Saya mempunyai dua teman yang punya nama Prawoto. Dan keduanya punya profesi sama: guru. Juga sama-sama suka buku, suka puisi, cerpen, dan selingkar dunia literasi. Dua Prawoto teman saya itu juga menerbitkan buku puisi. Sama-sama hebat.
Bedanya, yang satu guru SMP dan yang satu guru SD. Yang hendak saya ceritakan ini adalah Prawoto guru SD. Nama lengkapnya Gampang Prawoto. Kini mengajar di SDN Pejambon, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro. Belum lama ini, saya ngobrol santai tapi serius tentang dunia kepenyairannya. Ngobrol di warung kopi yang tutup namun siapa saja boleh duduk-duduk santai. Minum dan makanan bawa sendiri.
“Saya menulis geguritan ataupun puisi selalu saya unggah di Facebook. Jadi, saya tidak pernah bikin status Facebook selain karya saya. Dan ini ada alasannya,” katanya. Lantaran tak semua orang suka gurit atau puisi, tiap unggahannya selalu disertai foto perempuan cantik biar mengundang orang melirik.
Media sosial macam Facebook, baginya tak sekadar ajang bersosialisasi, melainkan juga tempat melempar dan menyimpan karya. Ia mengaku punya motivasi sendiri dalam dunia kepenulisan, salah satunya, gara-gara Facebook. “Sebelum karya rampung, saya tidak nulis apapun di Facebook,” terangnya.
Gampang memang cukup produktif. Saat ini ada ratusan puisi dan gurit yang tersebar di sejumlah media dan belum dibukukan. Ia merupakan peraih penghargaan Balai Bahasa Jawa Timur 2014 (kini dikenal dengan nama Penghargaan Sutasoma) dengan buku geguritannya Puser Bumi (2013). Selain itu, karyanya yang lain adalah Suluk Berahi (2017).
Karya-karyanya, entah gurit ataupun puisi, selalu lahir dari ruang yang dijangkaunya. Tak heran jika Gampang mempunyai perjalanan panjang dalam proses kepenyairannya. Meski sejak SMA sudah suka dunia tulis menulis, namun dunia tersebut baru ditekuninya saat kuliah di Surabaya seiring kesukaannya pada bidang teater dan seni rupa.
Proses Kreatif
Gampang Prawoto memulai proses panjang kepenulisannya saat kuliah Sastra dan Bahasa Indonesia di Universitas Adibuana Surabaya. Ketika merasa tak mendapatkan semangat menulis dari jurusan (karena berkutat pada teori), ia ikut aktif di komunitas seni rupa.
“Ketika ada pameran lukisan saya ikut. Tapi yang saya pamerkan adalah puisi dalam kanvas,” katanya. Tak cuma bidang seni rupa dan puisi, ia ternyata juga aktif di bidang musik dengan mendirikan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) musik di kampus tempatnya belajar.
Lulus kuliah, ia tak langsung pulang ke ‘Tanah Air’ nya di Desa Pejambon, Kecamatan Sumberrejo, Bojonegoro. Salah satu alasannya ia belum mempunyai kenalan teman untuk bisa berproses bersama-sama. Sehingga ia pun ‘mampir’ di Lamongan dan bergabung dengan Kostela (Komunitas Teater Lamongan).
“Di sini saya bertemu dengan Herry Lamongan, Sutardi, Bambang Kempling, Pringgo HR, dan budayawan-budayawan lain. Saat di Kostela saya mengikuti pelatihan sastra etnik di Surabaya. Di pelatihan itulah saya baru kenal dengan Harry Guru,” ceritanya.
Setelah itu, ia memutuskan balik Bojonegoro dan berproses bersama Harry Nugroho atau biasa dipanggil Harry Guru dengan dunia kepurbakalaan. Sekilas memang tidak ada hubungannya antara dunia purbalaka dan kepenulisan, tapi baginya menulis itu memerlukan syarat cukup banyak, salah satunya adalah pengetahuan.
“Dunia kepurbakalaan itu kan unik. Ada banyak benda yang sulit dibahasakan. Sehingga kadang muncul istilah bahasa purba yang konotasinya sesuatu yang sulit dijelaskan,” terangnya.
Lama bergumul dengan dunia kepurbakalaan, Gampang kemudian bergabung dengan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) yang memberi wadah bagi karya-karyanya. Buku Puser Bumi yang memperoleh penghargaan diterbitkan oleh PSJB.
Siapa penggurit yang paling disukai? Gampang menyebut dua nama: Widodo Basuki dan Hery Lamongan. Lalu siapa penyair yang paling disukai? Ia menyebut dua nama: Rendra dan Emha Ainun Nadjib terutama karya-karya lamanya.