Jika kau membuka laman Facebook atau grup WhatsApp, tentu tak jauh-jauh dari postingan full day school. Ya nggak? Ada yang mendukung dan tak sedikit yang menolak. Nahdlatul Ulama secara resmi menolak. Sedang Muhammadiyah berposisi sebaliknya. Maklum, sang menteri adalah mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.
Lalu bagaimana kelanjutan pro kontra itu? Saya tidak menyukai masuk pada pro kontra yang sudah banyak bumbu di sana-sini. Ibarat menu makanan, sudah banyak campuran yang nyata maupun tidak nyata. Rasanya jadi nggak lagi alami. Dan ini tak hanya terjadi pada isu full day school saja, melainkan juga pada tiap isu yang berkembang dan mewabah di media sosial. Apapun bisa menjadi bagian dari pro kontra. Jauh dari substansi.
Nah, mending mari kita mengamati program-program pemerintah yang (saya anggap) lucu. Lucu? Ya, lucu saja namanya. Selalu saja nama yang diambil lebih bersifat hiperbolis, tak substantif, dan kadang punya makna berbeda.
Sebut saja full day school yang sedang ramai. Benarkah sekolahnya sehari penuh? Alih-alih sehari, setengah hari saja tidak ada. Full day school dimaknai dengan siswa belajar di kelas selama delapan jam. Nah, apanya yang full day school. Sehari itu 24 jam, dan separohnya ya 12 jam. Dan ini cuma 8 jam saja dinamai full day. Apanya yang full?
Tapi jangan heran dulu. Hampir tiap kebijakan pemerintah menggunakan bahasa yang “aneh”. Contoh lain adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIP adalah pemberian bantuan tunai pendidikan kepada seluruh anak usia sekolah (6-21 tahun), yakni siswa berasal dari keluarga miskin dan rentan. Kenapa kartu tersebut tidak menggunakan nama Kartu Pendidikan untuk Masyarakat Miskin, misalnya. Karena kartu tersebut bukan untuk beasiswa anak-anak berprestasi, melainkan bantuan untuk masyarakat kurang mampu.
Selain itu juga ada Kartu Indonesia Sehat. Ini kan lucu. Karena Kartu Indonesia Sehat untuk digunakan di Rumah Sakit. Kenapa tidak menggunakan nama Kartu untuk Warga Sakit? Karena memang kenyataannya demikian.
Ya, memang istilah program atau apapun di negeri ini memilih untuk menggunakan istilah-istilah yang indah dan seringkali melebih-lebihkan. Hal ini akhirnya menular juga pada bahasa-bahasa lain. Penggusuran dinamai penertiban, penangkapan dinamai pengamanan, dan seterusnya dan seterusnya.
Bahasa memang membentuk kerangka pikir kita. Dan negeri ini memilih bahasa yang indah-indah untuk sesuatu yang seringkali tidak indah. Juga seringkali dilebih-lebihkan. Seperti full day scholl yang tidak full day itu. Salam.
_______________
*) Penulis beralamat di kakisepasang@gmail.com