BUKU  

Berkubu Buku

Sumber: brandonsanderson.com

Benarkah minat membaca masyarakat Indonesia rendah? Banyak sekali survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional yang mengamini bahwa minat membaca masyarakat Indonesia cukup rendah.  Salah satunya  survei yang dilakukan The Central Connecticut State University pada 2016 yang menempatkan Indonesia di urutan ke 60 dari 61 negara. Artinya negara besar kita ini hanya berada di urutan kedua dari belakang.

Tapi, benarkah demikian? Banyak pendapat kemudian bermunculan dan mencoba mematahkan opini sebagaimana hasil survei tersebut. Tentu dengan menghadirkan beberapa fakta bahwa minat baca masyarakat Indonesia tinggi. Lihat saja banyak tukang becak yang membaca koran bekas, banyak anak-anak kecil sangat senang jika dipinjami buku. Artinya, minat baca masyarakat Indonesia sangat tinggi.

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di dunia literasi kita? Alangkah baiknya kita memang tidak masuk dalam perangkap perdebatan yang tak berujung itu. Melainkan bergerak, membangun jejaring, dan memantabkan tekad untuk berkubu dengan buku.

Mungkin itu terdengar absurd sih, serupa bersiap perang saja. Tapi apa mau dikata begitulah kenyataannya. Apalagi jika kita berada di daerah pinggiran, bukan kota besar macam Jakarta, Surabaya, Malang, atau Yogyakarta. Di daerah pinggiran, ketika kemiskinan masih menjadi masalah utama, dan membaca buku bukan masuk daftar 100 jawaban teratas memberantas kemiskinan. Buku banyak terkurung di gedung sekolah dan kampus dan asing bagi rumah-rumah yang dihuni keluarga.

Pada masa yang tertatih-tatih demikian itulah tiba-tiba dunia digital menggempur tanpa ampun. Gadget menjadi keseharian masyarakat. Anak-anak riang gembira memegang gawai, tertawa-tawa menikmati tontonan lucu dari media sosial yang dihuninya. Sementara orang dewasa asyik menjejali dunianya dengan aplikasi video untuk seru-seruan.

Dan di mana buku berada?

Buku dengan aroma kertas yang khas makin tersisih. Digantikan oleh kuasa digital yang merajai kehidupan masyarakat sehari-hari. Survei Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia kian banyak. Kini mencapai 143,26 juta dari total jumlah penduduk 262 juta orang. Dan para pengguna internet kebanyakan kecanduan media sosial.

Baca Juga:  Buku Baru Kumcer Jembatan Tak Kembali Karya Mardi Luhung

Menghadap-hadapkan buku vs digital memang tidak sepenuhnya tepat. Karena keduanya bisa saling bertemu dan menghasilkan karya berupa e-book, e-library, dan sebagainya. Bahkan, kristalisasi pertemuan buku dan dunia digital menjadikan bacaan makin murah, mudah didapat, dan bersifat massif. Oleh karena itu, permasalahan yang kini muncul adalah perilaku masyarakat dengan dunia buku.

***

Ibarat perang, kita perlu menentukan diri berada di kubu mana berada. Kini masyarakat dihadapkan pada kecepatan informasi yang dibawa serta oleh rezim digital. Beberapa studi dilakukan untuk mengetahui dampak dari gerusan dunia digital yang pada titik tertentu menemukan kebebasannya. Salah satunya adalah kebiasaan dengan hal-hal instan.

Kita sedang berada di ‘dunia yang berlari’ sebagaimana digambarkan Yasraf Amir Piliang. Nah, buku bisa menawarkan jeda untuk masuk ke kedalaman makna daripada ujaran-ujaran yang berbasis hastag. Sekali lagi memosisikan buku berhadapan muka dengan dunia digital memang tidaklah tepat, tapi berharap buku selalu selaras dengan dunia digital juga sangat sulit. Jadi, mari berkubu kubu di rezim digital ini.

Saya memilih berkubu buku, itu sudah pasti. Dan saya yakin banyak sekali orang yang berkubu dengan buku. Meski mungkin lebih banyak juga orang memilih tak berkubu buku. Saya sering bertemu dua macam orang tersebut. Tapi biarlah saya mengisahkan orang-orang yang berkubu buku saja.

Baru-baru ini saya bertemu dan ngobrol panjang dengan seorang penjual buku bekas. Usianya tak muda lagi, yakni 89 tahun. Sudah 60 tahun lebih ia bergelut dengan buku-bukunya. Tubuhnya boleh renta, tapi semangatnya untuk dekat dengan buku tak bisa dicegah oleh siapapun, termasuk oleh anak-anaknya. Zulkifli atau lebih biasa dipanggil Pak Zul tiap hari membuka lapak di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.

Pak Zul menganggap pekerjaannya bukanlah sekadar mencari uang. Melainkan sebuah hiburan karena bisa dekat dengan buku, memegang, membaca, menyuguhkan ke pembeli, membantu mencarikan buku, dan lain sebagainya. Pokoknya buku telah memberi banyak arti dalam kehidupannya selama puluhan tahun. Pak Zul bukan asli Jogja, melainkan berasal dari Aceh.

Saya sering ke lapaknya dan menemukan pemandangan seorang tua duduk sambil memegang koran Kedaulatan Rakyat di antara tumpukan buku yang menggunung. Entah kenapa saya selalu senang menikmati pemandangan menakjubkan itu, sehingga terkadang saya memilih mengamatinya dari jauh terlebih dulu sebelum akhirnya ‘mengganggunya’ untuk menawar satu-dua buku.

Baca Juga:  Madura Tertawa Tak Bisa Dikalahkan

Pak Zul adalah inspirasi. Saya yakin banyak orang seperti Pak Zul ini di berbagai daerah. Di Surabaya dulu, saya beberapa kali mengunjungi Oei Hiem Hwie di Perpustakaan Medayu Agung  miliknya. Usianya juga sudah tua. Ketika saya berkunjung, Pak Oei, begitu saya memanggilnya selalu berada di mejanya untuk mengkliping koran. Di perpustakaannya ribuan koleksi tertata rapi di bangunan berlantai dua tersebut.

Pak Oei pernah dikucilkan di Pulau Buru sebagaimana Pramoedya Ananta Toer juga merasakannya. Pak Oei mengisahkan bagaimana waktu muda, saat ia menjadi seorang jurnalis harus menyelamatkan buku-bukunya ke plafon. Buku-bukunya memang selamat, tapi tidak dengan dirinya yang menjadi tahanan politik. Kecintaannya pada buku mengeram sampai ia tua. Perpustakaannya pernah ditawar seseorang dengan harga miliaran rupiah, tapi Pak Oei tak hendak melepaskannya. Buku-bukunya adalah harta yang tak ternilai harganya.

Pak Zul dan Pak Oei adalah sedikit orang yang seharusnya menginspirasi kita untuk meneguhkan tekad berkubu buku. Ya, harus.

***

Tahun 2012 saya mengumpulkan tulisan-tulisan yang bertema buku dan Bojonegoro. Saat sudah terkumpul, saya layout menjadi sebuah buku ukuran 13 x 19 cm. Sampul saya desain sendiri ala kadarnya, dan saya cetak terbatas. Buku itu berjudul ‘Membaca untuk Bojonegoro’. Buku itulah buku pertama yang saya tulis, saya layout, saya bikin sampulnya, dan saya bawa ke percetakan.

Saya telah memutuskan berkubu buku pada saat itu. Dengan keterbatasan yang ada, kita harus tetap bisa menghasilkan karya. Teknologi memudahkan kita membuat buku dan mengedarkannya sendiri. Bahkan boleh jadi keterbatasan yang ada bisa menjadi pemicu untuk terus bergerak di dunia literasi. Saya sering menjadi provokator agar daerah-daerah pinggiran seperti Bojonegoro tempat lahir saya, tak hanya dikenal lewat banjirnya saja melainkan juga lewat buku dan kebudayaannya.

Tahun 2013 saya berkawan dengan seorang yang baik hati, mendonorkan uangnya untuk penerbitan buku di Bojonegoro. Saya pun mencari tulisan-tulisan yang bisa diterbitkan menjadi buku. Semua biaya cetak (100 eksemplar) ditanggung kawan saya tadi, dan setelah buku tercetak semua menjadi hak penulis. Usaha itu telah menghasilkan 10 judul buku, mulai kumpulan esai, novel bahasa jawa, hingga buku puisi. Dalam proses penerbitan buku, saya meyakini buku-buku itu akan banyak manfaatnya. Saya mengurus ISBN, membawa ke percetakan di Surabaya, dan membawanya pulang ke Bojonegoro.

Baca Juga:  Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang

Apa yang saya lakukan belumlah seberapa dibandingkan dengan kisah Pak Zul dan Pak Oei sebagaimana saya kisahkan di atas. Selain orang-orang sepuh yang kelewat mencintai buku itu, lewat tulisan-tulisan Muhidin M Dahlan dan Bandung Mawardi yang  banyak beredar di media massa cetak atapun daring, saya semakin yakin bahwa orang-orang yang berkubu buku cukup banyak.

Muhidin M Dahlan ada di Jogja dan bergelut dengan buku di Warung Arsip. Sedang Bandung Mawardi berada di Surakarta dan bergelut di Bilik Literasi. Tentu mereka tidak mengenal saya, tapi saya mengenal keduanya lewat tulisan-tulisannya yang mudah dijumpai. Saya selalu menangkap spirit literasi dari tulisan-tulisan bernas mereka. Begitu kaya akan literatur-literatur buku. Saya sering membayangkan mereka menulis dengan dikelilingi buku yang memancarkan cahayanya dan menjadikan tulisan-tulisan berbobot.

Sekali lagi, banyak orang di sekitar kita yang jadi inspirasi. Kita berkubu buku boleh jadi dianggap terlalu bernostalgia. Tapi tidak apa-apa. Karena yakinlah bahwa buku memiliki jiwa yang pada suatu masa tertentu akan mampu bersentuhan dengan jiwa kita.

Mari berkubu buku!

Respon (1)

  1. Gaya tulisan dan ulasan, khas seorang Nanang Fachrudin, S.Sos….
    Hidup abadi dalam kata…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *