1.)
“Sebisik sepi, secangkir kopi, cukuplah,” ucap Aida seorang diri. Maghrib meremang, memberi tanda pada senja yang sejak tadi mau pulang. Sebentar-sebentar ditatapnya jam dinding di kafe yang kali ini sepi pengunjung itu.
Diambilnya napas panjang. Jikun, lelaki yang ditunggunya belum juga datang. “Adakah Jikun lupa janji?” pikirnya. Tidak. Dia tak mungkin lupa janji. Bukankah Jikun yang memilih untuk bertemu di tempat ini, pikirnya lagi. Ditepisnya ragu yang mengambang di antara risaunya.
2.)
“Mbak Aida mau pesan kopi lagi?” pelayan kafe menepuk pundaknya, menghancurkan rebak pikiran yang hampir dua jam terakhir dibangunnya. Aida tersenyum, lalu memberi tanda kepada pelayan kafe bahwa dirinya belum ingin lagi memesan apa-apa. Secangkir kopi di meja tinggal seteguk sisa. Sudah dua jam lebih lamanya saya di sini, gumamnya.
3.)
“Tidurlah tidur sangsai, tidurlah tidur sungai. Sebab pada saatnya nanti, akulah pilihan matahari… Maka kurelakan, baris-baris sajak ini, sebagai ladang tempatmu mencari,…”*
Sebuah lirik lagu paling tenteram, puisi seorang penyair mengalir pelan dari sebuah radio, entah dari arah mana. Aida, perempuan ini melepas tatapan ke jalan raya, seperti mengenang sesuatu.
Maghrib semakin tertinggal dan malam bergeser menjauh, mentakzimi tiktok jam di dinding kafe. Aida terpekur mengaji ingatan.
4.)
Aida, perempuan 26 tahun yang tengah menunggu seorang lelaki bernama Sarjikun tiga jam lamanya ini melepas kacamata minus yang dikenakannya. Pelayan kafe dipanggilnya, sup jamur kesukaan dipesannya.
5.)
Pelayan kafe itu sesungguhnya ingin bertanya; siapakah yang ditunggunya? Apa yang tengah dirisaukannya? Menjelang empat jam duduk di kursi yang sama tanpa aktivitas apa-apa, tidakkah itu adalah hal yang kurang wajar bagi seorang Aida yang dikenalnya?
Pelayan kafe itu, yang diam-diam memperhatikannya sejak sore tadi bermula itu, sungguh ingin sekali menanyakan semuanya, tapi segera diurungkannya.
6.)
“Sarjikun,.. Ah, Sarjikun… Mungkin ia benar-benar tak akan datang,” gumam Aida pada diri sendiri.
Sekali lagi dan sekali lagi, jam menunjukkan hampir pukul sepuluh. Malam kurang dua belas menit lagi, sedang malam di batinnya baru saja dimulai.
Bojonegoro, 2017.
*) Puisi penyair Muhary Wahyu Nurba berjudul Tidurlah Tidur yang diaransemen oleh Hikmah Zain menjadi sebuah komposisi musikalisasi puisi.
(.) Timur Budi Raja, menulis puisi, naskah pertunjukan, esai sastra dan bergiat mengaransir puisi-puisinya ke dalam bentuk musik puisi. Banyak menerbitkan buku, diantaranya Tentang Yang (Fiction Writers & Font, Makassar International Eight Festival & Forum, 2017).