“Aku menyesal hidup di zaman sekarang. Coba kowe lihat kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, hampir semuanya berantem terus. Duh, serasa hidup nggak ada tenangnya,” kata Kang Tolib nyerocos.
“Lha terus kamu maunya apa? Putus asa, terus bunuh diri? Mbok kiro bunuh diri kuwi keren ye?” kataku asal-asalan.
Kami berdua duduk saling berhadapan di warkop langganan. Lumayan, selain harga bersahabat, rasa kopi juga nggak oke banget. Kang Tolib kemudian nyomot jadah bakar. Sambil mengunyah, dia tetap saja ngomong.
“Ya nggak bunuh diri juga. Yang pasti rasa-rasanya kok hidup makin susah saja di zaman sekarang. Coba amati dengan serius deh. Kamu sih hidup nggak pernah serius,” katanya sambil matanya melotot. Sepertinya dia agak serius dengan obrolannya, padahal biasanya dia cengengas cengenges saja.
“Hidup yang serius itu yang bagaimana?” kataku mencoba nggak peduli dengan pertanyaan-pertanyaannya. Meski sebenarnya aku juga mulai berpikir keras.
“Waduh. Kamu ini memang kurang gaul. Berapa lama kamu tinggal di gua. Coba lihat di fesbuk, di televisi, di koran-koran, dan dimana saja, banyak orang berbeda dikit berantem, saling membenci. Ada kasus hukum apa di pusat sana, semua orang pro kontra dan saling membenci. Kok sepertinya kita orang kecil begini diminta melihat mereka-mereka berantem,” kata Kang Tolib yang matanya makin melotot.
“Oh, lha hidup seriusmu seperti itu. Ya mesti saja kamu stres.”
Kami berdua berbarengan menoleh, siapa yang nyelonong ikut bicara. Ah, ternyata Mas Guru to. “Silahkan Mas Guru. Wah nggak ngerti kalau ada dirimu,” kata Kang Tolib dengan nada agak tenang.
“Aku tadi lihat dari luar, kalian berdua seperti sedang rapat RT. Mbok yo di warkop itu menikmati kopi. Nggak usah berantem begitu,” kata Mas Guru. “Kopi lek ya!” serunya pada penjual.
“Kami nggak berantem. Cuma Kang Tolib ini lho,” katakun yang kemudian dipotong sama Mas Guru.
“Saya dengar apa yang kalian bicarakan tadi. Begini, hidup kita ini jangan kita serahkan bulat-bulat pada lingkungan sekitar. Maksudnya, serius kita itu juga harus pada tempatnya. Untuk apa Kang Tolib serius menanggapi orang saling membenci. Kalau kita nggak kuasa mengingatkan ya, kita diam saja. Kita perlu serius pada hal-hal kebaikan untuk sekitar saja. Jangan ikut arus. Wong kita punya pegangan,” kata Mas Guru.
“Lho yo bener kan Kang?” kataku.
“Bener apane? Wong dari tadi kamu Cuma diam saja gitu kok.”
“Ya bener to. Kan saya diam saja, haha,” kataku.
“Kalau kita serius pada tempatnya, maka insya Allah kita akan selalu jauh dari rasa putus asa. Wong kita ini cuma hamba di hadapan Nya. Ya, kita harus tahu diri. Semua manusia kan sama-sama hamba Tuhan. Ya kita saling mengingatkan dengan baik. Nggak harus selalu dan selalu berantem.”
“Wah, kalau ini harusnya yang mendengar banyak orang, nggak cuma kami berdua,” kataku.