“Pupuk larang pak, tur yo ngunu golek’ane angel tenan, petani kok diidak-idak wae piye ki?” Kalimat itu menyembur dari mulut seorang wanita paruh baya bernama Mbok Dah. Terlihat Mbok Dah sedang menanak nasi di dapurnya yang berlantai tanah itu.
Kalimat yang ia lontarkan kepada Makde Kromo, suaminya, seolah tak butuh jawaban. Itu lebih mirip seperti sebuah kekesalan yang lama dipendam dan akhirnya muncrat disertai rasa jengkel yang tampak membuatnya naik pitam.
Makde Kromo hanya diam, dan mengambil sebuah plastik yang berisi rajangan tembakau dan sebungkus cengkeh cap ‘Pak Ayem’.
Mata Makde Kromo masih tampak sayu dan mengeryip karena ia baru saja bangun. Hari ini ia tak meladang, ia ingin libur atau cuti barangkali.
Lelaki yang sepanjang hidupnya nyaris tak pernah mengeluh itu mencari paper/kertas rokoknya. Karena itu seharusnya berada di dalam plastik bercampur rajangan tembakau dan cengkehnya.
Setelah mencari-cari, ia juga tak menemukan.
“We ki gole opo to pak?” Sahut Mbok Dah.
Makde Kromo masih tak bergeming, matanya yang tadi sipit kini terbelalak tajam menyapu sudut-sudut pawon yang dipenuhi asap dari tungku istrinya itu. Beberapa berkas cahaya yang masuk menyorot lewat dinding bambu yang sudah bolong sana sini itu seakan ikut membantunya mencari.
“Paperku neng ngendi?”Kali ini ia sudah putus asa dan bertanya pada istrinya.
“Loala…. Mulane to, nek ditakok’i semaur. Kae lho diorat-aritno putunem” jawab Mbok Dah sambil menunjuk ke arah depan rumah, di mana cucunya yang berusia 3 tahun itu di-momong oleh ibunya.
Kertas rokok itu sudah kocar kacir dan sebagian besar sudah sobek.
“Nduk, paperku dinggo dolanan anak’em ye?” Makde Kromo menanyai anaknya dengan sedikit berteriak, karena jarak dari pawon sampai depan rumah cukup jauh.
Anaknya hanya diam, dan rupanya asyik memijit-mijit lembut gawainya.
“Nduuuuukk!!?? Diceluk pak’em killhoo” Teriak Mbok Dah untuk kesekiankalinya
“Heee… Opo mbok?” Jawab Ibu satu anak itu dari depan rumah juga dengan berteriak. Pandangannya kini tercerabut dari gawai.
“Paper’e Pak’em digowo anak’em?”
“Eh, iyo, iki. Walah, wes mbomot mbok, ra entro. Disuwek’I kilho”, Kali ini ia menjawabnya dengan sedikit tertawa.
Makde Kromo hanya diam, mukanya lempeng. Ia pun ke warung kelontong dekat rumahnya hendak membeli paper.
“Yu, utang paper rongewu yo. Paperku mbomot dinggo dolanan putuku”, ucapnya pada penjaga warung kelontong. 2 buah gendel paper ia dapatkan. Ia pun kemudian berjalan pulang dan melinting tembakau lalu mengisapnya.
Saat kembali ke rumah, segelas kopi bening tampak mengepul di atas meja makan. Setelah beberapa hisapan, ia menyeruput kopi paginya. Saat baru saja kopi panas itu sampai kerongkongannya, suara dari Mbok Dah menggelegar lagi, “Pak, kae sapine lhang dicombor, tletonge ditimpal, kaet maeng bengahhh terus kae lho”.
Makde Kromo menyeret langkah ke kandang belakang rumah. Dalam kandang itu, ada 8 ekor sapi. 5 betina dan sisanya jantan. 3 di antara yang betina sedang bunting tua. Dua di antara sapi itu adalah mesin untuk menenggala 2 petak sawahnya di atas perbukitan.
Tiba-tiba senyumnya tersungging, langkahnya sigap menghampiri sungkur dan pengki yang tergeletak di sudut kandang dan mulai membersihkan tai sapi yang tampak menggunung.
warkop depan brimob, 06/02/24