yang kira-kira berkorelasi dengan ruang privat atau ruang publik-ku ya? Sudah itu saja. Cukup. Sungguh. Sudah cukup.
Jika dengan pacar, mantan, gebetan atau selingkuhan, tentu itu privat bukan? Nah, yang publik tentu kita sudah tahu semua — dengan segala kepentingan dan segala kesemrawutan kita masing-masing.
Atau anda tetap bisa mematikan centang biru itu kapan pun, semau anda saat chat dengan siapa saja. Dan tenang saja, ada banyak solusi terkait ini.
Pertama anda setidaknya musti mempunyai 2 gawai dan 2 akun WhatsApp. Satu untuk privat, satu lagi untuk publik.
Kedua, anda musti fast respon membalas atau menanggapi sebuah chat yang masuk, tak harus menunggu sampai si pengirim galau, karena chatnya tak terbalas — lantas akhirnya menelfon anda.
Dan terakhir, bayangkan jika atasan anda, entah Guru, Dosen, Mandor, Juragan atau siapa saja yang kiranya bisa bikin ada gupuh saat beliau tiba-tiba menelfon anda, mencari-cari anda karena sebuah aral. Entah karena sebuah tugas yang belum selesai, kasus di sekolahan, atau mungkin itu adalah dosen pembimbing dan penguji anda. Atau Debt Collector. Atau calon mertua anda.
Dan paling akhir, bayangkan jika anda sudah sebagai orang tua, sejak pagi anak anda keluar pamit sekolah. Sampai petang belum pulang. Lalu anda mengechatnya, namun fitur centang birunya dimatikan. Tapi kemudian, saat anda menunggu dengan cemas balasan darinya, serta rasa khawatir sudah menyergap anda, anak anda membuat status jika ia sedang di sebuah warung kopi.
Jika sudah demikian, centang biru menyala adalah salah satu hal remeh temeh namun dengan itu pula anda bisa merasa lebih ayem dan tentrem, setidaknya anda bisa mendeteksi serta mendiagnosa keberadaan dan kehidupan anak anda.
Larut petang, 6/3/2022
a.m