Tak terlalu susah menjumpai mahasiswa yang “berhasil” menghimpun tulisan-tulisannya yang kemudian hadir bagi pembaca dalam wujud buku. Di kampusku, tentu khalayak yang menaruh perhatian pada hal begini segera menyebut program studi Sastra Indonesia dan Pendidikan Bahasa Indonesia sebagai bagian yang relatif loyal pada prosesi penerbitan buku. Maksudku, buku-buku yang berisi tulisan mahasiswa. Ada pula yang lantas membuka usaha penerbitan lengkap dengan kafe baca. Kalau ada mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS)–mustinya USM! yang kebetulan membaca tulisan ini lantas nebak-nebak. Tebakanmu benar, iya Kelompok Kekata.
Awam-awam kampus yang gemar pada apa-apa yang berlabel internesyenel sekalian ada yang pernah dengar kan? Konon, promosi usaha penerbitan ini cukup gencar di kalangan mahasiswa. Kami semua ditantang untuk tak takut menerbitkan buku. Bahkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan, persma tingkat universitas yang sering keblinger tekadnya itu pernah mendapat tawaran (bentuknya undangan tertulis lho!) untuk menghimpun esai yang rencananya hendak dibukukan oleh penerbit bersangkutan. Tawaran itu gagal tereksekusi. Semata karena prosedural administratif yang tak berujung tuai kesepakatan di kedua pihak. Begitulah, cinta tidak bisa kalau cuma dibina oleh sebelah pihak. Pincang jadinya. #healah.
Soal prosedural administratif yang begituan musti segera kutanggalkan begitu berniat membaca Sarang & Sebuah Kelahiran (2017) karya Hastami Cintya Luthfi. Diri musti kembali ke asali. Di hadapan puisi-puisi–barangkali jua pada beragam bacaan lain—, pembaca sebaiknya (ber)suci. Hanya dengan begitu, pembaca bisa merasai kekuatan-kekuatan kata yang tersaji.
Sebab keajegannya menulis puisi, lalu menerbitkannya dalam bentuk buku menjadi sebuah pemakhluman. Puisi-puisi Hastami ialah tangkapan dan pengalaman segenap indera pada kehidupan keseharian. Seperti kecenderungan beberapa penyair yang pernah kubaca karyanya, orang-orang terdekat menjadi sosok yang sangat besar kemungkinannya memperoleh persembahan atas puisi-puisi. Puisi-puisi Hastami muda menjumpa orang-orang terdekat. Seperti Di antara Tumpukan Baju yang dibaktikan pada mamanya, Di antara Tumpukan Jerami yang dikasihkan pada papanya. Dua puisi ini terbaca sebagai ungkapan kasih seorang anak kepada kedua orangtuanya atas segala jerih dalam mendulang rupiah. Serta beberapa puisi yang ditujukan ke orang-orang dekat lainnya.
Puisi Naturalis
Kecenderungan Hastami memakai istilah-istilah seperti padi, ketela, tebu, anggur menjadi bukti betapa tumbuhan dan lebih luas lagi alam kerap hadir sebagai sebuah pesan yang perlu direnungkan oleh manusia. Kita lantas boleh sejenak mendendangkan lagu Sisir Tanah. Kita akan selalu butuh tanah//kita akan selalu butuh air//kita akan selalu butuh udara//jadi teruslah merawat. Semilenial apapun zaman yang menghadang, kita tak bisa lepas dari kuasa alam. Itu mustahil. Sama mustahilnya dengan melupakan kenangan bersama mantan gebetan. Alaaah…
Dalam bukunya, Hastami tak berkarya sendirian. Puisi-puisinya didampingi ilustrasi karya Spencer Chevalier, ilustrator dari Michigan Amerika Serikat. Semoga inspirasi dan pemahaman penulis pada alam dapat terhubung pada pemahaman pembaca terkait hal serupa. Ia merasa terhormat dapat turut serta dalam buku puisi Hastami. Begitu komentar Chevalier yang dicantumkan di awal buku sebagai penghantar menuju puisi-puisi. Pabila kamu termasuk pembaca yang ingin benar-benar suci, sebaiknya komentar-komentar atau bahasa asingnya endorsement-endorsment begitu dibaca di akhir sahaja, atawa sah-sah sahaja bila pembaca memutuskan melewatkan komentar-komentar itu sambil nyengir dan berlalu. Bagi pembaca, kebebasan ialah hak yang hakiki kan?
Sebab setiap puisi hadir dengan wajahnya yang lugu, sementara kita terus merutuki diri sebagai pembaca dungu, maka tak perlulah memaksa diri mengkhatamkan pemahaman akan puisi-puisi Hastami. Puisi tak pernah minta dikhatamkan. Barangkali banyak penyair memegang kredo ini. Sehingga, baik pembaca yang lugu atawa dungu sekalipun bebas memaknai setiap penuturan penyair. Kira-kira begitu.