Belenggu Komunikasi Era Digital Technopolitics

foto: Twitter@joseraulvp

Perkembangan teknologi informasi telah banyak mengubah tatanan kehidupan masyarakat dunia. Jauh hari, pada tahun 1960 Marshal McLuhan telah memprediksi fenomena ini dengan menyebutkan global village. Yakni tidak ada lagi batas waktu dan ruang yang jelas untuk penyebaran informasi.

Teknologi internet kemudian memunculkan perubahan di semua bidang. Di bidang komunikasi politik, perubahan-perubahan pola komunikasi itu memunculkan tantangan bagaimana komunikasi politik digunakan oleh negara, institusi media, dan bahkan oleh masyarakat sendiri.

Apa definisi komunikasi politik? Banyak pakar memberi definisi. Namun, secara sederhana komunikasi politik adalah “role of communication in the political process”, yakni peran komunikasi dalam proses politik. Begitulah kata Lynda Lee Kaid dalam Handbook of Political Communication Research (2004).

Di Indonesia, teknologi informasi misalnya telah mengubah pola komunikasi politik. Hal itu bisa dilihat salah satunya pada moment Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Informasi menyebar demikian cepat dengan jumlahnya sangat banyak. Masyarakat sulit mengidentifikasi apakah informasi itu benar atau salah. Pesan-pesan politik berseliweran, saling menegasi, dan berebut opini publik. Kasus cuitan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Twitter-nya juga merupakan cara komunikasi politik baru yang belum ada pada era sebelum media sosial seperti sekarang ini.

Ulasan Victor Sampedro dari King Juan Carlos University melalui tulisannya berjudul Introduction: New Trends and Challenges in Political Communication bisa memberi gambaran tentang komunikasi politik kekinian. Tulisan ini sebenarnya merupakan pengantar International Journal of Press/Politics (IJPP) edisi tahun 2011. Victor mencoba memotret tren baru di bidang komunikasi politik, yakni ketika teknologi informasi menjadi tren di masyarakat.  Ada tiga isu penting yang kemudian menjadi tren baru di dunia komunikasi politik, yakni re-definisi konsep public sphere, arus informasi transnasional, dan pentingnya pemberdayaan penggunaan teknologi bagi warga.

Ruang Publik

Pada awalnya, media massa dinisbatkan menjadi ruang publik (public sphere) di mana masyarakat bisa mendapatkan informasi dengan cepat dan menyalurkan aspirasinya. Media massa menjadi ruang diskusi tema-tema publik. Media yang mendorong transparansi informasi akan menumbuhkan partisipasi publik.  Lalu, media massa berkembang seiring perkembangan teknologi. Dulu hanyaa print, lalu televisi, dan sekarang online. Media pun mengalami perubahan dahsyat setelah teknologi informasi makin canggih. Salah satu tantangannya adalah komodifikasi media dan perubahan gaya jurnalisme. Kepemilikan media oleh perusahaan besar yang berorientasi profit  media tantangan media yang berfusngsi sebagai ruang publik.

Baca Juga:  Media di Bojonegoro, Secuil Cerita Masa Lampau

Di Indonesia, fenomena kepemilikan media televisi oleh pengusaha yang berafiliasi pada partai politik juga menjadi tantangan lain posisi media sebagai ruang publik. Seperti TV One milik Aburizal Bakrie (Golkar); RCTI, MNC TV, dan Global TV milik Hary Tanoesoedibyo (Perindo); dan Metro TV milik Surya Paloh (Partai Nasdem). Televisi-televisi itu pun kemudian akan sangat sulit untuk menjadi ruang publik yang benar-benar hadir untuk kepentingan publik.

Seharusnya, media menjadi ruang publik bebas kepentingan kelompok mana saja.  Media seyogyanya menjadi ruang publik sebagaimana yang dibayangkan oleh Jurgen Habermas.  Sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), Habermas mengatakan ruang publik adalah setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.  Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat selalu terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi. Ia mengandaikan perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. (Barret, 2011)

Dalam public sphere ada  pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum.  Orang-orang yang terlibat di ruang publik adalah orang-orang yang mengesampingkan kepentingan pribadi. Pada tujuan akhirnya, ruang publik menjadikan masyarakat mampu merefleksikan diri secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya. Nah, saat teknologi informasi hadir dan memudahkan partisipasi masyarakat lewat internet, maka diskusi-diskusi politik makin mudah. New media menjadi ruang bebas di mana setiap orang bisa berdiskusi dan membangun kesepakatan.

Tapi nyatanya, media tak lagi menjadi ruang publik yang bebas. Media menjadi arena pertarungan aneka kepentingan. Selain fenomena komodifikasi media, informasi transnasional menjadi tantangan sendiri untuk mewujudkan ruang publik. Informasi global bisa menjadi isu nasional, atau sebaliknya. Media telah menyintas batas geografis yang kemudian menggabungkan frame geografis lokal dan global. Tumpang tindih. Semua kepentingan bergerak melintasi ruang dan waktu dan berinteraksi secara bersamaan pada tingkat yang berbeda. (Sampredo, 2011).

Baca Juga:  Pliss.. Jangan Lancang Ganti Nama Jalan

Peristiwa politik global bisa menjadi agenda utama pers nasional. Internet juga memungkinkan warga negara di manapun untuk menjadi bagian dari komunikator politik. Salah satu contoh adalah seringnya isu-isu kemerdekaan Palestina dan konflik Suriah digunakan oleh sebagian masyarakat untuk melancarkan aksi di Indonesia. Contoh lain adalah pesan-pesan politik Pilkada DKI yang tak hanya diproduksi dan dikonsumsi oleh warga Jakarta saja, melainkan juga menjadi pembicaraan panas bagi warga di luar Jakarta.  Sampredo melihat tren baru ini sebagai akibat adanya integrasi arus informasi dan ekonomi media. Hal itu berakibat adanya dinamika lokal, nasional, dan global yang saling bersinggungan sesuai ruang-ruang politik dan kepentingan politik. Semua aktor politik berebut ruang untuk menonjolkan identitasnya. Hal semacam ini tak bisa dielakkan. Memang, kelihatannya dengan internet, kekuatan publik menjadi lebih besar.

Apakah demikian? Ternyata tidak selalu demikian. Sekarang internet membuka ruang bebas tanpa batas untuk melakukan hegemoni. Kepentingan negara atau kepentingan kelompok/perusahaan di Amerika, China, Arab Saudi, atau dimanapun bisa didesakkan ke Indonesia, bahkan ke pelosok desa. Yang penting terjangkau internet.   Lalu bukankah pengendali tetap ada di negara dan perusahaan besar saja? Di dunia politik, terjadinya ambiguitas antara lenyapnya negara-bangsa dan kembalinya nasionalistik di sisi lain. Serta xenophobia (ketakutan pada warga asing) dan kecintaan pada kelompoknya. Tabrakan dua arus informasi itulah yang terjadi saat ini. 

Digital Technopolitics

Victor Sampredo menggunakan istilah digital technopolitics untuk menggambarkan perpaduan antara teknologi dan politik.  Teknologi informasi yang berbasis internet telah mengubah pola komunikasi politik. Interaksi di media sosial misalnya memberikan peluang baru bagi warga biasa untuk memiliki otonomi komunikasi politik. Digital technopolitics mengubah wajah demokrasi perwakilan dengan memberikan ruang untuk demokrasi deliberatif dan inovasi partisipatif.  Di Indonesia, akhir-akhir ini fenomena digital technopolitics bisa diamati dengan mudah.

Presiden Joko Widodo sering memanfaatkan vlog untuk mengunggah video aktivitasnya. Seperti saat bersama Raja Salman, saat menonton bola, dan lainnya. Presiden Joko Widodo juga memiliki akun di sejumlah media sosial, seperti Facebook, Instagram dan Twitter.  Fenomena digital technopolitics juga terlihat dari banyaknya warga (netizen) yang aktif berdebat di media sosial tentang berbagai hal. Perdebatan paling hangat adalah terkait Pilkada DKI.

Baca Juga:  Komodifikasi Media dan Pengapnya Ruang Publik

Banyak warga memanfaatkan media sosial untuk menyalurkan pandangan dan keyakinan politiknya. Pesan politik dikemas lewat meme, tulisan, foto,  dan lain sebagainya. Pesan itu berseliweran di internet dan saling bertarung antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Pertarungan politik pun menjadi lebih ramai di dunia maya.

Tapi benarkah digital technopolitics mengarah pada demokrasi deliberatif? Yakni demokrasi yang sesuai konsep Jurgen Habermas diandaikan sebagai keputusan yang selalu didahului oleh diskusi publik. Yakni ketika semua warga menjadi penentu kebijakan politik. Dan itu bisa dilakukan melalui kemudahan yang ditawarkan teknologi.

Lagi-lagi Sampredo mengingatkan akan hal itu. Sebenarnya kekebasan itu tak sepenuhnya di tangan warga, melainkan juga tetap ada di tangan negara dan perusahaan-perusahaan besar. Bahkan dengan komunikasi tanpa batas ruang dan waktu, sulit mengidentifikasi komunikator dan pesan yang sebenarnya. Semuanya menjadi samar dan campur aduk.

Hal ini salah satunya bisa diamati dari adanya campur tangan korporasi multinasional yang banyak berperan dalam pengelolaan media lokal. Antara  kepentingan lokal dan perusahaan induk di luar negeri sulit untuk dibedakan. Sedangkan di sisi lain, negara, meski secara tidak langsung tetap memainkan peran penting dalam mengontrol arah komunikasi politik, yakni melalui regulasi dan kekuasaannya.  Inilah tantangan kita sebenarnya.  

__________________

Sumber Rujukan: 

Barret, O. B. (2011). Conceptualizing The Public Sphere. Dalam O. B. Baret, Approaches to Media. Arnold.

Sampredo, V. (2011). Introduction: New Trends and Challenges in Political Communication. The International Journal of Press/Politics, 431-439.

________________

*) Tulisan ini diambil dari catatan kuliah yang disederhanakan.

*) Penulis sedang studi S-2 Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *