Sosok  

Biografi Imam Bonjol, Sang Ulama Pemimpin Perang Padri

Selain Bung Hatta, dari Sumatera Barat ada sosok pahlawan penting yang sangat dihormati dan juga disanjung karena kegigihannya melawan Belanda. Dia adalah Muhammad Syahab alias Imam Bonjol. Kamu pasti tak asing dengan sosok satu ini. Karena potretnya juga diabadikan dalam uang kertas nominal Rp. 5000 yang resmi rilis pada 6 November 2001 silam.

Namun siapakah sosok Imam Bonjol ini sebenarnya? Berikut ini biografi singkat Imam Bonjol atau Muhammad Syahab

Latar Belakang

Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada 1 Januari 1772 dengan nama Muhammad Syahab. Dia selanjutnya dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Syekh Muhammad Said Bonjol atau Inyik Bonjol.

Bonjol sendiri merupakan nama suatu kampung yang berada di daerah Sumatra Barat. Kampung ini terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan berjuang bersama-sama dengan seluruh lapisan masyarakat di tempat itu. Mereka saling bekerja sama menentang penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada era itu.

Selain pejuang, Imam Bonjol adalah seorang ulama, dan tokoh yang cukup disegani dan dituakan oleh masyarakat. Dia menjadi tempat meminta nasihat, petunjuk, dan mengadu segala hal, baik yang berkenaan dengan masalah keagamaan maupun kedunian.

Lantaran itulah, yang menyebabkan dirinya memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Kemudian ia akrab disapa dengan nama Tuanku Imam Bonjol.

Dia juga sebagai seorang pemipin agung. Sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan, Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.

Pendidikan

Dia adalah putra tunggal dari pasangan Bayanuddin Syahab dan Hamatun. Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.

Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga pedagang dan senang merantau. Inilah yang menyebabkan dirinya pernah dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal Sekolah Rakyat Desa atau setingkat SD.

Kemudian dia belajar dan memperdalam agama Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun 1818 dia memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol.

Dia juga tertarik mempelajari budi bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan. Selama hidupanya disebutkan jika Imam Bonjol adalah pribadi yang arif nan bijaksana serta selalu tampil dalam kesederhanaan.

Baca Juga:  Gus Dur dalam Cakrawala Seni

Menikah

Disebutkan jika Imam Bonjol selam hidup tidak hanya menikah satu kali. Dan salah satu istrinya yang setia menemani hingga ajal ialah Hajjah Solehah. Melalui pernikahannya dengan Solehah, dia dikaruniai 10 orang anak, yaitu lima orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Anak-anaknya adalah Hasan, Hasyim, Harun al-Rasyid, Syahrudin, Djusnah, Sawwadjir, Hasanah, Rofiah, Cholidi, dan Nur Baiti.

Sebagai seorang ulama cum pejuang, ia memiliki kebiasaan yang begitu baik dan tentu patut menjadi suri tauladan generasi penerus. Di antara kebiasaannya ialah

1. Terbiasa tidur di masjid, tetapi hampir 2/3 dari waktunya dihabiskan untuk beribadah dan mengajar;

2. Selalu mengenakan jubah dan serban putih;

3. Sering mengurangi waktu tidur pada malam hari untuk berkhalwat kepada Allah SWT;

4. Memakan dengan lauk sederhana;

5. Setiap orang yang datang kepadanya dilayani dengan baik, tanpa membedakan siapa pun.

Kearifan dan Kelebihan

Sebagai seorang ulama, Imam Bonjol juga mengusai banyak ilmu. Salah satunya adalah Ilmu fikih dan tasawuf. Selain itu ia juga mempunyai kelebihan dalam membuat racikan obat dan pengobatan penyakit dengan car tradisioanl. Ia pun dikenal sebagai ulama yang waskita dan sanggup mengobati berbagai macam penyakit.

Melihat kelebihan dan kemampuan Imam Bonjol di berbagai bidang, setidaknya bisa dikategorikan sebagai berikut

1. Sebagai Guru

Imam Bonjol mendidik dan mengajar di setiap surau, masjid, dan pesantren yang dia bangun di setiap perkampungan, sekaligus menjadi pemimpin para jemaahnya. Setelah berjalan lancar, dia kemudian menyerahkannya kepada murid yang paling dipercayainya. Pekerjaan tersebut dilakukannya dengan penuh keikhlasan.

2. Sebagai Tokoh Panutan/ Pemimpin

Sebagai tokoh panutan, dia sangat dekat dengan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Inilah yang membuatnya sangat memperhatikan kehidupan masyarakatnya, baik kehidupan jasmaniah maupun kehidupan rohaniahnya. Jika dia melihat anggota masyarakatnya yang susah kehidupannya, akan dibantunya dan dianjurkan untuk mencari penghasilan yang lebih menguntungkan.

3. Sebagai Pejuang

Sebagai putra bangsa yang hidup sejak zaman penjajahan Belanda, dia telah berniat berjuang melawan melalui media agama Islam dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandiyah. Melalui tarekat tersebut, dia mengajarkan kepada murid-muridnya tentang pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan penjajahan.

Baca Juga:  Saya Ingin Mengajak Diri Saya dan Semua Orang Bisa Bahagia, Itu Saja

Pemimpin Perang Padri

Imam Bonjol adalah pahlawan nasional perintis kemerdekaan, seorang ulama, dan pemimpin Perang Padri yang menentang penjajahan Belanda di bumi Minangkabau pada abad ke-19.

Gerakan Padri muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak.

Puncaknya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815 dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.

Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.

Pada 8 Desember 1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi di kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang.

Pasukan itu kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di Padang pada Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh, sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Perang Diponegoro.

Baca Juga:  Cartenius van der Meijden, Nyonya Belanda Jago Masak Sambal Era Kolonial

Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri.

Hal ini didasari oleh keinginan kuat penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan darek (pedalaman Minangkabau).

Akhir Perjuangan

15 Agustus 1837, Bukit Tajadi akhirnya jatuh dan Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan pada 16 Agustus 1837.

Namun, Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah.

Namun, pasukannya ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Hal ini dikarenakan mereka telah bertempur melawan Belanda secara terus-menerus selama lebih dari tiga tahun.

Imam Bonjol akhirnya menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Setelah itu Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut, di Minahasa.

Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *