Kami mengenalnya sebagai Mak La. Aku sih tak pernah tahu nama sebenarnya. Mungkin Laila, Lasmi, atau Lila. Ya, mungkin mungkin saja. Pernah ada tetangga bercerita, Mak La punya nama asli La. Hanya dua huruf saja. Tapi masak iya cuma dua huruf? Aneh. Karena di kampung kami nama biasanya dua atau tiga suku kata. Tak pernah kurang tak pernah lebih. Misal Suparni, Sumarni, atau Marmi.
Tapi tak perlulah kita pusingkan nama. Mak La tinggal di rumah model atap drojogan di tepi kali pacal. Rumah dengan dua kamar tidur, dapur dan ruang tamu sempit yang hanya cukup untuk satu set kursi rotan lapuk. Lantainya masih tanah dan bukan tegel atau keramik sebagaimana kebanyakan lantai rumah di kampung kami kini.
Meski berlantai tanah, Mak La gemar bersih-bersih. Tak pernah ada sampah berserakan di dalam atau luar rumah. Pohon kersen tepat di depan rumahnya seakan tak pernah menjatuhkan daun ke tanah. Halaman yang sempit selalu tampak bersih dan rapi. Batu-batu kecil seakan rela menata diri mereka sendiri sehingga cukup sedap dipandang. Rumput tak pernah dibiarkan panjang dan liar. Pokoknya urusan kebersihan di kampung, Mak La adalah juaranya. Andai ada award, pastilah dia yang terpilih.
Mak La tentu bukan Bu Ning, istri pensiunan pegawai Perhutani yang rumahnya bersebelahan. Hanya berjarak 5 meter saja. Rumah Bu Ning besar, lantai dua. Tapi entah kenapa ya, kok auranya lebih sejuk rumah Mak La yang amat sederhana itu. Kalau kami emak emak yang tergabung di Kumis alias Komunitas Orang Miskin ini sedang kumpul di rumah Mak La bawaannya pengen bersantai, suasana adem, hati jadi tenteram. Beda kalau berada di rumah Bu Ning. Hati jadi panas. Lantai granit warna merah bata begitu kontras dengan tembok yang dicat kuning. Terkesan membara, panas.
“Itu karena kamu iri saja sama Bu Ning. Aku di rumahnya ya biasa-biasa saja,” kata Bu Tani saat kebetulan kami kumpul di rumah Mak La.
“Tapi beneran kok. Rumah Bu Ning panas. Mungkin dibangun pakai uang panas kali ya,” sambar Mbok Yem tukang sayur keliling.
Dan ini nih yang menjengkelkan kami. Mak La mendengar semua rasan-rasan kami itu. Tapi ya, dia diam saja tanpa komentar apa-apa. Takut dosa? Sepertinya tidak juga. Mak La jarang ke langgar Kaji Sulkan.
Urusan rumah Bu Ning ini, kami sih membayangkan dia komentar: oh ya, Bu Ning memang begini atau begitu.
Atau mbok ya komentar menyangkal: ah jangan begitu, Bu Ning itu orangnya apik lho.
Atau komentar: ya benar memang suaminya Bu Ning itu suka korupsi. Atau apalah yang penting komentar.
Dan kalau kami ngobrolin Bu Ning yang kebetulan tidak datang di acara (karena dia kaya, ya posisinya sebagai pelindung Kumis), ia pasti komentar: mbok gak usah rasan-rasan.
Gimana coba, lha mosok rasan-rasan saja tidak boleh. Hidup kita ini sudah susah. Rasan-rasan saja juga dilarang. Terus bisa bahagia dari mana? Terus yang melarang adalah Mak La yang ya sama miskinnya dengan kita. Ya ampun. Padahal kami-kami ini ingin memujinya lho, menaikkan derajatnya di depan Bu Ning. Tapi ya begitu itulah kenyataannya.
Memang sih, Mak La terkenal orang yang nggak bisa marah. Sepertinya syaraf marahnya sudah hilang. Aneh memang janda satu ini.
Dulu, waktu masih muda, Mak La gadis yang ramah, murah senyum, dan pakaiannya cukup sederhana. Keluarganya hidup pas-pasan. Ibunya (ia biasa memanggil Mbok) menganyam pandan untuk dijadikan tikar lalu dijual. Bapaknya (ia memanggil pak e) seorang panjak wayang thengul. Jika tak ada tanggapan, dan ia tak main gamelan, maka ia akan mencari rumput untuk dijual.
Mak La anak ketiga dari 4 bersaudara. Mbak-mbaknya nikah usia tua. Ya minimal 20 tahun. Mak La sendiri yang agak berbeda. Umur 17 tahun sudah menikah. Gara-garapnya, saat kerja di pabrik rokok sebagai buruh linting, ia tak bisa menolak cinta yang ditembakkan ke hatinya oleh Tomo, satpam pabrik. Mak La cinta mati dengan Tomo. Tapi, tanpa sepengetahuan Mak La, kekasih pujaan hatinya itu ternyata sudah beristri alias Mak La dimadu. Bahkan Tomo ternyata sudah punya anak dari pernikahan itu.
Konon warga kampung sudah heboh. Itu La mau nikah sama laki beristri. Wah kok mau ya. Apa mungkin dipelet? Makin lama obrolan orang kampung makin ganas saja. Dibilang sudah hamil duluan lah, dan entah apa lagi gorengan-gorengannya.
Tahu nggak apa yang dikatakan Mak La saat tahu jika kekasihnya sudah beristri? Dengan santainya ia bilang “Ya enggak apa-apalah. Mungkin ini takdirku. Ya aku bersyukur saja.” Coba apa nggak geregetan dengarnya.
Sekarang pernikahannya sudah berjalan 17 tahun. Dan ya mulus-mulus saja tanpa terdengar piring dibanting, gelas dilempar atau pintu ditutup dengan kasar. Anaknya sudah dua dan yang besar sudah bekerja di kota. Konon kerja di restoran. Gajinya lumayan. Anak kedua kelas 6 SD. Lantaran pandemi sekarang ini, Mak La terpaksa menemani anaknya belajar tiap malam. Benar-benar menemani, karena Mak La hanya duduk diam di samping anaknya. Karena kalau mau mengajari anak kelas 6 SD jelas ia tidak mampu. Surat pendek saja dia tidak hafal.
Tomo, suami tercintanya itu sudah meninggal setahun lalu. Konon kena stroke. Aku sih masih ingat, ketika sore-sore ada ambulan datang ke rumah Mak La. Waktu itu, Mak La sedang menjemput anaknya mengaji di langgar. Ambulan datang membawa jenazah Tomo yang terbujur kaku. Dengan tegopoh-gopoh Mak La datang, wajahnya sendu, matanya sembab, langkahnya sesekali tertahan, air mata ditahan agar tak jatuh.
Para tetangga datang membantu menggotong jenazah ke rumah. Mak La ikut mengiringi. Lalu ia bersimpuh di samping jenazah suaminya. “Sudah takdir kita Kang, dipisahkan maut,” katanya pelan.
Tak lama kemudian, ia tiba-tiba bangkit dengan segera menuju ke halaman rumah. Wajahnya tenang, senyum mengembang, mempersilakan para pelayat untuk melihat suaminya untuk terakhir kalinya. Menyambut tamu dengan ramah. Seperti orang yang bukan sedang ditimpa musibah. Cukup tenang.
“Ini takdir, anakku. Tidak perlu kita ratapi. Hidup ini bukan milik kita. Jadi, kalau kita sudah tahu hidup ini bukan milik kita, kenapa harus sedih waktu ada yang pergi. Kita tak pernah kehilangan sesuatu yang bukan milik kita. Tersenyumlah,” katanya kepada dua anaknya yang menemaninya. Mereka pun selalu tersenyum menyambut pelayat.
Kami yang datang waktu suaminya dimakamkan, sudah memasang wajah sedih, kadang mata kami usap dengan tisu agar terkesan menahan air mata. Tapi lha kok Mak La malah senyam senyum. Sebenarnya kita perlu ikut sedih enggak sih?
Aku pernah memberanikan bertanya soal itu, beberapa bulan kemudian. “Kamu kok enggak sedih sih suamimu meninggal?”
“Kenapa harus sedih. Takdir Yu, enggak perlu ada yang disedihkan. Sudah ada yang mengatur. Kita tinggal menjalani saja.”
Begitu entengnya dia menjawab.
“Kita itu perlu mencontoh Mak La,” kata Mbok Yem suatu sore usai pertemuan emak-emak di Kumis.
“Mencontoh apanya?” kataku protes.
“Ya itu, caranya melihat dunia. Dia itu pasrah. Pernah enggak dia mengeluh gara-gara hidup miskin? Enggak pernah kan? Bahkan ketika anaknya di-PHK, dia ya tenang-tenang saja. Dan cuma bilang: semua sudah ada yang mengatur. Jal piye, elok tenan kan?” kata Mbok Yem.
Aku hendak menyahut, tapi urung. Mak La datang tergopoh-gopoh. Matanya sembab, wajahnya pucat.
“Ada apa Mak?” tanyaku
“Bubrah Bu, Bubrah. Ini sudah tak bisa dibiarkan.”
“Apanya yang bubrah Mak?”
“Sudah keterlaluan dia. Ini soal anakku Bu. Anakku yang kecil.”
“Lho kenapa anakmu Mak? Diapakan siapa?”
“Anakku….”
Mak La tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Baru kali ini Mak La menangis tersedu-sedu. Ia menahan emosi. Wajahnya merah padam. Tak seperti biasanya yang tenang dan pasrah, kini sepertinya ada yang remuk di hatinya.
Omah Buku, 2020
*) Karangan ini sebelumnya dimuat di Radar Bojonegoro, Minggu 13 September 2020