“Anda harus mati beberapa kali sebelum Anda benar-benar hidup”
— Bukowski —
Semua orang rasanya selalu mempunyai sebuah keinginan, harapan atau cita-cita. Suatu hal yang begitu didambakan akan diraihnya kelak. Cita-cita seseorang perlahan terbentuk saat ia mulai banyak hidup dan bersentuhan dengan dunia di luar. Biasanya mereka duduk di bangku sekolah.
Tak jarang cita-cita itu tekubur perlahan lantaran tuntutan zaman dan semakin dikuranginya sebuah ekspektasi. Mungkin ada di antara kita yang saat kecil dulu bercita-cita menjadi dokter, jadi polisi, jadi perawat dll. Namun selain karena satu dan lain hal, dengan semakin dewasanya umur kita cita-cita itu pun terkubur perlahan dan dengan sesak nafas harus rela menguburnya.
Tentu ada alasan masing-masing dari tiap diri kita sampai ta sadar bahwa kini cita-cita yang pertama menyembu dari pikiran polos itu tertutup tanah sama sekali.
Bahkan penulis sendiri, juga lupa apa cita-cita pertama kali yang saat itu mencuat. Hehe.
Baik. Kali ini ada sebuah buku yang membahas tentang seorang tokoh yang penulis kira sedikit banyak mempunyai korelasi tentang cita-cita yang terkubur di atas.
Melirik Charles Bukowski
Adalah Henry Charles Bukowski atau yang lebih dikenal dengan nama Charles Bukowski adalah salah satu tokoh terkenal di dunia. Dia dikenal sebagai seorang penyair dan sastrawan yang begitu disegani.
Jika kalian penikmat sastra, barangkali beberapa novelnya sudah pernah anda cicipi. Seperti Love is a Dog From Hell, The Days Run Away Like Wild Horses dll. Tak hanya novel, ia juga banyak menulis syair puisi. Diketahui jika saat malam hari ia sering memotret wajah kota yang suram dalam kata-kata di puisinya.
Tapi siapa sangka, Bukowski dulunya adalah seorang pecandu alkohol, pejudi, tukang utang, main wanita, kasar, dan kikir. Lelaki kelahiran Jerman ini barangkali “…menjadi manusia terakhir di muka bumi yang bakal anda mintai nasihat tentang kehidupan”, tulis Mark Manson dalam bab awal di buku fenomenalnya “The Subtle Art of Not Giving a Fuck”.
Ya, Bukowski mulanya bercita-cita menjadi seorang penulis hebat. Namun karya-karyanya selalu diotlakoleh penerbit. Ia terus menulis tanpa henti namun sama saja, semua tulisannya tak ada satupun yang dimuat di majalah, jurnal, surat kabar, agen atau penerbit. “Tulisannya jelek, kotor. Menjijikkan!” Begitu rata-rata ucap para redaktur. Tumpukan karya dan surat penolakan dari penerbit itu akhirnya membawanya ke lembah depresi yang kian diperberat oleh alkohol yang terus menghantui sebagaian besar hidupnya.
Perlahan, cita-cita menjadi seprang penulis akhirnya terkubur. Bukowski kemudian bekerja menjadi sebagai seorang penyortir surat di sebuah kantor pos dengan gaji yang sangat rendah. Dan uangnya selalu habis digunakan untuk berjudi dan membeli alkohol. Malamnya ia kadang masih menulis puisi yang dengan bahasa “menjijikkan”. Kerap kali ia siuman di lantai setelah pingsan semalam sebelumnya.
Menulis Kembali di Usia 50 Tahun
Tiga puluh tahun lamanya, kehidupannya nyaris seperti itu. Kemudian, saat Bukowski berusia 50 tahun, setelah seumur hidup merasa gagal dan membenci diri sendiri, seorang editor di sebuah penerbitan independen kecil menaruh minat yang ‘aneh; terhadap dirinya. Editor ini memberikan sebuah kesempatan kepada Bukowski. Bukowski pun menerima kesempatan yang mungkin menjadi satu-satunya kesempatan itu. Bukowski kembali menulis. Setelah menandatagani kontrak, cita-cita yang sudah terkubur dan nyaris terlupakan itu kembali bergetar dari dalam tanah. Dia akhirnya menyelesaikan novel pertamanya dengan waktu 3 minggu berjudul, “Post Office”. Di dalamnya ia menulis “Didedikasikan untuk tak seorang pun”.
Novel perdananya disambut tak begitu meriah. Namun ia terus menulis, setidaknya ada 6 buah novel dan ratusan puisi. Menjual dari 2 juta kopi. Namanya yang dulu dikenal sebagai seorang pecundang, kini menjadi seorang tersohor yang begitu tenar. Popularitasnya melampaui harapan setiap orang bahkan dirinya sendiri.
Sepintas cuplikan pendek kisah Bukowski dalam buku mar Manson itu tak ubahnya sebuah film. Yang kurang lebih narasai besarnya seperti ini; “Orang ini tak mudah menyerah, orang ini tak pernah berhenti mencoba, ia gigih dan percaya diri dan akhirnya sukses!”.
Tapi semua narasi wah itu seperti janggal, karenadi atas batu nisan Bukowski tertulis; “Jangan Berusaha”. Bhaaadalaakk…
Jadi Diri Sendiri dan “Jangan Berusaha”
Meski bukunya laris manis dan ia menjadi tersohor, keberhasilan Bukowski bukan hasil dari kegigihan untuk menjadi seorang pemenang, namun kenyataan bahwa ia tahu dan ‘sadar’ kalau dia pecundang, menerimanya dan kemudian menuliskan secara sangat jujur tentangnya.
Ia tak pernah mecoba menjadi selain dirinya sendiri. Tulisan Bukowski bukan tentang peluang atau pilinan kata-kata mutiara yang gemerlap yang bisa berpeluang mengembangkan dirinya untuk menjadi penulis terkenal. Bukan, sama sekali bukan. Bahkan sebaliknya.
Ia hebat karena kemampuannya yang cerdas dan jujur pada diri sendiri sepenuhnya dan setulusnya. Mengakui hal-hal buruk yang ada pada dirinya sekalipun dan membagikannya kepada pembaca tanpa sungkan, ragu atau segan.
Bukowski sendiri sepertinyajuga masa-bodoh dengan kesuksesan. Nyatatanya saat namanya melambung, ia tetap saja mencumbu alkohol judi dan meniduri perempuan.
Perbaikan diri dan kesuksesan kadang terjadi bersama. Tak jarang, sebuah keberhasilan sebenarnya juga tak ada sangkutpautnya dengan sebuah usaha dan jerih payah. Takdir? Ah—entahlah. Lebih lengkapnya bisa dilanjut baca di bukunya ya. Hehe
Judul : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
Penulis: Mark Manson
Penerbit: Gramedia, c3, April 2018
Jumlah: 246 halaman