Story  

Butuh Pendingin di Grup WA Bersuhu Panas

Di antara fitur smartphone berbasis Android yang saya sukai adalah bisa diinstali aplikasi apa saja, bebas, tidak seperti OS nya “apel krowak” yang tidak sembarang aplikasi bisa diinstall ke smartphone tersebut. Plus-minus di antara dua jenis OS di atas bisa anda pelajari di mbah google.

Aplikasi yang wajib saya install adalah whatsApp kloningan, dalam satu smartphone saya bisa install dua whatsApp dengan akun yang berbeda, warna yang berbeda dan fitur-fitur yang pas dengan kebutuhan saya.

Aplikasi WA dengan akun berbeda ini saya gunakan untuk gabung di beberapa grup yang memang berbeda aromanya, WA Group (WAG) yang beraroma islami, literasi, alumni, karir, dan lain sebagaianya saya bedakan tempatnya total WAG yang saya ikuti dengan dua nomor yang berbeda tadi sekitar 30 WAG.

Baca Juga:  Pendapat Ngawurku Mengenai Ayam Goreng Mana yang Paling Enak antara McD, KFC atau A&W

Ada hal menarik di antara WAG yang saya ikuti. Ada seorang kyai pengasuh pesantren yang sering menjadi “silent reader” dan sangat jarang ikut nimbrung membahas apapun yang ada di WAG tersebut, hanya beberapa kali muncul dalam satu bulan, padahal chatt harian tersebut terkadang sampai ratusan. Hampir setiap beliau muncul selalu membawa satu pesan yakni “apik kabeh”.

Pesan “apik kabeh” dari beliau inilah yang saya sebut unik dan menarik. Kenapa? Karena “apik kabeh” (menurut saya) adalah sebuah apresiasi pembaca terhadap penulis pesan/orang yang nge-share apapun dalam WAG tersebut. Apresiasi ini tentu lahir dari rahim husnudz dzon (prasangka baik) pembaca terhadap postingan meskipun itu sesuatu yang tidak ada manfaatnya (menurut sebagian orang) atau hoax sekalipun. Terhadap sesuatu yang beraroma hoax, orang seperti beliau ini beranggapan; maklumlah, mungkin dia tidak tahu jika hal itu adalah hoax, dan dengan menyebarkan di WAG ia berarti melakukan klarifikasi dan akan direspon oleh member lain.

Baca Juga:  Media Sosial dan Konsep Curhat di Zaman Nabi

Keunikan kedua, komentar “apik kabeh” di WAG seringkali menjadi ‘mesin pendingin’ saat perdebatan mulai memanas. Kyai yang saya ceritakan di atas sebenarnya sangat mampu untuk ikut komentar dalam perdebatan yang sedang berlangsung, karena selain doktor, beliau juga seorang yang hafal quran, pakar linguistik dan tafsir, tapi beliau memilih menjadi silent reader dan sesekali datang mendinginkan suasana dengan komentar “apik kabeh”

Ketiga, ini yang ingin saya ikuti, komentar “apik kabeh” terkesan santai dalam menghadapi hiruk pikuk perdebatan di beberapa WAG. WhatsApp Group adalah forum silatirrahim antar member yang mungkin tidak (belum) kenal satu sama lain,  tampil santai, tidak muluk-muluk dan tidak selalu komentar terhadap setiap hal adalah langkah yang tidak ‘enteng’ bagi sebagian orang. Santai, serius, peduli, toleran, dan sifat posotif lain di dunia maya itu baik, tapi lebih baik jika dalam dunia nyata juga demikian.

Baca Juga:  Jomblo dan Sifat Tuhan

Apik kabeh!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *