Ada banyak cara pendidikan yang dilakukan perusahaan pers atau lembaga profesi bagi wartawan atau jurnalis. Jika sekarang gencar dengan sertifikasi wartawan, maka pada masa lampau, ada program yang cukup menarik, yakni pertukaran wartawan.
Pada majalah Mimbar Penerangan edisi Tahun ke V no 3 Maret 1954, pada rubrik Pusparagam Penerangan, ditulis adanya pertukaran wartawan harian Pedoman Rakjat di Makassar dengan wartawan harian Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta. Berita itu cukup pendek, tapi fakta yang disajikan menarik untuk didiskusikan pada era digital ini.
Berikut kutipan lengkapnya sebagaimana dimuat di halaman 252:
“Pada hari Sabtu tanggal 27 Februari 1954 telah berangkat ke Makassar wartawan Martono dari harian “Kedaulatan Rakjat” dan akan bekerdja selama satu bulan pada harian “Pedoman Rakjat” di Kota tersebut. Dalam pada itu, telah berangkat ke Jogja dari Makassar wartawan MAx Warrow dari harian “Pedoman Rakjat” jang akan bekerdja pada harian “Kedaulatan Rakjat” selama satu bulan djuga. Pertukaran tenaga wartawan demikian ini adalah sesuai dengan putusan Kongres PWI di Salatiga.”
Berita singkat di atas cukuplah menarik. Karena pertukaran wartawan untuk saat ini tentu saja cara yang asing, atau tidak populer. Apalagi jika untuk wartawan daerah kecil.
Pertukaran wartawan sendiri direkomendasikan dari putusan Kongres PWI di Salatiga. Kongres tersebut merupakan kongres pertama yang digelar pada 9-10 Februari 1946. Kongrres itu dengan ketua Mr. Raden Mas Soemanang Soeriowinoto.
Nah, ternyata pertukaran wartawan juga pernah dilakukan pada tahun 2010. Yakni antara wartawan Kantor BErita Nasional Malaysia (Bernama) di Kuala Lumpur, melakukan pertukaran wartawan dengan koran di Riau.
Lalu, bagaimana ya jika pertukaran wartawan dilakukan hari ini, di era digital? Masih perlukah? Atau justru karena era digital jadi makin diperlukan pertukaran wartawan agar makin kuat keterampilan reportasenya?