Ekonomi selalu dikaitkan erat dengan uang. Meski awal kemunculan uang adalah pengganti alat tukar, kini keberadannya menjadi pemersatu segala kalangan, tak peduli agama, ormas, suku dan budaya. Barter yang dinilai kurang efektif dan disekuilibrium dalam pemberian sebuah value pada barang, akhirnya mau tak mau harus bertekuk lutut di hadapan uang. Ekonomi modern memang tak sesederhana jual beli lantas mendapatkan uang. Ia kini menjadi pelik dan makin rumit serta jelimet.
Bagaimana anda mendapatkan sarapan? Atau bagaimana anda medapatkan makan malam? Anda barangkali akan menjawab; beli di warung dekat pasar, atau tinggal kllik di aplikasi yang serab ‘food’ atau barangkali anda mendapatkannya dari masakan ibu anda, dari olahan resep yang dielaborasi teman anda, olahan dari istri atau pacar anda, atau mungkin anda memasaknya sendiri.
Kelihatannya, amat sangat sederhana. Namun tak sesederhana itu masszzzeeehhh!
Mayoritas dari kita, menghasilkan hanya sepersekian prosentase kecil dari apa yang kita konsumsi tiap harinya. Selebihnya kita beli. Tempe yang mengepul hangat di piring yang baru saja diangkat dari penggorengan di atas meja makan warung dan depot, rupanya membutuhkan aktivitas terkoordinasi dari ribuan bahkan jutaan orang di dunia.
Para petani yang menanam kedelai untuk dijual ke industri-industri pembuat tempe. Para perusahaan plastik yang menjual kantung-kantung dan bungkus untuk mengemas tempe. Para penjual tempe yang mengulak tempe-tempe dari pengrajinnya kemudian menjualnya kepada para pedagang warung kaki lima. Hingga para penjual di warung kaki lima itu, mengolahnya dan menjualnya kepada anda. Semua ini perlu terjadi agar tempe goreng hangat yang disusun rapi di atas piring itu bisa anda nikmati tiap hari.
Kemudian dari para penyedia ‘barang’ panen, petani, ada orang-orang lagi yang menjual peralatan tani kepada mereka, bibit, pestisida, fungisida, sampai herbisida. Lalu para buruh tani yang memanen, mengangkatnya ke kendaraan, sampai membongkar-bongkarnya kembali. Sekali lagi, proses ini harus terus terjadi. Harus. Agar tempe hangat bisa dinikmati setiap hari.
Sekilas tampak begitu alamiah dan ajaib, namun semua ini selalu berjalan dengan jadwal yang ketat dan tersusun rapi. Bahkan dilakukan dengan perhitungan yang amat presisi. Kebanyakan, para pelaku ekonomi ini tak terlalu begitu mengerti tentang prosedural dari proses itu secara mendetail, namun secara kultural dan ‘di atas normal’, mereka sudah memahami ini, bahkan sejak masih dalam buaian ibunya.
Semua proses itu juga tidak hanya berlaku untuk sepotong tempe saja. Namun juga berlaku untuk setiap buku yang dijual di toko-toko khusus, kerudung, pakaian dalam, lipstik, sigaret, smartphone sampai pembalut wanita – dan apapun yang anda bayangkan, yang kiranya bisa diperjualbelikan.
Sekali lagi — Perekonomian modern ialah perekonomian yang semrawut dan jelimet.
Olehnya, para ekonom mulai bertanya, apa gerangan yang menyatukan itu semua?
Ilmu ekonomi pernah dijabarkan ”… sebagai ilmu tentang cara mencadangkan kasih sayang,” hal ini pernah disampaikan oleh McKloskey pada tahun 2000. Ide dasarnya ialah: Kasih sayang itu memang langka. Mengasihi sesama itu sulit, apalagi sesamanya – sesamamu.
Belum lagi mengasihi sang mantan yang sudah dinikahi teman sendiri. Aihh…
Singkat kata, kasih sayang itu memang limit dan kadang pula expired. Oleh karena itu, kita musti mencadangkan kasih sayang dan tidak memboroskannya dengan mubadzir.
Apakah ada kasih-sayang yang mubadzir? Sudah tentu ada. Mengasih-sayangi mantan yang rabi tadi, misalnya. Itu sangat mubadzir, dan cepat menghabiskan jatah kasih-sayang kita yang memang limit.
Jika kita mengerahkan khalayak atau masyarakat dengan kasih sayang, bisa dipastikan tidak ada lagi yang tersisa begi kehidupan pribadi kita. Kasih sayang memang tak mudah didapat, dan tak kalah susah saat harus mempertahankannya. Nah, itu alasannya para ekonom merasa perlu untuk membuat sebuah mega–koordinasi bahkan semacam grand-desain terkait penataan masyarakat dan sekelilingnya, saat ber-ekonomi khususnya.
Mungkin saat itu, para ekonom sudah mendengar cerita seorang nabi dan salah seorang. Dalam kisah yang cukup populer itu, ada seorang yang sedang bersama nabi, nah ia diperlihatkan sebuah hamparan tanah yang begitu luas, semacam sahara atau sejenisnya. Sang Nabi pun kemudian memberitahu pada seorang itu, jika ia bisa mengkavling tanah sesuka hatinya, sekuat seberapa jauh kakinya menapaki tanah itu. Setiap langkah yang ia tapaki bakal jadi miliknya. Orang tersebut lantas melangkahkan kakinya, awalnya hanya berjalan katakanlah 1 km saja, karena merasa kurang, ia menambahnya lagi dan lagi. Ia terus berjalan hingga malam menjelang, sampai akhirnya ia tersesat, kehabisan tenaga, dehidarasi dan tewas.
Hingga akhirnya, tak sejengkal tanah pun bisa ia kavling. Bisa ia miliki.
Para ekonom kemudian terbersit dalam tempurungnya, kenapa tak menggunakan kepentingan diri? Tampaknya ini tersedia melimpah ruah. Sudah seperti paket youtube dari Smartfren saja: Unlimited!
Atau barangkali, para ekonom yang mewakili kita untuk membuat kebijakan dan kerap beberapa kebijakannya tidak bisa kita pahami itu, mengekor ke Si Mbah Adam Smith?
Pada saat The Wealth Of Nations pada 1776 lahir, Si Mbah Smith menulis sebuah kalimat yang rupanya cukup mempengaruhi pemahaman para ekonom itu tentang ilmu ekonomi:
“Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukan roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri-sendiri.”
Benarkah demikian?
Sebenarnya, pernyataan barusan sangat disayangkan sekali, kenapa musti keluar dari benak seorang bapak ekonomi-politik yang masyhur itu. Saat si Mbah Adam Smith makan malam, ia tidak berpikir makan malam itu tersedia karena tukang daging dan tukang roti menyukainya – Ia berpikir bahwa kepentingan mereka terpenuhi lewat perdagangan. Kepentingan-dirilah yang meletakkan makan malam untuk Smith.
Sekali lagi, benarkah demikian?
Mendiang Adam Smith yang merasa mengemban tugas ekonomi dunia kala itu, sampai nyawa loncat dari tubuhnya, ia memang tak pernah menikah. Bapak ilmu ekonomi itu memang tinggal bersama ibunya, nyaris seumur hidupnya. Ibunya mengurus rumah dan seorang saudara sepupu menangani keuangan Adam Smith. Saat Adam Smith ditunjuk sebagai komisioner pabean di Edinburgh, ibunya pun ikut pindah bersamanya.
Sepanjang hidup sang ibu yang agung itu, selalau setia merawat anaknya dan sekaligus menjadi jawaban tehadapap pertanyaan Adam Smith tentang bagaimana kita mendapatkan makan malam.
Seorang ibu yang berjalan 15 kilometer untuk mencari kayu bakar, kemudian memasakkan anak-anak dan kerabatnya, mencuci baju, membersihkan rumah dan mengganti popok bayi. Membesarkan anak, merawat kebun, menyapu latar, menjahit pakaian untuk kerabat atau mengurusi Adam Smith agar ia dapat melahirkan The Wealth of Nations-nya itu, tak ada secuilpun yang dihitung sebagai aktivitas produktif dalam model teori ekonomi standar.
Selain mencoba melampaui Invisble Hand-nya Smith, ternyata ada jenis kelamin yang tak terlihat. Tak bisa disebutkan, apalagi digambar???
Kendati demikian, ada juga yang menggambar jenis kelamin ini. Ya, Simone de Beauvoir menggambarkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (Second Sex). Laki-laki mendahului. Laki-lakilah yang selalu dihitung, selalu dikuantifikasikan. Laki-laki mendefinisikan dan menafsirkan, perempuan adalah ‘yang lain,’ segala sesuatu yang bukan laki-laki, tetapi kepadanya ia bergantung agar menjadi seperti adanya kini.
Adam Smith, tampaknya tak bisa menjawab seluruh pertanyaan ekonomi yang diembannya. Proses ekonomi tidak melulu dijalankan dengan konsep ‘invisible hand,’—tangan tak nampak, namun juga ada ‘invisible heart’ — hati yang tak terlihat. Adam Smith, entah mengapa tak mengutarakan alasan kenapa sang Ibu setia merawatnya? Menyiapkan makan malam yang lezat?
Kita juga tidak tahu, mengapa Ibu Adam Smith melakukan itu semua.
Yang kita tahu, ia melakukannya.
Demikianlah sebagian dari kita dewasa ini, saat kita di tempat kerja dan bertemu dengan teman baru, kemudian ditanya:
”Istrimu kerja apa?” Bisa ditebak, sebagian besar dari kita aka menjawab:
“Istriku ngga kerja, di rumah, ngurus anak”. Atau pertanyaan “istri” diubah “Ibu?”
“Ibumu kerja apa?”.
Jawabannya tentu tak akan jauh berbeda dengan jawaban pertama.
Menuju Senja, Minggu, 20/2/2022
a.m