Perkembangan dunia filsafat memiliki kaitan erat dengan perkembangan mitos-mitos Yunani. Mitos lebih dulu berkembang di Yunani, kemudian para Filosof hadir untuk membongkar mitos-mitos. Setelah para filosof hadir, berkembanglah ilmu-ilmu sains yang dilahirkan para filosof. Pada periode ini, para filosof sibuk berdebat tentang zat dasar dari suatu benda dan proses perubahannya.
Episode kali ini, melalui surat misterius selanjutnya. Sophie dicerca dengan pertanyaan yang membuatnya harus berpikir lebih mendalam. Kira-kira begini isi surat tersebut;
1. Apakah zat dasar yang menjadi bahan untuk membuat segala sesuatu?.
2. Dapatkah air berubah menjadi Anggur?
3. Bagaimana tanah dan air dapat menghasilkan seekor katak yang hidup?
Sophie pun terus terbayang dan tidak tenang setelah diberondong pertanyaan tersebut. Dia terpaksa, hingga pikiran tersebut terus mengikuti dirinya dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Pikiran itu pun berkembang, bukankah di dalam mentimun itu juga ada zat air?.
Lantas, bagaimanakah dengan air dan tanah yang dapat menghasilkan seekor katak hidup? Dalam episode ini, marilah kita mencoba untuk mengenal proyek para filosof di periode awal.
Membaca proyek para filosof dan pemetaan pemikiran filosof alam
Sebelum masuk lebih jauh, marilah kita baca struktur proyek para filosof terlebih dahulu. Dari rasa ingin tahu yang kuat, para filosof mulai berpikir. Kita perlu menyerap dengan tepat terkait proyek para filosof, minimal kita tahu apakah yang ingin diketahui para filosof pada saat itu?. Sebab setiap filosof melintasi zaman yang berbeda-beda.
Membaca struktur proyek para filosof akan memudahkan kita dalam menyelami jalan pemikirannya. Sehingga memudahkan kita untuk mendalami serta mengikutinya.
Pertama, bagaimana awal mula kemunculan benda dan makhluk hidup? Kedua, sebagian ingin tahu apakah ada Tuhan yang Esa. Ketiga, sebagian lagi memiliki rasa ingin tahu, apakah manusia memiliki jiwa yang kekal.
Nah, pada periode awal “Pra Socrates” ini kita akan menjumpai perdebatan para filosof tentang alam. Mereka sibuk mendebatkan tentang awal mula zat suatu benda hingga makhluk hidup. Pikiran-pikiran mereka telah difokuskan untuk memperhatikan alam. Mereka secara langsung melihat dan mengamati proses terjadinya perubahan alam. Para filosof awal, semuanya sepakat dan yakin akan adanya zat dasar dari setiap proses perubahan.
Berbeda dengan mitos-mitos sebelumnya yang lebih fokus pada cerita Dewa dan kekutan jahat. Para filosof menjawab setiap proses perubahan alam dengan logika. Perbedaan inilah yang menyebabkan perkembangan filsafat memisahkan diri dari Agama. Sayangnya kita hanya dapat mengetahui kesimpulannya, tanpa bisa melacak proses mereka mencapai kesimpulan. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa proyek filsafat Yunani awal terfokus pada masalah zat dasar dan perubahan alam.
Melacak pemikiran filosof periode 585-526 SM
Kali ini kita akan dipertemukan dengan sosok tiga filosof Miletus. Miletus merupakan kota Yunani kuno yang dianggap sebagai kota terbesar dan termakmur (pertengahan abad ke-6 SM). Kini telah menjadi provinsi Aydin, Turki. Pada periode ini, kita dapat melacak pemikiran tiga tokoh filosof yaitu; Thales, Anaximander, dan Anaximenes. Mereka dapat disebut tiga tokoh filsafat dari Miletus, sekaligus tokoh awal filsafat.
Pertama, Thales selama hidupnya sering melakukan petualangan ke berbagai negeri, hingga ke Mesir. Pernah berhasil menaksir ketinggian piramida dengan cara mengukur panjang bayangannya. Selain itu juga diceritakan dapat meramalkan terjadinya gerhana matahari dengan tepat pada 585 SM. Sayangnya, tidak semua dapat kita lacak bagaimana proses mereka mengambil kesimpulan dan hanya dilacak kesimpulannya saja.
Menurut pemikiran Thales, air merupakan sumber dari segala sesuatu. Hal ini diduga, Thales percaya bahwa setiap kehidupan bersumber dari air dan akan kembali ke air ketika telah sirna. Ceritanya, selama di Mesir, Thales lebih banyak mengamati tumbuhan yang muncul di sungai Nil ketika banjir surut. Begitu juga dengan munculnya katak dan cacing yang muncul di tempat yang telah dibasahi hujan. Namun Thales telah mengatakan “semua benda penuh dengan dewa-dewa”. Artinya Thales masih mempercayai adanya Dewa.
Kedua, tokoh filsafat yang diperkirakan hidup se zaman dengan Thales ialah Anaximander. Membaca pemikiran filosof kedua ini agak lebih membingungkan. Berbeda dengan Thales yang secara jelas mengatakan air sebagai sumber seluruh kehidupan. Namun bagi Anaximander “dunia kita hanyalah salah satu dari banyaknya dunia yang muncul dan sirna, segala sesuatu tercipta dari sesuatu yang tak terbatas”. Pikiran ini diduga bermaksud ada suatu zat lain yang melatarbelakangi setiap hal yang tercipta. Namun zat yang dimaksud belum tersebut secara jelas olehnya.
Ketiga, Anaximenes yang diperkirakan hidup pada tahun 570-526 SM. Menarik, pemikirannya menindaklanjuti teori Thales “segala sesuatu tercipta dari air”. Dirinya mengajukan pertanyaan “darimanakah datangnya air?”.
Sehingga menurutnya, air ialah udara yang dipadatkan. Pengamatannya tertuju pada proses terjadinya hujan, bukankah air keluar dari udara yang diperas kemudian jatuh dan menjadi tanah. Dia juga mengamati tanah keluar dari salju yang telah meleleh. Selain itu, dia juga beranggapan bahwa api ialah udara yang dijernihkan. Pendapat inilah yang menyatakan Anaximenes beranggapan udara merupakan asal usul tanah, air, dan api.
Dari ketiga tokoh filsafat Miletus dapat diambil kesimpulan, bahwa mereka semua percaya tentang adanya zat dasar dari segala sesuatu yang tercipta. Dan zat dasar yang berubah menjadi sesuatu yang lain dianggap sebagai masalah perubahan.
Melacak pemikiran filosof periode 540-480 SM
Pada periode ini, marilah kita coba untuk membaca dua tokoh pemikir filsafat yang saling bertentangan. Keduanya yaitu; Parmenides dan Heraclitus. Periode filsafat ini mulai berfokus pada masalah perubahan, kedua tokoh filasafat ini akan berdebat dengan pemikiran masing-masing. Dari sinilah nanti kita akan dipertemukan dengan empat unsur dasar. Lalu akan berlanjut pada tokoh filsafat selanjutnya.
Pertama, Parmenides diperkirakan hidup pada tahun 540-480 SM. Baginya, akal merupakan sumber utama pengetahuan tentang dunia. Keyakinan manusia terhadap akal yang tidak tergoyahkan dapat disebut rasionalisme. Parmenides menganggap “segala sesuatu yang ada, pasti telah selalu ada.”
Pikirnya, segala sesuatu di dunia ini abadi, yang ada tidak dapat menjadi tiada. Meski indranya telah sadar melihat perubahan, namun dia tidak percaya dengan perubahan aktual. Sebab Parmenides lebih percaya dengan akal ketimbang indrawinya.
Menurut tokoh ini, indra bisa saja kurang tepat dalam memberikan gambaran tentang perubahan duniawi. Sehingga apapun yang telah dia rasakan melalui indra akan ditentang jika tidak sesuai dengan akalnya. Tugas seorang filosof menurut Parmenides ialah mengungkapkan segala bentuk ilusi perseptual. Mengungkap segala sesuatu kebenaran yang bersumber dari akal. Maka tiada yang dapat muncul dari ketiadaan.
Kedua, Heraclitus yang diperkirakan hidup satu angkatan dengan Parmenides. Pemikirannya berbanding terbalik, dia lebih yakin dengan apa yang dirasakan dengan indranya. Jika Parmenides beranggapan tidak mempercayai adanya perubahan aktual. Heraclitus menyangkalnya dengan “segala sesuatu terus mengalir”. Baginya tiada yang menetap, segala sesuatu bergerak mengalami perubahan. Menurut pandangannya, dunia dapat digambarkan dengan adanya kebalikan.
Orang yang tak pernah sakit, dia tak akan pernah merasakan nikmat sehat. Orang yang tak pernah kelaparan, mana mungkin bisa merasakan nikmatnya kenyang. Heraclitus berkeyakinan sesuatu yang buruk dan baik memiliki tempatnya masing-masing. Tanpa adanya dua hal yang berkebalikan itu, dunia tak kan pernah ada. Dalam perubahan tersebut dapat dilihat secara jelas di tengah perubahan dan pertentangan. Namun dalam hal ini, Heraclitus menganalogikan istilah Tuhan menggunakan kata Logos (Yunani), yang berarti akal.
Setiap manusia memiliki akal, namun tidak setiap akal manusia itu memiliki tingkatan yang sama. Dari banyaknya akal, ada “akal universal”. Jenis akal universal inilah yang akan menjadi penuntun segala sesuatu yang terjadi di alam. Akal tersebut sudah tertanam di dalam diri dan akan menjadi penuntun manusia. Meski setiap manusia hidup dengan akalnya masing-masing, Heraclitus berpendapat “pendapat dari kebanyakan orang adalah seperti mainan bayi” gayanya seakan-akan meledek. Dari pertentangan-pertentangan yang ada, Heraclitus melihat adanya “entitas dan kesatuan”. Segala sesuatu itu mengalir, entitas dan kesatuan itu ialah sumber dari segala sesuatu, dia menyebutnya Tuhan atau Logos.
Melacak pemikiran Empedocles (kira-kira 490-430 SM)
Pertentangan antara Parmenides dan Heraclitus semakin terlihat dengan jelas. Parmenides dengan akalnya menegaskan tidak ada sesuatu yang dapat berubah. Bahwa persepsi indra tidak dapat dipercaya akan ketepatannya. Sedangkan Heraclitus dengan persepsi indra menegaskan alam selalu berubah. Bahwa persepsi indra yang dialaminya dapat dipercaya. Dalam pertentangan yang terjadi, hadirlah Empedocles.
Empedocles hadir menjadi penengah antara Parmenides dan Heraclitus. Menurutnya mereka benar dalam satu penegasan, namun salah dengan penegasan yang lain. Apa yang telah dikemukakan oleh akal, tidak dapat dipersatukan dengan apa yang sedang dirasakan oleh indra. Terjadinya pertentangan antara keduanya disebabkan oleh penegasan-penegasan yang hanya dari satu unsur saja. Namun Empedocles sepakat dengan pendapat dari dua tokoh, akan tetapi harus dilihat dari beberapa unsur.
Jika para filosof sebelumnya yakin dengan adanya zat dasar, Empedocles justru memilih untuk menyingkirkan adanya satu zat dasar. Air maupun udara pada kenyataannya tidak dapat berubah menjadi kupu-kupu, ikan dan lain-lain. Namun dalam hal lain, indra kita telah menyaksikan bahwa alam ini selalu berubah-ubah. Dari adanya pertentangan kedua tokoh tersebut, dirinya mempertimbangkan alam ini terdiri dari empat unsur (air, udara, api, dan tanah). Proses terjadinya alam dikarenakan keempat unsur ini menyatu.
Menurutnya, alam ini dapat terbentuk karena menyatunya keempat unsur tersebut. Jika keempatnya terpisah, maka sesuatu itu akan musnah. Kita dapat mengamati setiap binatang dan tumbuhan mengandung keempat unsur tersebut. Apakah binatang dan tumbuhan dapat hidup tanpa air, udara, tanah dan sinar matahari? Tentunya setiap binatang dan tumbuhan yang hidup membutuhkan keempat unsur tersebut. Lantas bagaimana dengan binatang dan tumbuhan mati?. Empedocles memberi jawaban keempat unsur ini terpisah yang menyebabkan kematian binatang dan tumbuhan. Namun setelah terpisah, air tetap menjadi air, udara tetap menjadi udara, begitu juga dengan api dan tanah yang tidak dapat dimusnahkan.
Kita juga dapat belajar dari seorang pelukis yang membekali dirinya dengan banyak warna. Bayangkan saja, jika seorang pelukis hanya membawa warna biru tanpa kuning, hitam, dan putih. Mana mungkin seorang pelukis dapat memberikan warna perisai yang indah. Tanpa warna putih tak akan ada bintang 9 yang mengelilinginya. Tanpa warna biru sedikit tua, tak akan ada empat huruf berdiri kokoh di tengahnya. Keberhasilan pelukis menyatukan banyak warna sesuai takarannya. Maka terbentuklah gambar perisai yang indah dengan penuh seni.
Empedocles meyakini, keempat unsur dapat bersatu karena ada kekuatan yang bekerja di baliknya. Kekuatan itu ialah Cinta dan Perselesihan, cinta dapat mengikat sesuatu, perselisihan memisahkannya. Melalui pendapat tersebut, dia dapat membedakan antara “zat dan kekuatan”. Hingga akhirnya para ilmuan juga membedakan antara “unsur dan kekuatan alam”. Sains modern pun berpendapat, proses alam ini sebagai “bentuk interaksi antara unsur-unsur yang berbeda dengan kekuatan-kekuatan alam yang beragam”.
Melacak pemikiran Anaxagoras (500-428 SM)
Anaxagoras lebih memilih tidak sepakat dengan para filosof sebelumnya. Dia tidak setuju ada bahan zat dasar dari sesuatu, hingga dia tak dapat menerima jika air, udara, tanah, dan api merupakan suatu bahan zat dasar dari segala yang ada. Anaxagoras memunculkan pandangan baru, alam ini diciptakan dari partikel-partikel kecil. Bahkan, dalam partikel yang kecil masih ada pecahan yang kecil hingga tak terbatas.
Anaxagoras menyebut partikel-partikel ini memiliki sifat dari segala sesuatu sebagai “benih-benih”. Maka ada “sesuatu dari segala sesuatu” dalam setiap sel.
Empedocles berpendapat “cinta” merupakan kekuatan yang menyatukan dan membentuk sesuatu. Namun Anaxagoras sedang membayangkan “keteraturan” merupakan kekuatan yang dapat menciptakan binatang dan tumbuhan serta alam. Sehingga kekuatan itu disebut sebagai pikiran dan akal atau nous. Pada usianya yang ke empat puluh Anaxagoras harus pindah ke Athena, namun terpaksa harus meninggalkan kota. Sebab dirinya tertuduh sebagai seorang ateis, yang menentang anggapan bahwa matahari adalah dewa.
Seorang Anaxagoras berpendapat, bahwa matahari ialah batu merah yang panas dan lebih besar dari alam ini. Menurutnya, seluruh benda angkasa diciptakan dari zat yang sama dengan benda-benda yang ada dimuka bumi. Anaxagoras sangat tertarik dengan astronomi dan meneliti benda-benda angkasa. Dia juga meneliti sebuah meteroit dan berkesimpulan bahwa ada kehidupan manusia di planet lain. Pendapatnya juga mengatakan, bulan tidak memiliki cahaya sendiri. Namun mendapat pantulan dari sinar matahari, dan mulai memikirkan penjelasan tentang proses terjadinya gerhana matahari.
Hingga akhirnya melalui penjelasan di atas, Sophie semakin tertarik dengan filsafat. Dia mengikuti setiap pelajaran yang diterimanya melalui surat-surat misterius. Sophie benar, seseorang dapat mengalami ketertarikan pada filsafat lantaran mampu mengikuti setiap gagasan dengan akal sehatnya. Jika filsafat merupakan sesuatu yang tidak dapat kita pelajari, maka dari filsafat kita dapat belajar berpikir secara filosofis.