Sosok  

Gerson Poyk, Sastrawan yang Memilih Laku Zuhud

foto: Kompas/Wawan H Prabowo

Gerson Poyk adalah sastrawan yang memilih laku zuhud.  Zuhud adalah laku menjalani hidup dengan menjauh dari gegap gempita keduniawian. Tak banyak sastrawan Indonesia yang memilih jalan yang dipilihnya ini. Kehidupannya penuh tragedi. Ia mencurahkan hidupnya untuk menulis. Karya sastranya tak terbilang banyaknya. Novel Sang Guru tak sekadar diakui sebagai karya sastra hebat, tapi juga kajian sosiologis pendidikan di daerah pedalaman. Karya-karyanya yang lain dikagumi banyak orang.

Dalam konteks berbeda, kisah hidupnya yang “ganjil” bisa disandingkan dengan kehidupan Iwan Simatupang, sastrawan hebat Indonesia yang memilih tinggal di sebuah kamar hotel di Bogor. Ia memilih jalan hidup tersebut, meski sebenarnya sebagai penulis terkenal dan berteman dengan banyak orang-orang penting, ia mampu untuk menggenggam duniawi.

Tapi, Gerson tetaplah Gerson. Sependek kabar yang saya ketahui, ia lebih unik dari sastrawan lain. Sastrawan Budi Darma menyebutnya sebagai manusia keluyuran. Karena menurutnya, tidak ada wartawan, pengarang, dan antropolog yang begitu tahan keluyuran seperti Gerson.

Di usia senjanya, hingga Tuhan memanggilnya pada  24 Februari 2017, ia tetap konsisten menulis. Bahkan, sastrawan tangguh ini juga rajin update status di media sosial Facebook. Itu membuktikan bahwa Gerson terus belajar mengikuti perkembangan zaman. Ia tak terkungkung pada dunia masa lalunya saja.

Pada tahun 1953, Gerson (lahir di Pulau Rote tahun 1931) mendapat tugas belajar (semacam ikatan dinas dari pemerintah) untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya.  Bersama teman-teman sekolahnya, ia menempati sebuah asrama di Jl. Biliton nomor 7 Gubeng. Awal-awal sekolah guru, ia nyambi menjadi guru bahasa Inggris di SMP Majapahit, yang lokasinya tak jauh dari Pasar Blauran.  Dari profesinya sebagai guru bahasa Inggris itulah ia bisa makan dan membayar uang asrama, karena uang ikatan dinasnya belum cair.

Kenangan di Surabaya

Selama tinggal di Surabaya, Gerson banyak mengalami perubahan jalan hidup. Penggalan hidup di Surabaya ditulis sendiri oleh Gerson menjadi sebuah otobiografi yang sangat memikat. Otobiografi ini fokus di masa-masa menjadi siswa di SGA Kristen di Surabaya. Namun, cara menulis yang mengalir sesuai ingatan-ingatan yang berloncatan menjadikan otobiografi ini juga memasukkan masa-masa menjadi jurnalis.

Baca Juga:  Kiai Sholeh Darat, Gurunya Para Kiai

Otobiografi ditulisnya pada tahun 1989 namun baru dibukukan pada tahun 2016 berjudul Aku dan Surabaya dan Nakamura (diterbitkan Kompas). Nakamura sendiri adalah novelet tentang serdadu Jepang yang melarikan diri dan tinggal hutan kawasan Morotai selama puluhan tahun yang dimulai setelah Jepang kalah perang. Nakamura, dalam buku ini sepertinya hanya sebagai pelengkap saja, karena dua pertiga bagian buku berisi otobiografi Gerson.

Surabaya, baginya, memberi kenangan tak terlupakan. Selama tinggal di asarama Jalan Biliton, ia memutuskan menjadi pengarang setelah berkenalan dengan banyak pengarang dan seniman. Ia berkenalan dengan Hastho yang memperlihatkan karya cerita pendeknya yang dimuat di majalah Siasat. Di asrama itu pula ia berteman dengan penyair Supriadi Tomodihardjo yang sajak-sajaknya sering dimuat di Mimbar Indonesia. Hingga pada suatu hari, sajak Gerson berjudul ‘Anak Karang’ juga muncul di Mimbar Indonesia.

“Aku merasa sangat bahagia. Maka di asrama Biliton 7 ada dua orang penyair dan di Surabaya aku dan Supriadi Tomodihardjo disebut-sebut bersama Iwan Simatupang (yang pernah menjadi guru di SMA Surabaya) dan Muhammad Ali,” tulis Gerson. (2016, hal: 25).

Terjun di dunia penulis, membuat temannya dari kalangan seniman makin banyak. Ia berteman akrab dengan Amang Rahman, seorang pelukis yang di kemudian hari dikenal dengan lukisan-lukisan kaligrafinya. Juga berteman dengan Mohamad Daryono, pembuat patung Ir Juanda yang diresmikan oleh Presiden Soekarno saat pembukaan bandara Juanda, Surabaya.

Suka dan duka tinggal di Surabaya bersama sejumlah seniman ditulisnya dengan begitu hidup. Itulah kelebihan Gerson dalam bercerita. Dan cerita-cerita soal seniman mengingatkan kita pada buku ‘Keajaiban di Pasar Senen’ karya Misbach Yusa Biran. Di buku Misbach tersebut terlihat bagaimana seniman Jakarta, khususnya di Pasar Senen, yang suka usil, hidup dalam kemelaratan, tapi karya-karyanya dikenal

Baca Juga:  Herry Abdi Gusti, Menulis dan Melukis untuk Kemanusiaan

Nah, dalam buku otobiografi Gerson ini, juga muncul di sana-sini kisah-kisah konyol, usil, dan terkadang tak masuk di akal. Salah satu kisah konyol ‘ala’ seniman Surabaya adalah kisah Djamil Suherman (1924-1985). Sastrawan yang menulis Umi Kulsum (1983) ini membuat iklan pernikahan di beberapa media di Surabaya. Isi iklan tersebut adalah pernikahan Djamil dengan NH Dini. (hal: 64). Iklan itu kontan saja membuat geram Dini.

Dan kisah-kisah konyol semacam itu banyak menghiasi buku otobiografi Gerson, diantaranya teman Gerson yang minta dikirimi rambut oleh NH Dini yang kemudian memang dikirimi rambut oleh Dini yang waktu saling mengenal karena sesama penulis.

Konsisten Menulis

Ketika Gerson kemudian memutuskan tidak lagi menjadi guru negeri dan pindah haluan menjadi jurnalis harian Sinar Harapan, ia masih sering bertandang ke Surabaya. Sepertinya ia tak bisa lepas dengan kenangan Surabaya. Pada saat ia kaya raya karena sering bolak-balik Jakarta-Indonesia timur untuk tugas jurnalistik, ia sering mampir ke Surabaya.

Di suatu hari, saat ke rumah Amang Rahman, ia mendapati sastrawan Kirjomulyo ada di sana. Keduanya sedang cekcok soal utang. Gerson lalu meminta keduanya menjual isi karung yang dibawanya. Tiga seniman itupun kemudian pergi bersama-sama untuk menjual barang dalam karung yang ternyata sarang burung walet yang bernilai ekonomi tinggi.

“Aku ingat, hari itu aku memikul karung itu, diiringi oleh seorang penyair terkenal Kirjomulyo dan seorang pelukis terkemuka Surabaya yaang dulunya menulis sajak bersamaku. Benda itu laku. Uang bertumpuk. Amang dan Kirjo terkejut (suprise!) Kami makan besar hari itu. Kirjo mendapat ongkos pulang ke Yogya.” (hal: 79).

Ya, Gerson memang pribadi yang unik. Dia tak mengenal kalimat: menumpuk harta untuk diri sendiri. Hartanya adalah karya dan kebersamaan. Ia selalu berbagi harta kepada teman-temannya sesama sastrawan. Ketika menjadi jurnalis, ia bisa saja menumpuk kekayaan. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Padahal, karirnya di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Ia pernah menyabet anugerah Adinegoro pada tahun 1985 dan 1986, dan sering mengikuti Presiden Soekarno dan pejabat-pejabat penting dalam rangka tugas jurnalistik.

Baca Juga:  Timur Budi Raja dan Manunggaling Kawula Puisi

Keputusannya untuk berhenti dari profesi jurnalis dan memilih menjadi ‘penulis murni’ adalah didasari keinginannya untuk bisa punya waktu lebih banyak untuk membaca. Sebuah alasan yang terdengar absurd untuk masa sekarang. Namun, itu benar-benar dilakukan oleh Gerson dengan segala konsekuensi hidup yang harus dijalani. Dengan keluar dari jurnalis, ia otomatis hanya menggantungkan hidupnya dan keluarganyaa dari menulis.

Dalam sebuah wawancara dengan Kompas (edisi 9 Juni 2013), terlihat jelas bagaimana Gerson begitu tegar menjalani hidupnya. Di tengah kemiskinan yang menderanya di usia senja, ia masih tetap meyakini bahwa hidupnya penuh kebahagiaan. Padahal, ia ditinggal pergi istrinya yang hilang entah kemana. Istrinya mengidap dementia senilis, semacam kehilangan ingatan. “Tidak bisa mengingat apapun. Biasanya saya gantungkan nomor telepon, tapi pas hari itu saya lupa,” katanya.  Sedang, anaknya (Martin) menderita skizoprenia.  Martin pernah ikut bersama Sardono W. Kusumo ke Paris untuk menari.

Dalam dunia sastra Indonesia, Gerson memberi teladan yang cukup baik. Ia adalah sosok yang konsisten menulis sastra dalam keadaan apapun. Ia masuk dalam dunia sastra dengan totalitasnya, bahkan harus mengorbankan kehidupan duniawi, jauh dari kekayaan yang semestinya bisa digenggamnya dengan mudah. Namun, dalam dunia sastra yang dipenuhi budaya instan masa kini, dunia mengejar ketenaran, menapaki laku zuhud Gerson adalah menapaki jalan sunyi.

____________

*) Penulis menyukai membaca sastra dan berburu buku lawas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *