SETELAH Joni pergi untuk selamanya (mati), aku sebenarnya tidak pernah berpikir akan mencari penggantinya. Karena saat itu aku jarang di rumah sebab sibuk urusan kuliah dan aku juga merasa Joni memang tidak tergantikan.
Saat itu aku mahasiswa semester pertengahan, sekitar awal tahun 2016. Aku sering nongkrong di mal setelah pulang kampus. Di salah satu mal di Surabaya di dalamnya ada yang jual kucing. Kadang kalau kangen mengelus-elus atau sekadar ingin hirup aroma bulu kucing aku sering kesana. Cuma hanya melihat-lihat saja. Mendekati kandang kucing-kucing di dalam mal itu. Boro-boro beli. Yang dijual di sana kucing ras yang cantik-cantik dan berbulu indah. Tidak mungkin seorang mahasiswa pemalas kaya aku saat itu mampu membeli.
Kucing di Mal
Aku lupa persisnya bagaimana, ibuk merasa saat itu kesepian di rumah karena biasa punya rumatan dari jaman sekolah (beliau dari kecil selalu punya rumatan), beliau tiba-tiba mendekatiku. Ibuk berencana meminta aku menemani ke mal yang biasa aku datangi. Kami ke mal hanya untuk melihat-lihat kucing saja awalnya. Sesampai di mal pun, aku dan ibuk tak pernah sama sekali expect akan membeli dan membawa kucing ke rumah. Tapi ketika sampai di salah satu toko kucing, di dalam kandang yang besar dan bertingkat berisi 5-7 anak kucing, ada salah satu kucing yang aku merasa beda dari yang lain. Kucing ini lincah sekali, aktif dan sering mengajak kucing lain bermain, padahal kucing lain yang sama-sama dikandang itu diam saja tidak merespon. Mungkin karena di mal suhu ACnya dingin, kebanyakan kucing-kucing yang ada di dalam kandang hanya diam dan duduk saja kecuali kucing yang nantinya kuajak pulang ini. Saat kumencoba gendong, mukanya terlihat seperti ingin mengajak ngobrol denganku. Dia seperti berkata ingin segera dibawa ikut aku.
Singkat cerita kami bawa pulang kucing ini setelah menyerahkan uang sebesar Rp600 ribu kala itu di usia dia yang 3 bulan. Rasanya terlalu mahal. Tapi sesampai di rumah aku merasa harga 600ribu itu sepadan. Karena kucing ini bisa membuat kami senang. Kucing ini benar-benar cepat beradaptasi dengan lingkungan rumah. Rumah kami berada di komplek perumahan. Kami nggak membolehkan kucing ini untuk berkeliaran di luar pagar rumah.
Namanya Minot
Oleh ibuk, kucing ini dikasih nama Minot. Minot yang berusia 3 bulan pun bisa bergaul dengan ponakanku yang masih berumur 3 tahun saat itu. Pokoknya seisi rumah senang melihat tingkah polah Minot yang lucu dan penuh semangat. Setiap ada orang baru atau dibawa ke dokter Minot nggak pernah takut. Dia juga tidak takut air, dengan mudah sekali jadwal bulanan mandi ke dokter jadi terasa menyenangkan, tanpa drama cakar-cakaran seperti kesurupan kalau mau dimandiin.
Jelas ada perbedaan treatment saat aku punya Joni dengan Minot. Kalau Joni dibiarkan saja dia bisa hidup, bisa makan sendiri, poop sendiri. Mau pulang nggak pulang juga nggak akan kuatir atau overthingking karena siapa juga yang minat menggondol kucing kampung, he he. Tapi untuk Minot tidak bisa. Punya Minot itu seperti simulasi punya bayi, mau nggak mau aku harus bangun pagi, menawarkan dia ke kotak pasir untuk sekedar pee atau poop, memberikan makan setiap kali dia ngeong, ada jadwal rutin untuk obat cacing, mandi dan vaksin. Kami punya dokter langganan atau khusus untuk Minot. Dokter yang baik hati. Namanya dokter Dina. Dokter Dina ini sangat telaten, sabar dan lembut dan juga pinter. Dokter Dina suka memuji-muji Minot. Katanya Minot kucing yang pintar, berhati lembut, periang dan mudah bergaul. Tiap kali datang ke dokter Dina Minot tak sungkan bermain-main dengan kucing kampung milik dokter Dina. Kamipun juga nyaman membawa Minot ke dokter Dina. Dokter Dina juga kerap memberi kami tarif 0 rupiah alias gratis untuk layanan kesehatan rutinan Minot.
Kami menjaga Minot agar terjamin kesehatannya. Terjaga dari kotoran dan hal-hal yang nggak bisa kami awasi. Karena itu Minot keluar sedikit saja dari pagar rumah aku bisa teriak-teriak melarang dia seperti emak-emak di komplek yang marah-marah anaknya pulang telat. Di saat-saat itulah aku, yang dulu seorang mahasiswa pengangguran tanpa mimpi yang melihat masa depan saja malas, merasa merawat Minot membuatku semangat kembali hidup. Aku jadi ada gairah meskipun nggak bisa menyelesaikan kuliah, he he. Paling nggak aku mungkin bisa cari kerja untuk berbagi rejeki dengan kucing ini. Aku sudah seperti single mother saja yang pisah dengan pasangan engga dapat harta gono gini. Hi hi, tapi cita-cita muliaku tak pernah terlaksana untuk Minot.
See You Again
Seperti kena petir di siang hari, keluarga kami tertimpa musibah yang aku sendiri engga pernah prediksi sebelumnya. Singkat cerita orang tuaku mengalami kebangkrutan ekonomi. Yang biasanya uang makan, dan kebutuhan Minot dipasok ibuk tiba-tiba harus berhenti. Saat itu aku tidak bisa membantu apa-apa. Aku juga sudah melamar di beberapa perusahaan tapi hanya sampai interview saja nggak ada kelanjutan lagi. Akhirnya kondisi kami ini dampaknya sampai ke Minot. Biasanya aku nggak pernah menjatah (membatasi) dia makan, kali itu aku bilang ke Minot agar makan sesuai yang kujatah saja. Kami sebelumnya nggak eman mengeluarkan uang untuk kesehatan Minot. Bahkan sakit sedikit saja langsung kubawa ke dokter. Tapi saat itu aku harus berhemat. Aku rela makan hanya mie instan demi agar bisa membelikan makanan Minot yang bagus dan bergizi.
Sebagaimana yang sudah kuceritakan di Bersama Kucing #1 bahwa kucing itu juga istimewa seperti anjing, Minot yang badannya sehat, tidak ada tanda-tanda sakit sedikitpun, tiba-tiba di pagi hari itu dia mogok makan. Badannya lemas dan mengeluarkan cairan dari mulutnya. Kubawa Minot ke dokter Dina. Kata dokter Dina, Minot mungkin keracunan makan. Aku tidak percaya dengan mudah. Padahal Minot selalu makan makanan bersih. Dokter Dina juga bilang semua organ dalam Minot dalam keadaan baik, tidak ada gangguan sakit dalam.
Keesokan harinya Minot meninggal dengan tenang. Aku ada saat dia sekarat. Tubuhnya tergeletak tak berdaya di alas lantai. Wajahnya pucat. Tubuhnya perlahan-lahan lemas kemudian lama-lama kaku. Kami mengubur jenazah Minot di bawah tanaman bunga milik Bapak di depan rumah kami. Seperti kutulis di tulisan sebelumnya, kucing itu seperti punya pemahaman pada pemiliknya. Kematian Minot jadi masa berkabungku yang sangat dalam. Malam-malam ketika tidak bisa tidur gara-gara kangen Minot, aku berpikir mungkin ini cara terbaik dari Tuhan. Minot nggak mau merepotkan aku dan ibuk. Kalau dihitung-hitung memang pengeluaran untuk seekor kucing saja saat itu 500-800ribuan perbulan. Mungkin karena alasan itulah Minot memilih untuk pergi selamanya. Dia bersamaku nggak genap setahun. Hanya sekitar 7 bulanan.
Sepanjang tahun 2015-2016 ada lagu Ost Furious 7 yang sangat hype sekali saat itu berjudul See You Again oleh Wiz Khalifa dan Charlie Puth. Video musiknya di youtube ditonton 1 miliar lebih. Nggak heran kalau memang banyak penonton, karena itu lagu dari sekuel film yang terakhir untuk Paul Walker memerankan Bryan O’ Connor (salah satu karakter utama) di situ. Di video musiknya juga sang penyanyi mendedikasikan lagu itu untuk Paul. Sepanjang tahun itu kalau pergi kemana-mana aku selalu mendengar lagu itu diputar baik di mal, di radio saat di mobil, dan tempat-tempat umum lainnya. Seakan-akan lagu itu menjadi soundtrack perasaanku.
Tepat November 2016 Minot pergi meninggalkanku. Seperti di lirik lagu See You Again, bukan hanya teman saja, Minot sudah seperti keluarga. Kalau ibuk bilang, Minot seperti anak ragil beliau. Sampai sekarang kalau aku dengar lagu itu aku masih menangis. Semoga di kehidupan yang lain kita bisa bertemu…
(Bersambung)