Sosok  

Biografi KH Muhammad Ali Syafi’i, dari Pernikahan Penuh Berkah hingga Wafatnya

(Bagian 2-habis) – Setelah 10 tahun di Jampes, pemuda Ali Syafi’i dipinang oleh Ibu Nyai Asmanah (istri KH. Abu Dzarrin) untuk dinikahkan dengan putrinya yang ke 11 yang bernama Ning Lu’lu’atul Fu’ad.

Ali Syafi’i muda menikah di usia 25 tahun dan istrinya berusia 15 tahun. Pernikahan itu berlangsung pada hari Sabtu malam Ahad, 17 Rabiuts Tsani 1390 H bertepatan dengan 20 Juni 1970 M, pada pukul 20.00 WIB, bertempat di Mushola Besar Pondok Pesantren Abu Dzarrin, Kendal. Adalah Gus Muhammad Charish Adnan bin Kiai Abu Dzarrin (dikenal dengan KH. Muhammad Charish Adnan) yang membaca ayat-ayat suci Al Qur’an. Kemudian KH. Abdul Bari (KH. Masyhur) – pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Kendal – membacakan khutbah nikah. Dan KH. Muhammad bin Syaikh Ihsan Jampes yang mengijabkan. KH. Abdul Bari dan para kiai serta hadirin lainnya sebagai saksi. Adapun  penutupan acara yang sangat sakral yang penuh keberkahan tersebut dibacakan doa penutup oleh KH. Nawawi, Balen.

Konon, adalah salah seorang famili yang berdomisili di Jatirogo – Nyai Muhsin – yang menyarankan Nyai Asmanah besanan dengan Pak Ahmad Shaleh (ayah Kiai Ali Syafi’i). Sudah menjadi tradisi orangtua zaman dulu, anak perempuan seorang kiai dijodohkan dengan lelaki yang masih ada hubungan kerabat atau santrinya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan kiai-kiai di Jawa pada umumnya.

Dari pernikahannya dengan putri Kiai Abu Dzarrin tersebut, Kiai Ali Syafi’i dikaruniai 5 (lima) putra-putri, yaitu; Gus Muhammad Jauharul Ma’arif, Gus Muhammad Jauharul Mawahib, Gus Muhammad Jauharul Manasik, Ning Mauidhoh Hasanah dan Ning Ummu Aimanah.

Mengabdi Kepada Umat

Usai menikah, Kiai Ali sempat kembali lagi ke Pondok Jampes bersama sang istri. Tepatnya pada 22 Dzulqa’dah 1391 H/ 9 Januari 1972 M. Selain karena diutus Kiai Muhammad bin Ihsan, juga karena semangatnya untuk menimba ilmu tak pernah surut. Namun di Jampes hanya beberapa tahun saja. Lalu Kiai Ali dan istri pulang, menetap di Kendal, Bojonegoro.

Selama di Kendal, selain mengurus keluarga, Kiai Ali Syafi’i juga menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Beliau mengerahkan segala kemampuannya untuk berpartisipasi mengembangkan pendidikan di Kendal.

Mulai tahun 1971 hingga 1980, Kiai Ali Syafi’i mengajar di Madrasah Al-Wasilah. Di tahun itu pula beliau bersama sederetan nama-nama kiai yang alim – KH. Ahmad Munir Adnan, KH. Muhammad Ma’mun Adnan, KH. Muhammad Charish Adnan dan Kiai Khozin – ikut mengajar di pesantren peninggalan Mbah Kiai Abu Dzarrin yang saat itu diasuh KH. Muhammad Dimyathi Adnan.

Tatkala KH. Muhammad Charish Adnan punya gagasan mendirikan pondok pesantren maka beliau pun ikut tampil dalam membidani lahirnya niatan baik itu. Sehingga pondok pesantren yang dimaksud benar-benar berdiri kokoh hingga sekarang. Bahkan Kiai Ali  diutus oleh Kiai Charish untuk mengajar dan  menjadi ketua yayasan pondok pesantren yang di kemudian hari dinamakan Adnan Al Charish.

Tak hanya itu, sebubarnya Madrasah Al-Wasilah pada tahun 1980, Kiai Ali Syafi’i pun ikut tampil bersama para tokoh dari dzurriyat Kiai Abu Dzarrin untuk mendirikan madrasah sebagai wadah pendidikan. Atas kesepakatan para kiai, madrasah tersebut dinamakan Abu Dzarrin. Dan berkat jasa mereka itulah Madrasah Abu Dzarrin eksis hingga saat ini.

Sejak tahun 1974, Kiai Ali mengabdi di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) bersama para kiai lainnya. Kepiawaiannya dalam mengorganisir wadah perjuangan berpaham Ahlussunnah Wal Jamah ini menjadikan para tokoh PCNU Bojonegoro kagum, sehingga mereka mengangkat Kiai Ali sebagai Katib Syuriah. Tak lama kemudian mengemban amanah menjadi Ketua Tanfidziyah. Dan terakhir sebagai Rais Syuriyah PCNU Bojonegoro.

Mulai tahun 1979, beliau diangkat sebagai anggota Badan Rukyah dan Hisab Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur. Olehnya setiap kali menjelang Ramadhan dan Syawal, beliau sangat sibuk mengikuti rukyah di beberapa tempat di wilayah Jawa Timur.

Tahun 1986, Kiai Ali Syafi’i didaulat menjadi dosen dan mengajar di UNSURI (Universitas Sunan Giri) yang sekarang berubah menjadi STAI Sunan Giri. Perguruan tinggi ini banyak melahirkan tokoh intelektual yang agamis di Bojonegoro dan sekitarnya. Saat ini yang menjadi rektor adalah putra pertama beliau, Kiai Muhammad Jauharul Ma’arif.

Dan sejak tahun 1992, Kiai Ali Syafi’i diminta menjadi pengasuh Pondok Pesantren Darul Ma’arif, Bojonegoro. Di pesantren ini beliau mengadakan pengajian umum yang rutin digelar setiap Ahad pagi. Yang ikut ngaji bukan saja dari kalangan santri, tapi banyak kiai dan ustadz yang ikut menimba ilmu kepadanya.

Di tengah kegiatannya yang begitu padat, Kiai Ali Syafi’i tak pernah menolak orang yang minta ngaji kepadanya. Untuk memenuhi permintaan itu, akhirnya Kiai Ali Syafi’i membuka pengajian rutin setiap hari Selasa dan Jum’at pagi di rumah beliau yang merupakan peninggalan Mbah KH. Abu Dzarrin. Untuk pengajian Selasa, mulanya beliau membaca kitab Durratun Nashihin. Sesudah khatam dilanjutkan Al Hikam. Dan di hari Jum’at, Kiai Ali Syafi’i membaca kitab fiqih, Nihayatuz Zain fi Syarh Qurratil ‘Ain.

Baca Juga:  Mbah Yai Syairozi dan Konsep Analogi Dekonstruksi (1)

Belum lagi pengajian-pegajian rutin yang beliau asuh di beberapa desa sekitar. Ada yang bersifat pekanan, bulanan dan selapanan. Di antaranya di Desa Tanjungharjo, Wedi, Padang Mentoyo, Sambiroto dan lain-lain. Bahkan tak jarang, Kiai Ali mendapat undangan untuk mengisi ceramah di acara peringatan hari besar Islam, pernikahan dan walimah lainnya.

Ibarat bunga mawar, makin hari makin mekar dan makin semerbak bau harumnya. Kian hari nama Kiai Ali Syafi’i semakin dikenal karena keluasan ilmu dan akhlaknya. Orang pada datang ke rumah maupun ke majelis-majelis beliau untuk ngaji dan ngalap berkah.

Bahkan tak sedikit dari masyarakat yang mendesak agar beliau berkenan mendirikan pesantren. Satu per satu dari mereka nekat menitipkan anaknya kepada Kiai Ali Syafi’i. Padahal beliau belum punya asrama untuk menampung santri. Dengan lapang dada beliau menerima semuanya, walaupun masih enggan membuat pondok. Beliau lebih konsen untuk berkhidmah di majelis ilmu, pesantren, madrasah dan organisasi yang sudah ada.

Atas dorongan para sesepuh dan tokoh ulama serta sebagai rasa tanggungjawab atas tersiarnya ilmu agama yang diwariskan Rasulullah SAW maka pada hari Rabu, 15 Rabiul Awal 1420 H/28 Juli 1999 M, Kiai Ali Syafi’i dan istri menggelar acara sederhana, mengundang para kiai dari Bani KH. Abu Dzarrin. Beliau meminta restu dan pendapat dari mereka perihal rencana mendirikan pondok pesantren. Alhasil, para kiai merestui dan sangat mendukung. Dan pada hari itu juga mereka semua meresmikan sebuah pondok pesantren baru yang diberi nama Abu Dzarrin Al Ridlwan.

Menghargai Nilai Waktu

Kiai Ali Syafi’i merupakan ulama yang sangat menghargai waktu. Waktunya benar-benar diisi dengan amaliah bermanfaat. Jangankan untuk yang dilarang agama, untuk hal yang sia-sia saja tak diberikan ruang waktu oleh beliau. Di saat nganggur, jika tak menulis, beliau muthalaah kitab atau minimal membaca surat kabar untuk mengetahui informasi di luar.

Tatkala dulu santri putra belum ada asrama, masih berada di ndalem depan, sering kami para santri menjumpai beliau menulis dari malam hingga dini hari. Memang Kiai Ali Syafi’i diakui sebagai kiai yang rajin menulis. Padahal saat itu belum ada yang namanya komputer atau laptop. Beliau menulis dengan mesin ketik manual. Kita yang sudah agak tua atau mungkin benar-benar tua akan mengingatnya, suaranya berisik tapi asyik dan ngangeni. Manfaatnya pun luar biasa. Dari mesin ketik manual ini orang-orang dulu banyak melahirkan karya tulis yang sangat berguna untuk kehidupan sekarang.

Kiai Ali Syafi’i dalam mengatur waktunya sangatlah tertib dan rapi. Baik di siang ataupun malam harinya. Secara umum, siang hari dimanfaatkan untuk aktifitas mengajar di lingkungan Kendal jika tak ada kewajiban di luar. Namun jika ada acara di luar Kendal, maka beliau pun tak segan-segan keluar. Misalnya untuk urusan NU, mengisi seminar, ceramah, menghadiri undangan dan walimah. Di waktu malam hari, beliau lebih fokus ngaji bersama santri-santri di pesantren. Hanya saja terkadang keluar ke desa tertentu karena harus mengisi ngaji rutinan atau menghadiri undangan dari keluarga atau warga.

Ada 2 Dalam 1 Waktu

Di antara karomah Kiai Ali Syafi’i yang tidak banyak diketahui khalayak ramai adalah dirinya ada 2 dalam 1 waktu. Kala itu, beliau disowani oleh seorang warga Desa Ngadiluhur Kecamatan Balen, Bojonegoro. Ia memohon agar Sang Kiai berkenan mengisi pengajian di desanya. Setelah berbincang-bincang, hari dan tanggalnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Waktu pun berjalan. Tibalah hari dan tanggal yang telah ditentukan. Saat akan persiapan berangkat ke Ngadiluhur, Kiai Ali Syafi’i baru teringat kalau dirinya malam itu juga punya rutinan ngaji di Desa Tanjungharjo. Waktunya sama persis dengan acara di Ngadiluhur.

Hati Kiai Ali Syafi’i sangat susah. Bagamana tidak? Kesiapannya ngaji di Ngadiluhur tentu sudah sangat ditunggu panitia dan jamaah. Kalau saja waktunya masih lama, tentu bisa dirubah. Tapi itu tak mungkin karena acara akan dimulai beberapa jam lagi.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Kiai Ali Syafi’i memutuskan untuk hadir di Tanjungharjo. Dengan alasan karena pengajian di Tanjungharjo sudah menjadi wadhifah atau rutinan. Sedangkan di Ngadiluhur dimungkinkan ada kiai atau pembicara yang akan mengisi menggantikan Kiai Ali Syafi’i.

Keesokan hari, tanpa sengaja orang Ngadiluhur bertemu dengan orang Tanjungharjo. Keduanya memang sudah saling kenal sejak lama. Alangkah kagetnya warga Tanjungharjo saat mendengar orang Ngadiluhur bercerita bahwa semalam ada pengajian di desanya, dihadiri Kiai Ali Syafi’i Kendal.

Spontan orang Tanjungharjo menyangkal, karena semalam Kiai Ali Syafi’i ngisi rutinan ngaji di desanya. Tak mungkinlah beliau ngisi ceramah di Ngadiluhur karena jelas-jelas di jam dan waktu yang sama beliau ada di Tanjungharjo. Antara kedua orang tersebut sempat terjadi otot-ototan. Saling merasa benar. Untuk membuktikan siapa yang benar, keduanya sepakat sowan langsung ke ndalem Kiai Ali Syafi’i.

Baca Juga:  Aryya Surung Seorang Pahlawan Majapahit Asal Bojonegoro?

Walhasil, saat keduanya sowan dan mengadu di hadapan Sang Kiai, mereka kaget akan jawabannya. Beliau membenarkan apa yang dikatakan kedua orang tersebut. “Apa yang sampeyan berdua katakan itu benar adanya. Dan tak perlu disebarluaskan,” dawuh Kiai Ali.

Dan beliau berpesan, agar apa yang terjadi itu tak usah diceritakan kepada siapapun. Beliau orangnya khumul. Tak ingin keistimewaannya diketahui khalayak ramai.

Wafatnya Sang Panutan Umat

Kebanyakan orang jika diuji sakit mereka banyak mengeluh dan sibuk berobat karena takut terjadi sesuatu. Lain halnya dengan Kiai Ali Syafi’i, beliau lebih banyak diam dan berusaha menutupi rasa sakitnya. Beliau tak ingin keluarganya ikut sedih karenanya.

Saat itu, menjelang hari raya Idul Adha 1420 H, Kiai Ali Syafi’i jatuh sakit. Berdasarkan penuturan dokter, beliau mengidap tipes. Hari itu pula beliau pamit kepada santri-santri. Akhlak beliau, setiap kali tak bisa mengajar, selalu memberi tahu kepada santri-santrinya. Bahkan beliau tak segan-segan minta maaf. Beliau tak pernah sembrono dalam urusan mendidik anak ataupun santri. Menurut Kiai Ali Syafi’i, santri adalah titipan dari Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.

Hari demi hari, mengingat kesehatan Kiai Ali Syafi’i yang semakin menurun, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa beliau opname di RSUD Dr. Sosodoro Bojonegoro. Beda dengan dokter yang pertama, kali ini Kiai Ali Syafi’i divonis kena penyakit prustat. Beberapa hari beliau dirawat di rumah sakit umum. Namun kesehatannya terus menurun.

Alhasil, keluarga sepakat untuk merujuk Kiai Ali Syafi’i ke Surabaya. Tepatnya ke RS. Darmo. Beliau dirawat di sana kurang lebih selama dua pekan. Dalam waktu yang cukup lama itu kesehatan Kiai Ali Syafi’i tak menjadi lebih baik. Bahkan menurut dokter, tak hanya prustat yang dideritanya, melainkan juga kangker tulang. Ada benarnya apa yang dikatakan dokter, semenjak sakit, Kiai Ali Syafi’i lebih sering minta pijat. Hampir setiap malam menjelang tidur beliau minta ada santri yang memijatnya.

Akhlak Kiai Ali Syafi’i begitu agung dan mulia. Selain sabar, beliau adalah ulama yang berjiwa besar, tak mudah mengeluh, ridho dan ikhlas akan taqdir dari Allah SWT. Selain itu, Kiai Ali Syafi’i juga tetap melakukan sholat. Tak pernah sekali pun meninggalkan sholat lima waktu. Bahkan tetap istikomah membaca dzikir sebagaimana yang dibaca ketika sehat.

Beberapa hari kemudian, melihat kondisi kesehatannya yang kian membaik, akhirnya Kiai Ali Syafi’i minta pulang. Hari itu juga, Ibu Nyai Lu’lu’atul Fu’ad, Kiai Masluhan, Kiai Nurhadi dan beberapa orang menjemput. Kami para santri pun bahagia melihat kiai tercinta sudah agak membaik kesehatannya.

Selama di rumah, walau belum sembuh total, Kiai Ali Syafi’i menyempatkan mbalah ngaji. Namun, kesehatan Kiai Rais Syuriah ini menurun lagi. Sehingga beliau pun harus opname di rumah sakit Muna Anggita, sebuah rumah sakit kepunyaan NU Bojonegoro.

Saat itu, di penghujung bulan Sya’ban, bulan Ramadhan yang dirindukan umat akan segera datang. Biasanya di saat seperti ini Kiai Ali sibuk urusan rukyat untuk penentuan awal Ramadhan. Namun kini kiai yang menjadi rujukan umat itu harus berbaring di rumah sakit.

Hari itu, matahari mulai menyingsing ke barat untuk menenggelamkan dirinya. Sabtu, 18 November 2001, hari di mana Kiai Ali Syafi’i sering tak sadarkan diri. Harapan untuk sembuh kian tipis. Dalam kondisi demikian, beliau masih sempat bertanya akan keadaan santri-santri di dalam menjalani kegiatan Ramadhan. Sungguh tak bisa membayangkan, dalam kondisi kritis beliau masih sempat menanyakan keadaan santri-santrinya.

Ahad sore menjelang maghrib, Kiai Ali Syafi’i minta dibawa pulang. Tentu beliau sangat berbahagia bisa berkumpul keluarga, sanak saudara dan para santri. Suasana di rumahnya sebagaimana biasa, selalu ada suara candaan santri dan ngaji.

Senin malam, jarum jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Detik-detik ini beliau sering menanyakan perihal waktu. Sesekali bertanya waktu, beliau langsung sholat dengan posisi berbaring di ranjang. Hal itu dilaksanakan hingga berulang kali.

Di malam yang sunyi, bilik-bilik rumah dan bunga-bunga di sekitar kelihatan tak seperti biasanya. Tampaknya mereka tahu apa yang akan terjadi esok hari. Malam itu juga, posisinya berbaring dengan kepala berada di sebelah barat. Tubuhnya miring ke kanan hingga waktu Subuh tiba. Tak lama kemudian, sang surya pun terbit dari ufuk timur dengan kecerahan sinarnya. Tampak seperti orang yang sedang tertidur. Tak tahunya kiai yang dikenal penyabar ini sedang tidak sadar diri.

Saat itu pula kabut tebal menyelimuti Bojonegoro. Gemuruh pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dan kekhusyu’an doa santri-santri membelah angkasa. Memang para santri sejak beberapa hari ini amat perihatin. Siang dan malam mereka selalu berdoa agar sang maha guru, Kiai Muhammad Ali Syafi’i sembuh sehat wal ‘afiat.

Baca Juga:  Sastra Jawa Tak Kan Mati

Hening, hening sekali. Beberapa menit kemudian bau harum semerbak menyebar ke seluruh kamar mengagetkan seisi ruangan. Pandangan mata istri dan para putra kiai tertunduk, namun semua tertuju ke wajah kiai. Dan tiba-tiba kiai yang tengah berjihad itu mendongakkan kepalanya sedikit. Bibirnya mulai mengatup, perlahan beliau menyebut asma-Nya, “Allah, Allah, Allah …”

Perlahan, kedua matanya terpejam. Dan inna lillahi wainna ilaihi raji’un, Kiai Muhammad Ali Syafi’i telah meninggalkan dunia fana dan kita semua. Tepat pukul 07.00 Wib. di hari Selasa Kliwon, 4 Ramadhan 1422 Hijriyah/ 20 November 2001 Masehi.

Isak tangis memecah keheningan, “Pak Kiai telah wafat,” ujar salah seorang santri yang mendengar tangis dari ndalem itu. Suasana berkabung pun segera menyelimuti umat Islam di Bojonegoro dan sekitarnya.

Kabarpun segera menyebar lewat radio, dari mulut ke mulut, dari telephon ke telephon. Umat berbondong-bondong melayat ke rumah duka pagi itu juga. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tak percaya kalau Kiai Ali Syafi’i telah meninggal dunia. Mereka menangis dan histeris.

Kiai Ali Syafi’i telah pergi ke hadirat Tuhannya dengan memancarkan bau harum semerbak. Kiai yang dikenal zuhud itu wafat dengan kesederhanaan. Prosesi pemakamannya pun berlangsung sangat sederhana. Hanya beberapa jam setelah wafatnya. Walaupun begitu, ribuan umat langsung menyerbu kediaman beliau, mengantarkan kepergian kiai besar itu untuk menghadap kepada Sang Maha Besar. Jenazah mulia beliau disemayamkan di cungkup sebelah selatan di pemakaman Masyayikh Kendal. Semoga Allah SWT menghujani pusaranya dengan derasnya rahmat dan kemuliaan. Amin.

Baca Bagian Pertama: Kh Muhammad Ali Syafi’i, Biografi Masa Kecil Dan Pengembaraan Ilmu

______________

Sekilas Penulis

Muhsinin dilahirkan dari pasangan Bapak Suyuthi bin Abdul Ghaib dan Ibu Damiatun binti Tro Darjan di Desa Bendo, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pada 11 November 1983.

Sejak kecil, selain mendapatkan pendidikan serta bimbingan dari kedua orangtua dan beberapa kiai di kampungnya, ia juga belajar duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri Bendo, Kapas, Bojonegoro. Lulus pada tahun 1995.

Kemudian melanjutkan ke tingkat SLTP di Madrasah Tsanawiyah Manba’ul Huda, Ngraseh, Dander, Bojonegoro. Lulus tahun 1998. Lalu, meneruskan belajar di Madrasah Aliyah (MA) Abu Darrin, Kendal/Sumbertlaseh, Dander, Bojonegoro. Lulus pada tahun 2001. Bersamaan ketika belajar di Madrasah Aliyah Abu Darrin, ia nyantri dan mondok di Pondok Pesantren Abu Dzarrin Al-Ridlwan yang juga berada di Kendal di bawah asuhan KH. Muhammad Ali Syafi’i. Tak lama, ia menangi dan belajar kepada KH. Muhammad Ali Syafi’i hanya sekitar 3 tahun saja.

Beberapa tahun setelah tamat dari Madrasah Aliyah Abu Darrin Kendal, tepatnya pada tahun 2003, ia diutus Gus Jauharul Ma’arif bin KH. Muhammad Ali Syafi’i untuk melanjutkan belajar di IAIN Walisongo (sekarang UIN Walisongo) Semarang. Mengambil jurusan pendidikan di Fakultas Tarbiyah. Lulus tahun pada tahun 2006.

Pada tahun 2009, ia diutus Ibu Nyai Hj. Lu’lu’atul Fu’ad Ali Syafi’i hijrah ke Mesuji, OKI (Ogan Komering Ilir), Sumatera Selatan untuk membantu mengembangkan dakwah Islam di sebuah pelosok Sumatera yang masih minim pendidikan agamanya.

Di Sumatera, selain aktif dalam kegiatan belajar mengajar, pada tahun 2013 bersama sahabat-sahabat seperjuangannya mendirikan sebuah majelis ta’lim yang diberi nama ‘Anwarul Habib’ yang kini diasuh oleh seorang alim alumnus Rubath Tarim (Hadramaut, Yaman Selatan) yaitu Al Habib Ahmad bin Alwi Al Kaf dari Palembang.

Dari pernikahan yang dijalin dengan seorang wanita shalihah asal Blora, Jawa Tengah bernama Ana Siti Lisminto Rukmini pada tahun 2004, kini ia dikaruniai tiga orang anak, Ubaidullah Kafabihi (lahir tahun 2006), Laa Tahzan Innallaha Ma’anaa (lahir tahun 2012) dan Muhammad Hasanun Naqib (lahir tahun 2017). Semoga ketiganya menjadi anak shalih, yang taat kepada Allah SWT, bisa menyenangkan hati Rasulullah SAW, dan berbakti kepada kedua orangtua serta bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

Santri yang hobi melakukan perjalanan ruhani ini kini sedang mempersiapkan beberapa tulisan untuk diterbitkan. Mohon doanya, semoga senantiasa diberikan kemudahan dan tulisan-tulisannya selalu memberikan manfaat kepada khalayak masyarakat luas. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *