Izinkan saya bercerita. Pendek saja.
Ini soal foto yang bagi saya begitu spesial. Hingga kini saya masih ingat betul menit permenit saat menjepretnya. Ah bukan, bukan sekadar soal foto. Tapi soal perasaan campur aduk yang sulit untuk diceritakan dengan obyektif. Yakni soal foto almaghfurllah KH Abdullah Faqih, pengasuh ponpes Langitan, Widang, Tuban.
Akhir 2007 hingga awal 2008 banjir besar melanda Bojonegoro. Hampir dua minggu listrik di kota Bojonegoro padam. Bojonegoro yang ramai tiba-tiba serupa kota mati. Air menggenang dimana-mana. Sebagai gambara, Jalan Diponegoro digenangi air setinggi hampir 2 meter. Pertokoan tutup.
Waktu itu saya reporter daerah Koran Sindo. Pada 31 Desember 2007, saya menulis untuk Okezone: “banjir di wilayah Bojonegoro kota saat ini seperti air dalam mangkuk, karena tanggul sungai Bengawan Solo masih jebol dan memuntahkan air terus menerus. Sementara, posisi Bojonegoro kota berada di bawah tanggul sungai. Bahkan, kondisi terparah berada di Jalan Dr Soetomo Kelurahan Sumbang Gang Buntu Kec Kota karena lokasinya paling cekung. “Di situ air menggenangi rumah warga sampai 3 meter,” kata Muljono.
Muljono merupakan pejabat yang super sibuk. Waktu itu ia adalah Koordinator Pengendalian dan Pengamanan Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Wilayah Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro, UPT Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jatim. Orangnya sangat ramah kepada wartawan dan menguasai data.
Hampir tiap hari saya meliput banjir. Seringkali ingin ikut menangis saat meliput para korban banjir. Yang paling menyentuh adalah saat meliput korban banjir di Rumah Sakit Pemuda. Lantai 1 digenangi air, pasien diungsikan semua ke lantai 2. Sementara listrik dalam kondisi mati. Ada satu pasien yang harus dievakuasi menggunakan gedebok pisang, karena ia harus dioperasi. Satu-satunya jalan ia dibawa ke rumah sakit di Lamongan. Keluarganya menangis, pasien merintih. Saya pun tak tega hanya memotret saja. Sekali jepret, saya ikut membantu mendorong gedebok pisang yang di atasnya ada pasiennya. Maklum air di halaman rumah sakit sekitar 160 cm.
Saya bukan hendak sok heroik. Bukan. Karena itu sebenarnya hal biasa bagi wartawan saat bencana alam. Wartawan pasti tak sekadar meliput, tapi juga memberi bantuan sebisa mungkin. Bisa tenaga, uang, ataupun lainnya semampu wartawan.
Dan begitulah. Hari-hari meliput bencana banjir yang melelahkan. Saya tiap hari harus menempuh jarak puluhan kilometer. Pagi hingga siang liputan di Bojonegoro, sore ke Babat-Lamongan mencari warnet untuk mengirim berita. Di Bojonegoro semua warnet tutup kebanjiran.
Siang menjelang sore, tanggal 4 Januari 2008, saya bermotor dari Bojonegoro ke Babat. Dari Bojonegoro celana basah, sampai Babat sudah kering. Sesampai di Jalan Widang, dekat Ponpes Langitan, lama saya berdiri di situ. Jika dalam sehari belum mendapat foto bagus, rasanya kurang sreg. Otak harus diputar, di mana harus mencari foto bagus? Tapi saya ingat kata-kata entah dari mana asalnya bahwa: dalam kondisi bencana, foto bagus itu ditentukan oleh satu hal yakni keberuntungan. Karena wartawan tidak bisa ‘memilih’ lokasi dengan mudah, karena sulitnya akses. Ketika pada saat itu dia berada di lokasi banjir rumah sakit, dan ada kabar kejadian besar ada di alun-alun misalnya, maka dia tak akan mudah bergerak. Kejadian di alun-alun pasti akan terlewat begitu saja.
Hari itu, saya belum punya foto bagus dan insting saya mengatakan saya perlu ke Langitan. Saya hanya berdiri saja tanpa tujuan. Tapi tak berselang lama, saya melihat Almaghfurllah Mbah Faqih pengasuh Ponpes Langitan dari dalam ponpes. Beliau dievakasui oleh santri ke luar ponpes, lantaran air mulai menggenangi pondok. Saya setengah berlari mendekat. Ah bukan, bukan mendekat betul, karena saya sangat takut. Takut kurang tawadlu kepada beliau.
Saya berdiri mematung memegang kamera. Air setinggi lutut. Saya beranikan mengambil gambar. Jepret sekali dapat, jepret dua kali dapat. Maklum kamera lama. Saya memakai kamera saku Nikon Coolpix 2000. Ada jeda antara satu jepretan satu ke jepretan selanjutnya. Lalu saya diam berdiri, sampai rombongan melewati saya agak jauh, baru saya berani beranjak dari tempat berdiri. Sekali lagi saya khawatir tidak sopan.
Mengambil foto Almaghfurllah Mbah Faqih di luar acara resmi tentu berbeda saat acara resmi. Jika acara resmi, maka wartawan banyak dan tidak canggung. Tapi saat banjir ini, saya sendirian. Berdiri di sisi kiri hingga rombongan melintas. Antara takut tidak sopan, takut menyalahi aturan pondok, takut ditegur, dan lain sebagainya campur aduk menjadi satu. Saya ingat, selepas saya menjepret, pandangan Mbah Faqih sekilas menabrak saya. Saya tidak berani ikut melihat beliau. Buru-buru saya membungkuk, memberi hormat.
Foto kukirim ke redaksi setelah menemukan warnet. Esoknya foto dimuat di Koran Sindo halaman 8. Sayang saya tidak mengklipingnya. Dulu, saya beberapa kali liputan ke Langitan, tapi momen berpapasan dengan Mbah Faqih ini begitu membekas. Al-Fatihah….