Bondan Winarno meninggal dunia pada Rabu (29/11) pukul 09.05 pagi di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Bondan tutup usia pada usia 67 tahun. Sebelum dikenal sebagai presenter kuliner, Bondan mengawali kariernya sebagai seorang penulis dan wartawan Indonesia. Sebagai sebuah penghormatan kepada Bondan, berikut kami hadirkan satu cerita pendek (cerpen) karya Bondan Winarno berjudul Cafe Opera. Cerpen ini menjadi judul buku kumpulan cerpen yang diterbitkan Grafiti tahun 1986.
Berikut ini cerpen Cafe Opera yang dikutip dari laman id.klipingsastra.com. Silahkan membaca karya penulis kawakan Bondan Winarno yang kini lebih dikenal dengan “Maknyus” nya.
_________________________________
Serius. Aku tengah menanti Bjorn Borg. Seorang temanku berkata bahwa ia telah beberapa kali melihat Bjorn Borg di sini, di Café Opera sini. Menurutnya, Bjorn suka datang membawa pacar barunya yang cantik—Janicke Bjorling.
“Matanya selangit,” kata Svend, temanku itu. “Begitu biru, begitu bening. Seperti sumur yang anteng yang membuat semua pria ingin mencebur ke dalamnya.”
Berkata begitu, tampak jakun Svend turun naik. Ah, Svend pun jadi kasmaran. Sayang, Janicke punya Bjorn. Dan Svend tak punya apa-apa. Svend tak punya siapa-siapa.
Kupilih tempat duduk dari mana aku dapat mengawasi setiap orang yang masuk dari pintu. Orang-orang pilihan Stockholm selalu memilih tempat ini untuk menghabiskan malam mereka. Mataku terpaku ke pintu itu. Aku tak ingin kehilangan kesempatan bertemu dengan Bjorn. Kuraba kamera kecil dalam sakuku. Masih di sana. Sebuah Minox yang lebih kecil daripada sekotak sigaret. Pak Adam yang pernah menyarankanku membeli kamera kecil itu. Agar tidak ke mana-mana membawa kamera besar seperti Pak Budiardjo.
“Kau dibohongi Svend,” kata Anne-Sofie. “Aku sering ke sini tak pernah bertemu Bjorn.” Kupandangi dia. Matanya juga biru. Sebelum kulihat sendiri mata biru Janicke, mata biru Anne-Sofie lebih indah bagiku. Birunya tidak jernih dan tidak anteng seperti sumur. Tetapi pijar dan berkilat, karena ada nyala di sana. Nyala yang bahkan tidak redup ketika kelopaknya terkatup. Nyala yang tembus.
“Kau sudah mengantuk?” tanyaku pelan. Anne-Sofie memandangiku. Dalam mengantuk pun biru matanya tetap pijar.
“Aku lelah dan bosan menunggu terus,” keluhnya lirih.
Kuelus punggung tangannya.
“Kalau bukan karena hati angsa yang lezat itu, tentu sudah kutinggal kau pergi,” katanya mencibir.
“Mau kubelikan seporsi lagi?”
Ia tersenyum malas. Lalu menggeleng.
“Anggur putihnya lagi?” Anne-Sofie menggeleng.
“Ayolah, aku ingin berbuat sesuatu agar kau tidak terlalu merasa bosan.”
“Ajak aku dansa!”
Aku berdiri. Kujemba tangannya dan menggandengnya ke lantai dansa. Ada Paul McCartney dan Stevie Wonder di pengeras suara. Keras-keras menggemakan “Ivory and Ebony”. Rambutnya harum. Dan dadanya terasa hangat memenuhi seluas dadaku. Kaki-kakiku serasa melayang saja di atas lantai. Sebuah dansa yang tidak sungguh-sungguh kunikmati. Mataku tetap terpaku ke ambang pintu. Tiap kulihat laki-laki jangkung berambut panjang, aku terkesiap. Tetapi Bjorn Borg belum juga muncul.
“Aku tak suka kauperlakukan begitu,” kata Anne-Sofie di dekat telingaku.
“Kuperlakukan bagaimana maksudmu?” tanyaku.
“Kau berdansa denganku, memelukku rapat-rapat, tetapi matamu terus memandang pintu. Pasti hatimu tidak di sini. Di meja makan pun kau berbicara kepadaku tanpa matamu memandang ke mataku. Itu membuatmu begitu berjarak dariku.”
Kuelus punggungnya lembut-lembut. “Maafkan aku, Anne-Sofie. Sudah kubilang, aku memang ke sini untuk menunggu Bjorn Borg.”
Pukul satu, lewat tengah malam, Anne-Sofie minta kuantar pulang. Tentu saja aku tak dapat melakukannya. Café Opera masih buka dua jam lagi, dan selama itu mungkin saja Bjorn Borg datang. Dengan atau tanpa Janicke. Kuantar Anne-Sofie ke tempat taksi-taksi menunggu di depan gereja tua setelah Café Opera. Ia mencoba menyembunyikan kekesalannya padaku. Ia juga mencoba memahami mengapa aku tak dapat mengantarnya sampai ke rumah.
“Mudah-mudahan Bjorn masih akan datang,” katanya tanpa terdengar sinis.
Aku mengangguk. Lalu kukecup sisi bibirnya.
Aku tertegak menanti sampai taksi itu membelok ke Stromgatan. Langit cerah. Dan Stockholm telah beku dipeluk dingin akhir musim gugur. Kusepak beberapa daun yang telah mengeras, yang berserakan di atas pelataran batu. Lalu aku melangkah masuk kembali ke Café Opera. Hangat di dalam. Semakin banyak orang berkerumun di depan dua meja bar yang panjang. Kuperhatikan mereka satu per satu, kalau-kalau Bjorn masuk ketika aku keluar tadi.
Kupesan segelas anggur putih dan membawanya ke tempat kami tadi duduk. Tetapi sudah ada orang lain menduduki tempat itu. Aku kembali membawa gelas anggurku ke depan meja bar. Dan di ambang pintu itu kini makin banyak punggung yang kulihat. Sampai kemudian jam berdentang tiga kali. Dan Café Opera dinyatakan tutup.
Kuambil mantelku dan mengenakannya sambil berjalan. Jalanan tampak berkilat-kilat karena lampu-lampu yang dipantulkan aspal basah. Di sebelah Riksdag aku berhenti mengamati orang-orang yang sedang memancing ikan. Hidungku menaik ketika tercium bau kopi yang harum dari termos yang baru dibuka oleh seorang pemancing di dekatku.
Bjorn Borg tidak datang, dengusku sambil meneruskan langkah. Dan napasku keluar bagai kabut. Memutih dalam malam kelam. Tetapi besok Bjorn pasti akan datang. Kuseberangi jembatan menuju Gamla Stan. Lalu membelok ke kanan, ke sebuah gang yang redup. Penjaga hotel terbangun ketika aku membuka pintu. Kunci kamarku sudah ditaruh di meja depannya.
“Baru saja ada yang meneleponmu,” katanya sambil menunjukkan catatan nomor telepon pada secarik kertas yang ditaruh di bawah kunci kamarku.
“Oke, akan kutelepon dia segera,” kataku sambil mengucapkan selamat malam dan mendaki tangga ke kamarku.
Di depan telepon, di dalam kamarku, aku tertegak. Haruskah kutelepon dia? Kutengok arlojiku. Setengah empat pagi sudah, tetapi kuputar juga nomornya.
“Kau belum tidur?” tanyaku.
“Datangkah Si Bjorn?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Besok akan kutunggu lagi di sana,” kataku untuk menyembunyikan kekalahanku.
“Bukan besok, Bung, nanti malam. Ini sudah pagi hari yang baru.”
Aku menghela napas lagi.
“Boleh aku ikut?”
Aku menghela napas lagi.
“Akan kubayar sendiri makanan dan minumanku.”
“Bukan karena itu, Anne-Sofie,” tukasku, “Aku khawatir membuatmu lelah dan bosan.”
“Tidak, asal kau lebih sering memandang ke arahku,” suaranya meminta.
“Oke, kutelepon kau nanti malam,” janjiku.
“Jangan lupa wawancaramu pukul sepuluh pagi di Racksta. Kau bisa bangun sendiri?”
Aku tergelak. “Masih ada waktu lima jam untuk tidur.”
“Sleep tight,” katanya di seberang.
“Sleep tight.”
***
TADINYA kupikir ada apa-apa antara Svend dan Anne-Sofie. Svend ganteng. Anne-Sofie cantik. Mereka berdua bekerja pada biro wartawan asing. Sven yang membuat jadwal untuk wawancara-wawancaraku selama seminggu di Swedia. Anne-Sofie meneleponi semua orang yang hendak kuwawancarai. Pada hari kedua ia meneleponku untuk memberitahukan penundaan satu jam atas wawancara di Svebio.
“Itu berarti ada kesempatan dua jam untuk makan siang. Tumben,” kataku lega. Jadwal yang dibuat Svend memang pelit, tidak memberiku cukup waktu untuk makan siang.
“Dan itu berarti kau punya alasan untuk mengajakku makan siang,” katanya.
“Tunggu dulu, aku belum mengajakmu.”
“Ajaklah sekarang!”
“Oke, pukul dua belas seperempat. Restoran Cian di sebelah Sverige Husset.”
Dengan demikian telah kucoret kehadiran Svend yang semula selalu kuperhitungkan di sebelah Anne-Sofie.
Aku terlambat lima menit karena salah turun di setasiun bawah tanah Kungstadgarden. Terlambat adalah dosa besar menurut ukuran Swedia. Apa pun alasannya. Kupegang tangannya ke dalam kedua tanganku dan kuletakkan ke dadaku. Ia tampak senang melihat caraku meminta maaf.
Di atas rebung asam manis dan bola daging cincang, ia juga mengatakan bahwa caraku memandang dengan mataku yang hitam terasa seperti mengelusi seluruh tubuhnya. Begitu nyata dan tegas, katanya. Aku tertawa. Ia tersinggung karena menganggapku tidak serius. Padahal aku tertawa untuk menyembunyikan kegugupanku. Ia menyukai mataku yang hitam. Sedangkan aku pun menyukai matanya yang biru.
Lalu kami berjanji lagi untuk bertemu di Café Opera tadi malam itu. Tetapi aku lebih sibuk menunggu Bjorn Borg. Dan Anne-Sofie menjadi bosan menunggu.
***
SEMANGATKU masih tinggi ketika aku datang lagi menunggu Bjorn Borg di Café Opera. Kamera Minox-ku selalu siaga di dalam saku jasku.
“Pandangi saja aku,” kata Anne-Sofie. Tangannya dalam tanganku. “Kalau Bjorn Borg datang pasti kita akan segera mengetahuinya. Ia begitu terkenal. Dan tentu banyak orang yang ingin bersalaman dengannya.”
Aku yakin akan hal itu. Dan kami mempunyai kesempatan untuk saling memandang.
Lewat tengah malam ia mengajak pulang.
“Svend bilang bahwa Bjorn tak akan datang lewat tengah malam,” katanya.
Aku tahu ia berbohong dengan meminjam nama Svend. “Lagi pula kau harus bangun pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta api ke Goteborg.”
Aku bangkit dan menggandengnya keluar. Kami berjalan menapaki lebuh jalanan yang lengang. Dinginnya malam membuat kami saling memeluk lebih rapat. Dan demi kepergianku pagi nanti ke Goteborg, Anne-Sofie tidak mengajakku singgah. Ia tidak ingin tidurku kurang dari empat jam sebelum berangkat lagi ke stasiun.
Subuh-subuh telepon Anne-Sofie yang membangunkanku. Aku mencuci mukaku, berpakaian, lalu bergegas pergi ke stasiun. Setelah sarapan di kereta api, aku tertidur lagi. Perjalanan Stockholm-Goteborg kutempuh dalam tidur lelap.
Pulang dari Goteborg, aku langsung ke Café Opera. Menunggu Bjorn Borg. Tetapi yang datang malah Anne-Sofie. Ia tampak mengkhawatirkan sesuatu.
“Kutelepon kau di hotel dan aku diberi tahu bahwa kau belum kembali. Lalu kutelepon ke stasiun kalau ada apa-apa dengan perjalanan kereta api. Soalnya salju mulai turun di utara,” katanya dalam satu napas.
Pipinya dingin dan pucat. Pasti di luar suhu makin menurun. Kuelus pipinya dengan tanganku yang hangat.
“Kupikir kau dibohongi Svend,” katanya pelan, sambil memejamkan matanya dalam elusanku.
“Tidak,” kataku menggeleng. “Tadi kutanyakan kepada bartender itu dan katanya memang Bjorn datang ke sini sesekali.
“Tetapi belum tentu ia datang selama kau di sini.”
“Tergantung nasibku, Anne-Sofie.”
Ia tidak lama duduk menemaniku. Setelah habis segelas anggurnya, ia memintaku mengantarkannya ke luar mencari taksi. Lalu aku kembali menunggu Bjorn yang tak juga muncul.
Malamku yang terakhir di Stockholm belum membuatku menyerah. Lagi pula Café Opera bukan tempat yang terlalu buruk untuk membunuh waktu. Kuraba kamera Minox-ku dan kemudian aku duduk di kursi tinggi di depan bar. Dari situ dapat kuawasi pintu masuk.
Pukul sebelas harapanku sudah putus. Bartender yang kemarin kutanyai soal Bjorn Borg menunjukkan surat kabar terbitan pagi. Bjorn sedang berada di Inggris. Bah, itulah sebabnya ia tak muncul di Café Opera.
Kuhabiskan minumanku, lalu kujemput mantelku. Dari puncak gereja tua itu tampak beberapa bintang berkelip. Asap mengepul dari tiap dengusan napasku, memutih dalam malam kelam. Kuseberangi jalan di sebelah gereja. Angin Laut Baltik menerpaku. Dingin. Dan tiba-tiba, untuk pertama kalinya, kurasakan begitu sendirinya aku. Di depan telepon umum aku meragu sejenak. Perlukah kutelepon Anne-Sofie? Tidak. Aku malah memutuskan untuk pergi ke apartemennya.
Aku bersiul mengusir sepi. Dari jauh sudah kutampak tirai jendela apartemen Anne-Sofie belum diturunkan. Lampunya pun belum dipadamkan, sekalipun redup. Siulku makin keras. Aku mulai merangkai kata-kata yang kuucapkan. Empat hari aku menunggu Bjorn Borg sia-sia. Dan empat hari aku menyia-nyiakan kebaikanmu. Maafkan aku, dapatkah kutebus kesia-siaanku itu? Hm, cukup baik kalimatnya. Aku melangkah lagi.
Lantas siulku terhenti. Kulihat mobil Svend di depan apartemen itu. Terpuruk di bawah pohon yang gelap. Kuperhatikan nomornya. Ya, memang mobil Svend. Aku mendongak melihat bingkai jendela yang masih terang di atas sana. Kuputar langkahku. Kembali kulanjutkan siulku yang terputus.
Aku mengerti sekarang. Aku hanya kurang peka tadinya. Svend memang kurang rela melihatku menjadi akrab dengan Anne-Sofie. Kubayangkan pijar biru yang indah dalam mata Anne-Sofie. Langkahku terdengar berdekak-dekak dalam malam yang sunyi, kembali ke Café Opera.
SK-559/Oktober 1984