Saya memulai dari cerita tutur. Cerita yang dituturkan turun temurun. Terlepas benar salahnya.
Alkisah, Aji Saka berangkat ke Mekkah dan berguru kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi menunaikan ibadah sholat, Aji Saka menjadi makmum dan berdiri ngamping di samping tiang masjid. Dia sungkan terlalu dekat dengan Kanjeng Nabi. Setelah lama berguru, Aji Saka kembali ke Jawa dan diberi kropak (buku lontar) dan pangot (semacam pusau untuk menulis di atas lontar).
Cerita tutur Aji Saka ini pertama kali saya dengar dari bapak saya. Beliau mengulang apa yang dikisahkan guru agama beliau waktu masih sekolah dulu, di tahun 1960 an.
Dan ternyata, kisah Aji Saka ini juga saya temukan di buku “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat” karya Martin van Bruinessen. Versi buku ini, Aji Saka berguru ke Antaboga sang raja naga. Kiai Kures, kakek Aji Saka, sangat senang melihat perkembangan cucunya. Namun, Antaboga mengatakan ada seseorang yang sangat cakap dan Aji Saka diminta berguru kesana. Yakni Nabi Muhammad yang tinggal di Mekkah.
Anda boleh menafikan cerita ini dan menganggapnya sebagai cerita bualan semata. Akan tetapi cerita kuno ini, jika dilihat dari sisi lain, bisa menunjukkan bahwa Jawa dan Mekkah telah memilki kedekatan sudah sejak lama. Hingga kini, Mekkah, bagi orang Jawa-Islam menjadikannya pusat kosmologi.
Banyak sumber menyebut raja-raja jawa mulai abad 16 sudah menjadikan Mekkah sebagai kekuatan. Pada abad itu, Raja Mataram dan Raja Banten sama-sama mengirim utusan ke Mekkah untuk bersaing mendapatkan pengakuan gelar Sultan. Utusan itu biasanya pulang dan membawa kiswah (kain penutup ka’bah) dari Syarif Besar di Mekkah.
Bahkan, (ini yang menarik) bahwa di Mekkah pada tahun 1800 an, terdapat sebuah kampung, yang dihuni oleh imigran dari wilayah nusantara, mulai Jawa, Makasar, Sulawesi, Batavia dan daerah-daerah lainnya. Kampung itu disebut sebagai Kampung Djawah atau Kampung Jawa.
Keberadaan kampung ini tak lepas dari banyaknya orang nusantara yang berangkat ibadah haji lalu menetap di Mekkah untuk menimba ilmu. Banyak orang jawa yang berangkat haji, namun akhirnya bertahun-tahun menetap di sana untuk belajar agama.
Seorang Nusantara Islam dapat disebut Jawah atau Jawi. Dalam teks Arab, masyarakat Jawi disebut ashab al-jãwīyīn (“para sahabat Jawi”) atau jamã’at al-jawīyīn (“komunitas Jawi”).
Sejarah mencatat, pada tahun 1882 saja, sebanyak 19% jamaah haji di Mekkah berasal dari wilayah Nusantara, atau Indonesia kini. Bahkan pada tahun 1930, jumlah jamaah haji dari Indonesia cukup banyak yakni mencapai 17.000 (42%) dari total jamaah haji di Mekkah sebanyak 40.000 orang.
TONTON VIDEONYA DI SINI:
Para jamaah haji asal Indonesia itu tak langsung pulang ke Indonesia. Biasanya mereka belajar ilmu agama dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari daerah asal. Tak mengherankan jika cara hidup orang-orang kampung Djawah ini dinilai membahayakan Hindia Belanda. Pasalnya, mereka bersikap anti kolonial.
Beberapa pemberontakan yang terjadi di Jawa, banyak dihubung-hubungkan dengan keberadaan orang-orang yang tinggal di Mekkah. Pemberontakan petani Banten tahun 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 disebut-sebut diilhami oleh tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Mekkah. Apalagi ikatan orang-orang yang bermukim di kampung Djawah semakin kuat karena pada tahun 1934, mereka mendirikan madrasah Darul Ulum di Mekkah.
Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1885 mengirim ahli agama Islam Snouck Hurgronje ke Mekkah untuk menyelidiki kelompok Djawah. Pada waktu itu, orang Djawah mencapai 10.000 orang. Yang dianggap paling “berbahaya” menurut catatan Snouck adalah 180 orang yang mengurus setiap jamaah dari Indonesia yang baru datang. Para alim tersebut mengajarkan ilmu agama yang kadang-kadang diarahkan untuk melawan orang barat.
Jika kita membuka buku berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya (jilid 2) karangan Denys Lombard, kita akan menemukan juga fakta keberadaan kampung Djawah ini. Tokoh-tokoh kampung Djawah diantaranya Syekh Ismail dari Banten yang memiliki tiga rumah di Mekkah, Syekh Djuneid dari Batavia seorang guru tua yang sudah 50 tahun menetap di Mekkah, Hasan Mustafa dari Garut, dan Syekh Nawawi dari Banten seorang pengarang yang buku-bukunya banyak dicetak di Mesir dan Mekah.
Begitulah. Mekah bagi orang Jawa-Islam sudah menjadi pusat kosmis sejak lama. Pusat kosmis itu terus berkembang, punya dampak besar pada pergerakan kehidupan di Indonesia. Mulai masa kerajaan, pra kemerdekaan hingga setelah Indonesia merdeka. Kelompok Djawah boleh dibilang sebagai cikal bakal intelektual Islam Indonesia. Meski pada era tahun 1920 an ada pergeseran dari kampung Djawah ke Kairo Mesir. Sejumlah orang setelah naik haji dan belajar agama di Mekkah melanjutkan belajar di Universitas Al Azhar, Kairo. Sepulang dari Kairo mereka menyebarkan ilmu agama ke masyarakat di Nusantara.