Setiap manusia yang hidup pasti pernah dirundung masalah, beberapa orang menganggap masalah merupakan gangguan dari luar. Namun berbeda bagi aliran filsafat Stoisisme, justru melihat masalah itu ada di dalam diri manusia itu sendiri. Misalnya, masalah ini bisa saja muncul akibat ketidaksesuaian antara harapan seseorang dengan realita yang dihadapi.
Berharap terlalu tinggi tanpa memandang kapasitas diri, atau tanpa melakukan analisis terhadap kenyataan yang sedang dihadapi. Setiap masalah yang datang sebenarnya tidak selalu bersifat negatif. Asal kita mampu menyikapi dengan positif pula, asal kita mampu dengan penuh kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Adanya suatu masalah yang dihadapi seseorang sebenarnya juga dapat dijadikan media dalam mengasah kebajikan. Dalam buku Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring menjelaskan, ada empat kebajikan menurut paham filsafat stoisisme. Berikut ini penjelasannya:
– Kebijaksanaan (wisdom), kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan versi terbaik dalam situasi dan kondisi apapun.
– Keadilan (juistice), artinya memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur. Terlebih pada saat dirundung masalah sesulit apapun, sikap ini tetap penting untuk dilakukan.
– Keberanian (courage), keberanian dalam berbuat yang benar, berani berpegang pada prinsip yang benar. Serumit apapun masalah yang dihadapi, tetaplah berprinsip pada kebenaran.
– Menahan diri (temperance), disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri (atas nafsu dan emosi). Diakui atau tidak untuk melakukan sikap yang demikian, perlu adanya sikap menahan diri.
Jadi, dengan datangnya masalah bukan untuk dihindari apalagi disikapi dengan negatif. Namun tetaplah dihadapi dengan menggunakan nalar, agar tidak semakin kacau. Sedangkan Imam Gozali dalam kitab Ihya Ulumiddin, menganjurkan untuk membaca doa saat pikiran sedang dirundung masalah. Berikut ini teks doa lengkapnya:
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَائُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ القُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِي وَجِلَاءَ غَمِّي وَذَهَابَ حُزْنِي وَهَمِّي
Allāhumma innī ‘abduka, wabnu ‘abdika, wabnu amatika. Nāshiyatī bi yadika mādhin fiyya hukmuka, ‘adlun fiyya qadhā’uka. As’aluka bi kulli ismin huwa laka sammayta bihī nafsaka, wa anzaltahū fī kitābika, aw ‘allamtahū ahadan min khalqika, awista’tsarta bihī fī ilmil ghaybi ‘indaka, an taj’alal qur’āna rabī‘a qalbī, wa nūra shadrī, wa jilā’a ghammī, wa dzahāba huznī wa hammī.
Artinya: “Ya Allah, sungguh aku hamba-Mu, putra hamba-Mu (laki-laki), putra hamba-Mu (perempuan). Nasibku di tangan-Mu, berlaku padaku ketentuan-Mu, adil padaku putusan-Mu. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama-Mu yang Kau sebut untuk diri-Mu, (nama) yang Kau turunkan dalam kitab-Mu, (nama) yang Kau ajarkan pada segelintir hamba-Mu, atau (nama) yang hanya Kau sendiri yang mengetahuinya dalam pengetahuan ghaib agar Kau menjadikan Al-Qur’an sebagai musim semi (di) hatiku, cahaya batinku, pelenyap kebingunganku, dan penghilang kesedihan serta kebimbanganku.”
Jadi, ketika masalah sedang datang dalam kehidupan sebaiknya tetap dihadapi dengan penuh ketenangan. Tetap melakukan ikhtiar sedikit demi sedikit, dan iringilah ikhtiar tersebut dengan doa seperti di atas. Wallahu a’lam bish-shawabi !!!