BUKU  

BMI: Sekembalinya Rindu Pada Sang Empu

BMI singkatan dari Buku Minggu Ini. Ya, BMI adalah suguhan Gang Kecil untuk memberi alternatif buku bacaan. Karena terkadang kita berada di saat di mana kita kebingungan harus membaca buku apa. Nah, BMI hadir menghampiri Anda dan menawarkan buku apa yang perlu dibaca. Jika buku yang ditawarkan ternyata tak menarik, ya lewati saja. Karena kami bukan guru, melainkan sekadar berbagi. Bikin santai saja. Stel kendho.

***

ADA kepercayaan konyol di kalangan penyair bahwa kematian puisi terjadi ketika buku puisi diterbitkan. Sebabnya tentu saja karena buku puisi tak dilirik pembaca sehingga tidak dibeli. Dari sekian jenis karya sastra, puisi paling minim diminati masyarakat kita ketimbang yang lainnya seperti kumpulan cerpen dan novel. Ujung-ujungnya buku puisi hanya dibagikan secara gratis kepada sanak saudara, tetangga dan teman sendiri. Namun kepercayaan itu tak sepenuhnya lucu. Sebab hingga saat ini puisi masih ditulis dan para penyairnya masih bisa nongkrong di kafe. Para penyair itu bisa melahirkan banyak sekali puisi sambil membahas isu politik paling panas ditemani bercangkir-cangkir kopi. Mereka menebarkan aura positif bahwa kepercayaan itu hanyalah mitos bin mitos.

Baca Juga:  Sosok Jaka Samudra Atau Raden Paku Atau Sunan Giri, Kisah Bayi yang Dibuang di Laut

Buku ini merupakan kumpulan puisi para pegiat literasi paling progresif di Bojonegoro. Namanya komunitas Bojaksara. Anda bisa menyapa mereka setiap hari Minggu pagi di salah satu sudut alun-alun kota di momen car free day. Mereka nampak paling lucu di antara seabrek orang yang ke alun-alun untuk membentuk betis indah, membakar lemak, cari serabi ketan maupun sekadar cuci mata. Mereka membuka lapak buku-buku yang bisa dibaca secara gratis dan menyenangkan oleh siapapun. Di sana ada Oky, Chus, Annisa, Maryam Nuha, Xia Fuliang, Ferly, Fery, Black, Mangsi, dan yang lainnya. Mereka bisa Anda sapa dan ajak berbincang tentang apa saja baik penting maupun tidak penting perihal problem kehidupan di dunia maupun akhirat. Ratusan judul buku telah mereka baca sehingga bukan mustahil banyak pencerahan yang telah mereka raih dan siap untuk dibagikan.

Baca Juga:  Sejarah Dunia Maya, Dunia Baru yang Nggak Baru-baru Amat

Nah, buku ini adalah karya bersama (antologi) pertama mereka. Sebagai karya pertama tentu saja sangat istimewa sehingga Anda pantas merasa beruntung bila buku ini telah berada di genggaman Anda, apalagi sedia membaca dan mengapresiasinya. Tidak sulit kok membaca puisi. Orang sering pusing membaca puisi karena mempertanyakan maknanya. Membaca puisi tapi tidak paham itu lho tidak dosa. Sebab wajar saja karena bahasa puisi, seperti yang dikatakan oleh Yonathan Rahardjo, adalah bahasa langit. Maksudnya, bahasa puisi adalah yang tidak dipakai dalam keseharian.

Misalnya, dalam keseharian rindu adalah merek sebuah roti, namun dalam puisi bisa lebih luas dan komplek lagi maknanya. Kami (nunbuku) merasa bangga bisa turut serta dalam proyek penerbitan ini. Ini termasuk bagian dari perjuangan membuktikan bahwa Bojonegoro bukan hanya lumbung minyak, kayu jati dan sumber makanan. Bojonegoro juga kaya dengan buku dan para penulis. Kami memang tidak mengatakan buku ini adalah kumpulan puisi yang sudah sempurna atau bahkan nomor wahid. Tapi kami perlu yakinkan kepada para pembaca bahwa puisi-puisi ini telah melalui tahap kurasi yang cukup serius. Puisi-puisi telah diperbincangkan dalam sebuah sidang yang disaksikan oleh cangkir-cangkir kopi dan tentu saja para malaikat Tuhan mengamini. Pokoknya, buku ini mustahak untuk terbit dan Anda baca. Begitu.

Baca Juga:  Buku Kisah Tentang Tembakau, Kumpulan Tulisan Jurnalisme Sastrawi

Buku ini merupakan buku pertama karya pegiat Komunitas Bojaksara. Diterbitkan pertama pada September 2017 oleh Nunbuku.

Selamat membaca!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *