Drama dan Dilema Pilkada adalah Drama Korea

Siang tadi, saya dengar dari dalam kamar, ada tamu datang. Rupanya, ada surat pemberitahuan pemungutan suara. Ada 3 lembar jumlahnya; untuk ayah, kakak, dan saya.

Saat baca surat itu, saya jadi terpikir bahwa saya sendiri belum menentukan pilihan untuk bupati dan wakil bupati. Saya pikir-pikir lagi … saya maunya Bojonegoro ini jadi yang gimana? Visi-misi masing-masing paslon apa, ya?

Saya melewatkan kampanye rupanya. Tapi, tidak apa-apa. Internet toh masih ada, teman untuk jadi informan juga ada, pengalaman menghadapi birokrasi atau instansi pemerintah juga ada. Tinggal panggil ulang semuanya dan dijadikan patokan menimbang.

Oh ya, hak saya berpendapat dilindungi toh? Hak mendukung dan tidak mendukung juga dilindungi, kan? Saya anggap begitu.

Yang jelas,sebagai orang yang belakangan ini tertarik dengan isu keperempuanan. Saya pribadi mengutamakan adanya peran perempuan. Mau saya itu ada pemimpin perempuan yang bisa membuka pikiran masyarakat bahwa politik itu bukan arena yang dikhususkan untuk laki-laki semata. Tapi ya jangan hanya jadi bayang-bayang orang lain alias kepanjangan tangan. Masak mau simbolik aja jadi bupati, kan enggak toh?

Namanya diutamakan itu, kalau ada yang sesuai ya dipilih, kalau tidak ya cari alternatif lain. Ini pendapat pribadi, keinginan pribadi saya, mungkin kalian juga punya keinginan lain soal mau seperti apa, sih, Bojonegoro ke depan.

Baca Juga:  Kenapa Gerak Khilafah Dipaksa Menyerah?

Yang jelas juga, saya tidak ingin pilih calon yang wajahnya (paling banyak) ada di mana-mana. Banner, baliho, nampang di angkutan umum. Duit mbok ya jangan dibuang buat banner-banner yang nantinya jadi lemek duduk.

Nanti kasihan bakul karpet kalau banner-banner aja sudah bisa jadi lemek waktu acara-acara lesehan. Itu yang gambarnya guede di mana-mana, kurangin. Kalau ndak jadi lemek, pasti akan berakhir jadi sampah.

Masih berkaitan dengan paragraf sebelumnya. Saya pernah menonton drama Korea yang saya lupa judulnya. Jadi begini ceritanya (ambil popcorn dulu, gaes), ada cewek dikasih duit banyak buat dihamburin sampai habis. Dan, dihamburkanlah duit tersebut sampai tak bersisa. Ternyata setelah itu, dia disuruh ganti uang yang dikasih sebanyak dua kali lipat. Terserah dengan cara apa si cewek ini bisa mendapatkan uang tersebut.

Menipu, mencuri, merampok … terserah. Begitulah cara kerjanya, “jika kamu bisa menghabiskan uang satu juta, maka kamu harus mampu menghasilkan uang dua juta.” Cara kerjanya sama. Mereka yang menghabiskan banyak dana untuk kampanye akan memutar otak habis-habisan untuk mengembalikan uang yang sudah dihabiskan beserta keuntungannya.

Senjatanya satu, kekuasaan, jabatan. Memang tidak ada jaminan bahwa yang tidak habis-habisan saat kampanye, tidak akan habis-habisan mengembalikan modal. Tapi, mereka yang ‘habis-habisan’ saat kampanye, sudah pasti akan ‘habis-habisan’ mengembalikan modal. Ngeri-ngeri sedap, kan?

Baca Juga:  Membaca Post Rock dan Post Modernism di Warung Kopi

Lalu, yang jelas saya dan tentu juga Anda semua, punya pengalaman berhadapan dengan birokrasi, instansi pemerintah, de el el. Coba lihat nama-nama calon bupati dan wakil bupati. Beberapa di antaranya pernah menjabat di salah satu instansi pemerintah. Dan, apakah di masa jabatan beliau-beliau ini, instansi yang dia pimpin menunjukkan keterbukaannya terhadap data dan apapun yang patut diketahui masyarakat? kalau bahasa gaulnya sih, apakah mendukung open government?

Tiga tahun lalu, saya meneliti pembangunan RSUD dan butuh data dari beberapa instansi pemerintah. Saya tidak akan melupakan bagaimana surat permohonan penelitian saya dibiarkan nganggur selama satu entah dua bulan di DPRD dan tidak mendapatkan data sekunder (sama sekali) yang saya butuhkan, dan hanya wawancara dengan modal jawaban ‘kalau tidak salah’ dan ‘seingat saya’.

Informasi seperti itu tentu tidak kuat jika tidak didukung dengan data sekunder, yang tentu sangat mempersulit penelitian saya. Tindak lanjut dari surat permohonan saya itu juga diproses setelah akhirnya mendapat bantuan dari teman almarhumah ibu. Saya tidak akan lupa jasa beliau-beliau yang telah membantu saya. Saya tidak benci, sungguh.

Baca Juga:  Kearifan Lokal Vs Covid-19

Hal tersebut saya jadikan pengalaman dan modal saya memilih. Itu pasti. Kalau kalian punya pengalaman lain berhadapan dengan birokrasi yang kebetulan pernah dipimpin oleh calon-calon dalam daftar, saya sarankan pikirkan kembali. Mungkin bukan salah pemimpinnya yang tidak terbuka dengan data, tapi itu juga tanda bahwa kontrol terhadap bawahannya juga lemah.

Bagi saya, sudah tidak jaman pemimpin yang pelit informasi, yang tidak mendukung adanya keterbukaan pemerintah dan pastisipasi aktif masyarakat dalam proses politik. Ingat, partisipasi politik itu bukan hanya ketika momen pemilihan, tapi juga paling penting adalah keterbukaannya terhadap kritik, masukan yang tentu akan jadi input penting dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.

Rupanya, menulis ini justru membuat saya bingung akan menjatuhkan pilihan saya nantinya. Tapi, saya akan tetap pulang ke Bojonegoro hari rabu nanti. Saya akan datang dan mematangkan pilihan.

Sekian curhatan dari masyarakat Bojonegoro yang dilema menghadapi perasaan cinta, eh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *