BMI singkatan dari Buku Minggu Ini. Ya, BMI adalah suguhan Gang Kecil untuk memberi alternatif buku bacaan. Karena terkadang kita berada di saat di mana kita kebingungan harus membaca buku apa. Nah, BMI hadir menghampiri Anda dan menawarkan buku apa yang perlu dibaca. Jika buku yang ditawarkan ternyata tak menarik, ya lewati saja. Karena kami bukan guru, melainkan sekadar berbagi. Bikin santai saja. Stel kendho.
***
Jika sastra dipercaya sebagai potret sebuah masyarakat, maka novel Rima Rima Tiga Jiwa (RRTJ) adalah representasi dari masyarakat. Minimal masyarakat prostitusi. Novel ini mencoba menunjukkan wajah dunia prostitusi hingga bagian paling dalam. Hitam putih kehidupan pelacur ditulis dengan amat detail menggunakan bahasa yang mudah dipahami seperti bahasa jurnalistik.
Rima, tokoh utama adalah novel ini adalah sosok dengan aneka identitas yang melekat pada dirinya. Ia pelacur yang tiap malam melayani tamu dengan aneka sikap dan perilaku. Tapi Rima tetaplah perempuan. Ia punya tiga orang anak yang masih kecil. Selain pelacur yang “baik”, ia ternyata juga ibu yang baik. Rima rela menderita menjadi pelacur demi ibunya yang sudah renta dan tiga anaknya bisa hidup layak. Anak dan ibunya tak pernah tahu apa yang dikerjakannya di luar, bahkan sampai Rima sudah tua dan memutuskan tidak lagi jadi pelacur.
Rima bertemu dengan Susanto yang kemudian menjadi “suami” nya. Menggantikan suaminya yang entah kemana. Susanto adalah seorang penulis dan hidup hanya dari menulis. Ia membaca buku-buku filsafat dan bercita-cita mengubah dunia yang penuh dengan penindasan ini. Ia muak dengan penulis sok moralis, juga ingin muntah melihat pejabat-pejabat yang korup. Perjuangannya begitu kuat untuk bisa menjadi seorang penulis. Bahkan, untuk tujuan mulia itu ia rela menjadi pelacur.
Kisah menjadi makin kompleks karena di balik sosoknya yang pendiam, Susanto hidup bersama seorang waria bernama Silvy. Bahkan, ia sempat menjadi pelacur jalanan untuk melayani laki-laki homo ketika beberapa hari tak makan saat menjadi gelandangan. Menjadi pelacur bagi laki-laki homo, tak membuatnya berhenti bermimpi jadi penulis. Bahkan melacur itulah ia bisa membeli laptop dan mulai menulis di koran nasional.
Lalu siapa Silvy? Dia ternyata juga waria pelacur yang bertahan hidup dengan cara memuaskan laki-laki kelas bawah yang tak kuat membeli pelacur perempuan. Dari hasil melacur itulah, ia dan Susanto (sebelum bersama Rima) membangun perpustakaan di rumah kontrakannya yang mereka namai “Kuil Dunia Baru” . Keduanya betah berlama-lama membaca buku sastra dan filsafat di kuil ini.
Hampir keseluruhan isi novel adalah kisah tiga tokoh tersebut (Rima, Silvy dan Susanto). Semua tokoh menceritakan dirinya sendiri dalam bab-bab yang sengaja ditata melompat lompat. Di bagian awal Silvy mengisahkan dirinya, lalu bagian lain Susanto giliran menceritakan dirinya. Sedang Rima memiliki porsi lebih banyak dalam berkisah. Uniknya, tiga tokoh tersebut berkisah lewat buku harian “Merah Hati” yang ditulis oleh Silvi. Jadi seolah-olah Silvy lah yang sebenarnya menulis RRJT.
Dan inilah yang menarik. Bentuk penceritaan yang demikian, membuat gambaran tokoh-tokohnya lebih terasa nyata. Karena setiap tokoh menceritakan dirinya langsung kepada pembaca. Apalagi, gaya tulisannya adalah realis dengan menampilkan psikologi tokoh dan lingkungan apa adanya dan dengan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami.
Novel ini hendak menunjukkan sisi lain tentang para pelacur. Karena bagaimanapun mereka tetaplah manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan. Dunia pelacur tidak bisa dinilai hanya pada nilai-nilai moral yang seringkali ambigu. Melalui tokoh Susanto hal ini diungkapkan dalam bentuk tulisan artikel berjudul “Aku Memimpikan Perubahan”. (Hal: 128-133).
Latar kisah kaum pinggiran yang dipilih penulis dalam RRTJ ini, meski tak bisa mewakili, namun tetap saja menjadi corong suara-suara orang pinggiran yang tersisih secara ekonomi, secara sosial, dan juga secara moral. Mereka adalah orang-orang miskin yang dicap tak bermoral. Sebuah label yang bagi mereka sudah tak penting lagi.
Tokoh-tokoh RRTJ sengaja hendak menjungkirbalikkan anggapan umum yang mengatakan bahwa identitas itu selalu tunggal. Seseorang akan dilabeli identitas sesuai dengan apa yang dikenalnya. Ketika ia pelacur, maka ia adalah dianggap orang bejat. Ketika ia dikenal sebagai pejabat, maka ia dianggap seorang priyayi yang harus dihormati. Inilah yang disebut Amartya Sen sebagai ilusi identitas. Bagi Sen, memandang manusia dengan identitas tunggal hanya akan melahirkan kekerasan.
Hidup manusia adalah bentukan dari irisan-irisan identitas yang melekat pada diri seseorang. Ketika kita memahami seseorang dari satu identitasnya saja, maka sebenarnya kita telah menutup mata kita akan identitas-identitas lainnya. Pandangan sempit itu sebenarnya tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Dan Akasa Dwipa lewat novelnya ini mencoba hendak mengubah pandangan sempit tersebut.
Penulis juga begitu lihai mengaduk emosi pembaca dengan mengangkat tinggi derajat si tokoh, namun di lain waktu menurunkannya pada dasar paling bawah. Sebagaimana dapat dilihat di akhir novel ini yang begitu memukau. Pada bagian akhir, seakan-akan novel akan happy ending. Yakni ketika Silvy sudah sukses dengan salonnya, Rima sudah keluar dari dunia pelacuran dan hidup sederhana jualan gorengan. Sedang Susanto sendiri serius menjadi seorang penulis, menjadi sastrawan.
Namun kejutan muncul ketika tiba-tiba Elin datang. Perempuan ini adalah tokoh baru, namun punya keterkaitan dengan hidup Susanto di masa lalu. Elin punya anak hasil hubungannya dengan Susanto. Dalam surat elektronik yang ditujukan kepada Susanto, Elin memaki-maki Susanto yang sudah dikenal sebagai penulis berbakat itu. Susanto amat terguncang dengan email tersebut.
“Sekarang, pahamkah kau tuan sastrawan yang dungu dan bebal? ………Aku merasa kotor dan memanggul aib setelah mengetahui laki-laki yang pernah meniduriku adalah seorang homo!” (hal:243). Susanto pun bingung bagaimana dia menanggapi surat Elin. Dan bagaima kelanjutan hidup para tokoh di novel ini? Kita tunggu saja novel lanjutannya.
Judul : Rima Rima Tiga Jiwa (Sebuah Novel), Penulis : Akasa Dwipa, Penerbit : Literasi Press, Cetakan : 1, Maret 2016, Tebal : 255 Halaman, ISBN :978-602-72918-2-9