“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”
– Tan Malaka –
(di hadapan Polisi Inggris Murphy di Hongkong, 1923)
Tan Malaka adalah sosok laki laki kontroversial dan progresif kelahiran Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897. Ia lahir dengan nama Sutan Ibrahim dan kemudian mendapatkan gelar Datoek Tan Malaka. Gelar itu menunjukkan jika dirinya merupakan orang istimewa.
Ia adalah Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur. Tan menamatkan sekolahnya di Kweekschool Bukit Tinggi saat usianya 16 tahun pada tahun 1913. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Saat mengenyam pendidikan di Belanda, Tan mulai banyak membaca buku-buku dan pada akhirnya ia kepincut dengan sebuah buku berjudul de Fransche Revolutie. Sejak itu, ia akhirnya mulai muak dan menyadari akan liciknya para penjajah yang sudah menjarah tanah airnya.
Setelah Revolusi Rusia, pada Oktober 1917, ia mulai tertarik untuk mempelajari tentang Sosialisme dan Komunisme. Ia pun semakin memperdalam ilmunya tentang kedua hal tersebut. Tan mulai sering membaca buku-buku, karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin yang banyak membahas tentang Sosialis dan Komunisme.
Setelah lulus dari Rijks Kweekschool pada 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan mengajar di sebuah perkebunan di Deli. Dari sinilah Tan semakin dalam melihat dan mengamati ketimpangan sosial di lingkungan sekitar, lalu muncullah sifat radikal Tan Malaka. Tan menjadi sangat bersemangat dan mengaplikasikan semua pengetahuan dan pengalamannya yang ia dapatkan selama di Belanda.
Sosok Progresif dan Misterius
Tan dikenal sebagai tokoh pergerakan dengan ideologi kiri. Aksi pertamanya adalah keterlibatannya saat aksi pemogokan buruh di Sumatra. Tan merupakan sosok yang memiliki sifat sosialis dan politis. Pada tahun 1921 dia pergi ke Semarang untuk mulai menerjuni dunia politik. Kiprahnya dalam dunia politik sangat mengesankan. Hal ini didukung dengan pemikirannya yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ia pun diangkat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, dan akibat aktivits politiknya itulah akhirnya ia diasingkan oleh pemerintah Hinda Belanda.
Berbagai halangan dan rintangan telah dilalui Tan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari penangkapan dan pembuangan di Kupang dan pengusiran berkali-kali.
Seorang Indonesianis bernama Hary A. Poze menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk mencari tahu secara detail tentang sosok Tan. Tan sendiri selama hidupnya selalu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan juga mempunyai banyak nama samaran. Diketahui jika Tan memiliki sekitar 23 nama samaran.
Karya-karya Tan Malaka
Tan Malaka disebut juga sebagai tokoh pergerakan yang idealis, baik ucapan maupun sikapnya semasa hidup. Selain aktif memimpin berbagai gerakan buruh dan massa, Tan juga sangat aktif menulis. Karyanya cukup banyak. Tan memiliki jalan pemikiran sendiri untuk memerdekakan Indonesia bahkan sebelum para founding fathers mengemukakan konsep-konsep tentang kemerdekaan.
Pada 1924, Tan menulis sebuah konsepsi mengenai kemerdekaan Negara Indonesia dalam sebuah buku yang berjudul Naar De Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Salah satu buku karya Tan yang disebut-sebut sebagai masterpice-nya adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)
Madilog ditulis oleh Tan Malaka di Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Pantjoran, Batavia. Tan tinggal di sana antara tahun 1942 dan 1943 sebagai penjahit, sambil memeriksa kondisi kota dan kampung-kampung di Batavia. Dia menghabiskan 720 jam menulis Madilog, lebih dari 8 bulan dari Juli 1942 hingga Maret 1943. Ia menghabiskan sekitar 3 jam sehari untuk buku itu. Publikasi harus ditunda karena kekurangan uang dan berada di bawah pengawasan ketat Keibodan Jepang selama Perang Dunia II, dari tahun 1942 hingga 1945.
Saat menulis Madilog, Tan menjabat sebagai Ketua Badan Pembantoe Pembelaan (BPP) dan sebagai Kepala Badan Pembantoe Pradjoerit Pekerdja (BP3), untuk membantu pekerja paksa (Romusha). Dia akhirnya terpilih sebagai wakil untuk Banten ke Congres Angkatan Moeda (Belanda: Congres van de Jonge Generatie), tetapi pelantikannya dibatalkan. Di Banten, ia bertemu dengan beberapa aktivis pemuda nasionalis Indonesia seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, yang dikenal sebagai anggota Persatuan Perdjuangan di Surakarta pada tahun 1948.
Buku Madilog pertama kali diterbitkan sendiri pada tahun 1943, saat itu Tan Malaka menggunakan nama pena Iljas Hussein. Buku ini cukup tebal, tak kurang dari 568 halaman.
Pada era pasca kemerdekaan, Madilog diterbitkan oleh Penerbit Widjaya, yakni pada tahun 1951, di Jakarta. Madilog diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Ted Sprague dan diterbitkan pada tahun 1962 di Den Haag.
Dalam buku Madilog itu, ada sebuah kalimat yang kiranya menunjukkan jika Tan adalah sosok yang juga begitu cinta dan sangat peduli terhadap buku. “Jika perlu dan memang perlu, makan dan pakaian harus dikurangi demi literasi”.
Selain itu, ia juga menulis Dari Penjara ke Penjara, Gerpolek, Aksi Massa, dan beberapa esai.
Tan Malaka terbunuh di Kediri Jawa Timur pada tanggal 19 Februari 1949. Sebagian besar hidupnya dalam pengusiran dan pembuangan di luar Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan Tan Malaka sebagai pahlawan Nasional melalui Ketetapan Presiden RI no. 53 tanggal 23 Maret 1963.