“Biarlah alam berantem dengan alam, toh nanti ada pemulihan”
Begitu kata Surono di Majalah Tempo tertanggal 25 Mei 2015 yang kemudian dikutip Elizabeth D. Inandiak. Kutipan itu menjadi pembuka buku Elizabeth berjudul Babad Ngalor Ngidul yang terbit tahun 2015 juga. Ngalor ngidul selalu diakrabi sebagai perbincangan yang tak tentu arah, kehilangan pegangan. Dan di buku ini, ngalor ngidul adalah gambaran masyarakat saat bencana meletusnya Gunung Merapi.
Buku ini sudah kubeli sesaat setelah buku ini edar di toko buku. Jadi sudah lama ngendon di rak bukuku. Tapi, entah mengapa aku tak bisa menyelesaikan membacanya waktu itu. Baru tahun ini aku membacanya lagi dan sangat “menikmati”. Aku pun bertanya, benarkah buku punya masanya sendiri untuk bisa dibaca seseorang? Ketika ada kedekatan emosi antara buku dan pembaca, maka pasti akan terbaca dengan tuntas. Tapi benarkah demikian? Aku tak punya alasan rasional untuk itu. Jadi lupakan saja.
Meski menggunakan judul Babad Ngalor Ngidul yang mempunyai kesan “nggak serius”, tapi ternyata buku ini kelewat serius. Bahasanya memang menggunakan bahasa tutur sebagaimana orang mendongeng. Tapi yakinlah, bahwa apa yang ditulis dalam buku adalah kisah nyata. Meski penulis sejak awal tak hendak memaksa pembaca melihat buku ini sebagai buku sejarah. Penulis sengaja membiarkan kesan itu dan berdongeng ngalor ngidul.
Hingga pada bagian paling akhir ada tulisan berjudul Ngalor Ngidul Ngetan Mbalik Ngulon yang menyatakan bahwa semua yang ada di buku ini adalah kisah nyata.
“Babad ngalor ngidul adalah kisah nyata. Namun, karena letusan 26 Oktober 2010 telah memusnahkan segalanya, kisah itu barangkali suatu hari nanti dianggap dongeng. Orang akan bertanya-tanya: Apakah sosok Juru Kunci, si Adi Abdi, Mas Gun, Pohon Gajah, Beringin Putih, Kiai Banyu Laras, dan si wedhus gembel benar-benar pernah ada? Ataukah mereka dikarang sendiri oleh para pengungsi Gunung Merapi untuk dapat bertahan hidup setelah bencana itu? Bahkan suara ngalor ngidul yang awalnya membimbingku sekarang diam.” (Hal: 204)
Aku memang bukan orang Jogja dan tidak merasakan bagaimana letusan gunung itu mengubah jalan hidup banyak warga. Namun, membaca buku ini seakan diajak melihat tidak hanya bagian luar (fisik) saja pada apa yang terjadi sebelum, saat, dan sesudah letusan Gunung Merapi. Melainkan juga menyusuri relung batin masyarakat sekitar Gunung Merapi. Bahkan, penulis juga hendak membawa masuk mitos-mitos tentang sang gunung tersebut. Pekerjaan besar yang luar biasa bukan?
Jika kau pernah membaca reportase bom atom di Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan karya John Hersey (2008) maka kau bisa membayangkan buku yang sedang kubicarakan ini. Bedanya, Hiroshima ditulis dengan gaya jurnalistik, sedang Babad Ngalor Ngidul ditulis dengan gaya dongeng. Keduanya sama-sama berpijak pada fakta.
Babad ini menghadirkan peristiwa yang nyata sekaligus yang nggak nyata.
Menurutku, buku Babad ini lebih hebat karena tak sekadar menghadirkan fakta, melainkan mengungkap apa yang di balik fakta. Babad ini menghadirkan peristiwa yang nyata sekaligus yang nggak nyata. Yang nyata dan yang nggak nyata itulah (salah satu) kekhasan Jawa yang hendak dibaca oleh penulis buku ini. Di mana posisi gunung itu dalam kosmos besar ini? Bagaimana “jiwa” gunung itu berdialog dengan masyarakat sekitar? Dan bagaimana masyarakat memaknai gunung sebagai bagian hidup mereka. Ya, Gunung Merapi bagi warga Kinahrejo, kampung tempat tinggal Mbah Marijan, dan warga Bebekan, adalah tak sekadar bebatuan saja. Melainkan “makhluk” yang juga mempunyai jiwa dan rasa. Dia bisa diajak berbicara, kemauannya bisa ditawar, dan bisa diajak berteman.
***
Elizabeth D. Inandiak, penulis buku ini bukanlah orang Jawa. Di buku ini tidak ada keterangan tentang penulis. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Namun, kita bisa menelusurinya dari karya-karya yang ditulis oleh Elizabeth. Buku sadurannya tentang Serat Centhini adalah salah satu karyanya yang banyak diperbincangkan orang dan meraih Penghargaan Francophonie-Asie 2003.
Institut Francais Indonesia (IFI) mencatat bahwa Elizabeth adalah penulis, skenaris dan penerjemah asal Prancis. Pada 1989, ia jatuh cinta kepada Jawa dan memutuskan untuk menetap di Jawa. Meski bukan orang jawa, dia begitu dekat dengan Jawa, akrab dengan Mbah Marijan, menyatu dengan Gunung Merapi, dan menelusuri “filsafat rasa” Jawa yang (bagiku) begitu rumit.
Di Babad Ngalor Ngidul, Elizabeth menunjukkan betapa dekatnya ia dengan Mbah Marijan. Banyak informasi yang hadir di buku ini adalah dari sang juru kunci Merapi tersebut. Bahkan, sosok yang disebut dengan sebutan Si Mbah itu banyak menghiasi halaman buku. Pada saat sang juru kunci menjadi artis bintang iklan, saat menolak turun dari Merapi, dan apa-apa yang jarang diketahui publik diungkap oleh Elizabeth seorang “anak angkat” sang juru kunci.
Ia tak sekadar menulis yang ada sebagaimana juru porter memotret peristiwa. Tapi ia juga memaknai semua yang terjadi di merapi. Kita akan bisa melihat bagaimana Ponpes Al-Qodir ikut menampung para pengungsi dan tak pernah bingung tentang anggaran untuk makan para pengungsi. Semua dilakukan oleh Kiai Masrur dan para santrinya dengan ikhlas.
Ah, cukuplah. Aku sangat menyukai buku ini, membacanya, dan membayangkan apa yang terjadi pada saat-saat merapi bergemuruh dan menurunkan wedhus gembel. Dengan tulisan gaya dongeng nan memukau, aku serasa ikut terikat di Kinahrejo dan merasakan bagaimana warga mencoba menyelamatkan diri dari awan panas.
Ada baiknya, kau membacanya sendiri. Karena aku bukan pencerita buku yang baik.