Pada tanggal 27 Desember 1961, Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961 meneyapkan Haji Agus Salim sebaai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Sosok Agus Salim menjadi salah satu tokoh penting dalam era perjuangan untuk memerdekakan negara kita, Indonesia.
Seyogyanya kita sebagai generasi penerus dan pewaris kemerdekaan bisa mengetahui atau setidaknya mengenal lebih dekat siapa Haji Agus Salim itu. Haji Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim bergelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Masa Muda
Ia lahir di Koto Gadang Sumatera Barat dengan nama asli Masyhudul Haq atau berarti “pembela kebenaran” pada 8 Oktober 1884. Agus Salim mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Sejak muda ia sudah menunjukkan kebolehannya dalam bidang akademik.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Pada tahun 1912-1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Kemudian pada tahun 1915 ia terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi.
Agus Salim kemudian menikah dengan Zaenatun Nahar Almatsier, dari pernikahannya itu ia dikaruniai 10 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik dan tulis menulis terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Tak sampai situ, selanjutnya ia juga ditunjuk sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu ia juga terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karya-karya
Karena selalu terlibat dalam kegiatan dalam pekerjaannya yang selalu terkait dengan tulis menulis, Agus Salim pun akhirnya juga menulis banyak buku dan juga menerjemahkan beberapa karya masterpiece dunia, di antaranya adalah:
Buku
1. Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
2. Dari Hal Ilmu Quran
3. Muhammad voor en na de Hijrah
4. Gods Laatste Boodschap
5. Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan tulisan Haji Agus Salim yang dieditori oleh rekannya) 1954
Terjemahan:
Agus Salim selama hidupnya memang dikenal sebagai seorang pembaca buku yang tekun dan kuat. Ia banyak membaca buku dengan bahasa asing. Dari beberapa bacaan asing itu kemudian ia tertarik untuk menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, di antaranya adalah:
1. The Taming of the Shrew karya William Shakespeare
2. The Jungle Book karya peraih nobel Rudyard Kipling.
Kiprah Politik
Sejak bergabung dengan Sarekat Islam, ia mendapati sebuah jabatan yang cukup strategis dan disegani. Ia menjadi petinggi kedua di Sarekat Isalam setelah HOS Cokroaminoto. Karena dianggap mempunyai banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas dan juga dalam, Agus Salim pun pernah menduduki jabatan Menteri Luar Negeri beberapa kali sejak kabinet Syahrir II pada 1946 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948-1949.
Saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri itu ia banyak memberikan sumbangsih bagi Negara Indonesia. Sehingga ia pun juga dijuluki sebagai “The Grand Old Man”. Ia menunjukkan kapasitasnya yang tak bisa dianggap enteng kepada negara-negara luar dengan cara diplomasi dan orasinya.
Agus Salim tak pernah kesulitan saat berbicara atau berdiplomasi dengan para pejabat lain dari luar negeri, karena ia menguasai secara aktif, setidaknya 7 bahasa asing . Bahasa asing itu ialah; Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, Jepang. Karena itu pula ia patut disebut sebagai seorang poliglot.
Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet presidensial dan pada tahun 1950 dan sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
PDua tahun berikutnya, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Akhir Hayat
Setelah tak aktif lagi di panggung politik, ia memiih mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia masih berkarya dan menghasilkan sebuah karya lagi, buku itu berjudul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Haji Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954, pada usia 70 tahun di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan menjadi berbagai tempat penting di tanah air, bandara, jalan, universitas di Bukit Tinggi, dan stadion sepak bola di Kota Padang.